Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Blogger Profesional dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UT Jember)
#MuslimahTimes — Arjuna bahagia tiada tara, ia pulang dengan membawa putri Drupadi yang cantik jelita sebagai istrinya. Hadiah dari sayembara yang ia menangkan di Panchala. Dirinya yang menyamar sebagai Brahmana pulang dan membagikan kebar gembira pada saudara-saudara pandawa dan ibunda tercinta, Dewi Kunti yang kala itu sedang berdoa.
Tanpa melihat apa yang dibawa pulang oleh Arjuna, Dewi Kunti memerintahkan apapun yang dibawa oleh Arjuna, HARUS dibagikan kepada saudaranya yang lain yaitu Yudhistira, Bima, Nakula dan Sadewa. Begitulah akhirnya Drupadi memiliki 5 (lima) orang suami.
Kisah ini adalah kisah poliandri (rumah tangga dimana perempuan memiliki leih dari satu orang suami) paling terkenal di seluruh dunia. Ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dalam Wiracarita Mahabharata. Kisah Drupadi ini makin terkenal ketika pada tahun 2013, sebuah rumah produksi di India menjadikannya sinetron dan menjadi santapan ibu-ibu Indonesia pengggemar drama India. Bahkan pemeran Arjuna kala itu sempat beberapa lama tinggal di Indonesia karena mendapat banyak tawaran pekerjaan di Indonesia hingga digosipkan memiliki hubungan dengan salah satu pedangdut terkenal tanah air.
Tidak hanya itu, pada tahun 2008, aktris kawakan Indonesia, Dian Sastrowardhoyo memerankan Drupadi dalam sebuah film drama musikal pendek dengan durasi 40 menit.
Di balik perdebatan apakah Mahabharata adalah kisah nyata atau fiksi, kisah ini telah mampu menghipnotis banyak orang di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Hingga tanpa sadar banyak orang melewatkan sebuah celah yakni tentang Drupadi dan poliandrinya.
Dalam sudut pandang Islam, poliandri adalah haram. Ketika suatu yang haram itu dilakukan maka bisa kita menyebutnya dengan kemaksiatan. Dan kemaksiatan seharusnya identik dengan hal buruk, gelap, jahat, iblis, neraka dsb. Namun bila bicara tentang Drupadi, sama sekali tak ada gambaran bahwa dia adalah tokoh antagonis. Dia adalah tokoh protagonis sejati yang penuh dengan dedikasi pada keluarga, negara dan sepenuhnya baik hati.
Padahal berdasarkan dalil pada AlQur’an dan Sunnah, Allah SWT berfirman, “Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (QS An-Nisa (4): 24)
Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad)
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah, 2003) hal. 119, “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata, “Pernyataan‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki’, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. Allah Mahatinggi dan Mahasuci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur. Nasab pun jadi kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul, fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan.” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65)
Penokohan Drupadi membuat kemaksiatan menjadi bias dan begitulah yang terjadi di masa kini. Tidak hanya soal poliandri namun juga soal kemaksiatan lainnya. Misalnya prostitusi, dalam Islam jelas keharamannya, namun manusia masa kini mencoba mengalihkannya menjadi profesi ‘unik’ dan telah mendapat apresiasi di berbagai negara. LGBT juga, keharamannya sangat jelas di dalam Islam, tanpa ada perbedaan pendapat, masa kini telah dikaburkan sebagai ekspresi cinta yang berbeda.
Riba yang sudah jelas haram pun, kini telah bias. Dengan perubahan nama seperti bunga, biaya admin dll serta alasan untuk menopang perekonomian negara hingga dunia, kaum muslimin pun tidak segan memeluk dosa yang dosanya sama seperti menzinai ibu kandung sendiri. Naudzubillah..
Mengenai poliandri, ia mencuat bukan karena drama Mahabharat diputar lagi, tapi karena di Indonesia muncul fenomena ASN (Aparatur Sipil Negara) yang melakukan poliandri. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo pada akhir agustus lalu.
Wacana hukuman berat untuk ASN poliandri pun datang dari DPR. Karena ASN yang poliandri telah merendahkan harkat dan martabat negara. Selain melanggar norma kesusilaan, peraturan pemerintah dan norma agama.
Munculnya fenomena ini adalah efek domino dari system sekuler-kapitalisme yang dianut dunia saat ini. Tidak ada pembatas jelas antara baik dan buruk, benar dan salah atau halal dan haram. Kebebasan adalah hukum yang belaku, padahal ini tidak lebih dari hukum rimba. Dunia yang kita tempati saat ini telah berubah menjadi hutan belantara berbahaya, bukan lagi alam yang penuh dengan rahmat-Nya.
Representasi kehidupan yang tak lagi ingin diatur oleh agama (sekuler) dan menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan (kapitalisme) ini disisipkan secara “repeatation” (pengulangan), sedikit demi sedikit melalui film, komik, buku, drama dll hingga didukung dengan undang-undang atau kebijakan negara.
Karena pengaruh pemikiran sekuler-kapitalisme ini, membuat kaum muslimin sendiri tidak rela dengan syariatnya. Ketika masyarakat melihat Drupadi, kebanyakan akan lupa bahwa poliandri adalah kemaksiatan. Ketika anak-anak kita menonton lucunya film Dalmation, telah menyusup dalam hatinya ketidakrelaan akan keharaman memelihara anjing. Ketika masyarakat kita menonton sinetron Ganteng-Ganteng Harimau, masyarakat akan lupa bahwa pacaran itu haram. Ketika melihat drama Hwang Ji-Ni, tidak ada kemarahan ketika perempuan menjadi penghibur pria secara seksual dsb. Ketika dakwah sampai kepada mereka maka kemarahan yang ada sebagai balasannya.
Di samping rapuhnya institusi keluarga di masa kini, propaganda Islamophobia melalui berbagai media juga gencar dilakukan untuk menyerang kaum muslimin agar semakin jauh dari Islam. Muslimin dibuat tidak rela dengan syariatnya sendiri dengan menampilkan kemaksiatan sebagai keindahan. Terutama syariat-syariat yang mengatur tentang pengaturan yang berhubungan dengan pemenuhan naluri nau’ (naluri berkasih sayang). Ketika kaum muslimin terjerat dengan keindahan dunia, maka lama-kelamaan mereka tidak akan menganggap pelanggaran hukum syara’ sebagai suatu kemaksiatan. Inilah musibah besar!
Perbaikan secara sistemik adalah hal yang diperlukan untuk melakukan perbaikan moral dan nasab yang bisa hancur akibat fenomena poliandri. Tidak cukup hanya dengan individu dan masyarakat yang bertakwa, negara juga harus menerapkan kebijakan yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Dan untuk itulah kita butuh Khilafah!
Jember, 15 Sept 2020