Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Founder MCQ Sahabat Fillah Indramayu)
MuslimahTimes– “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia…”
Lirik lagu fenomenal ini tentu masih lekat dalam ingatan. Gambaran ketulusan dan kasih sayang tak bertepi dari seorang ibu kepada anaknya. Namun sayang, agaknya gambaran indah tersebut kini memudar dan terciderai. Sebuah tragedi terkuak di TPU Gunung Kendeng, Kecamatan Cijaku, Lebak pada Sabtu (12/9/2020).
Dua pekan sebelumnya nyawa seorang anak melayang di tangan ibu kandungnya sendiri. Emosi kadung membakar logika, tubuh sang anak dijadikan pelampiasan. Terkulai lemas, tidak tahan lagi dengan penganiayaan, lalu berujung pada kematian.
Kompas.com (14/9/2020) memberitakan, pelaku yakni sang ibu kandung LH (26) mengaku terpancing emosinya disebabkan korban susah diajarkan pada saat pembelajaran daring di rumahnya. Parahnya, kejadian tersebut bukannya tanpa sepengetahuan suami. Justru penguburan korban dilakukan oleh mereka berdua.
Berawal dari kecurigaan warga setempat, terhadap keberadaan makam yang masih baru, akhirnya aksi penganiayaan berujung maut pun, terbongkar. Jenazah anak SD kelas satu ini, ditemukan masih menggunakan pakaian lengkap. Betapa memilukan, sudahlah dianiaya, direnggut hak hidupnya, lalu dikuburkan dengan sekenanya. Ke mana hilangnya fitrah keibuan yang semestinya ibarat sang surya itu?
Pembelajaran jarak jauh, dengan metode daring memang tidak mudah. Banyak kendala dan keluhan menyeruak baik di media sosial ataupun penuturan langsung. Baik dari pihak orang tua/wali murid, juga para guru. Tidak ada satu pihak pun yang tidak merasa tersiksa dan engap.
Sampai-sampai efeknya mampu menghilangkan rasa keibuan. Tekanan itu semakin bertubi dengan terjun bebasnya perekonomian keluarga akibat panjangnya masa pandemi. Sementara kebutuhan hidup tak mengenal jeda. Tidak dapat dipungkiri, teramat berat beban seorang ibu.
Belum semua orangtua khususnya ibu, memahami fungsi strategisnya sebagai pendidik generasi. Selama ini sebagian besar ibu hanya memahami keharusannya membesarkan anak. Sedang masalah pendidikan, dicukupkan hanya di sekolahan atau kepada para guru. Maka wajar, jika ibu bersikap gagap dan canggung untuk mengawal buah hati menghadapi pembelajaran daring pada saat wabah menerpa.
Karenanya, perlu memperbaiki paradigma berpikir kaum ibu terlebih dahulu. Pertama, memahami bahwa anak adalah titipan. Amanah dari Allah Ta’ala, bukan “properti” pribadi. Kelak, akan dimintakan tanggungjawabnya pada yaumul hisab. Kedua, disamping mengasuh dan merawat, seorang ibu wajib mendidik anaknya. Mengajarkan ilmu kehidupan juga memahamkan tentang akidahnya.
Ketiga, menjaga kesehatan mentalnya dengan terus mendekati Allah, mendalami agama dan mengupayakan hadirnya ruh (kesadaran beramal karena Allah), agar tercipta keikhlasan dan kenyamanan saat menjalani rutinitasnya.
Dan tentu, ketiga hal di atas harus didukung oleh pemberlakuan sistem dan aturan yang benar. Karena seorang ibu butuh untuk fokus. Jangan sampai terusik oleh suara token yang menjerit-jerit. Atau oleh tabung gas yang mendadak hilang di pasaran. Juga dibuat gelisah karena stok beras hanya tersisa beberapa butir.
Pada sisi lain, perlu dievaluasi ulang, terkait sistem pendidikan di negeri ini. Karena tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah terbentuknya kepribadian Islam. Bukan semata menonjolkan angka atau nilai, baik daring maupun luring. Karena apa artinya kepintaran seseorang tanpa dibarengi dengan kecakapan spiritualnya.
Hanya akan menciptakan manusia serakah, amoral dan pelaku kerusakan. Atau bisa pula menjelma menjadi seorang ibu yang temperamental. Jauh dari kesan hangat. Bukan lagi selayak sang surya, melainkan serupa bom yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Wallâhu a’lam bish-shawab.