Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes– Meski pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Serentak atau Pilkada Serentak tahun 2020, dari September ke Desember 2020, tak urung sensitivitas para pelaku pilkada baik, KPU, tim sukses Paslon dan paslonnya sendiri mulai meningkat seiring bergantinya bulan.
Tak hanya protes terkait pengunduran jadwal saja yang terdengar dari para Paslon, namun hingga muncul berita ada bunga setaman dan boneka ditusuk jarum di kantor KPU Kota Blitar. Seketika itu berita yang merebak kantor KPU Kota Blitar disantet, whats?!
Ketua KPU Kota Blitar Choirul Umam mengatakan, teror kembang itu sebenarnya ditemukan pada Selasa, 8 September 2020, dini hari sekitar pukul 01.00 WIB ( suarajatim.id, 11/09/2020).
KPU Kota Blitar, lanjut Umam, tidak mempermasalahkan bunganya. Namun pesan yang tersirat menjadikan bebas psikis bagi penyelenggara tersebut. Para petugas KPU terganggu dengan adanya teror itu.
Sulit dipercaya! di era manusia sudah tak lagi hanya menyeberang pulau melainkan menyeberang planet di luar angkasa sana, santet dan kawan-kawannya masih mendapat tempat di hati sebagian besar masyarakat Indonesia.
Meski mereka mengaku itu kerjaan setan, pelakunya disebut dukun dan perbuatannya disebut syirik, namun tetap saja santet dan kawan-kawannya masih jadi solusi jitu melibas lawan politik, cinta tak sampai, lamaran ditolak dan semua kebutuhan manusia. Singkatnya, penawaran dan permintaan santet masih tinggi.
Apakah masalah? Jelas, sebab ini artinya akidah kaum Muslim melemah, tak bisa lagi bedakan halal haram dan parahnya tak lagi berharap penuh hanya kepada Allah Sang Khaliq dan Mudabbir (pengatur).
Kekhawatirannya soal masa depan karier, rezeki dan jodohnya terlampau akut melebihi keyakinannya kepada Allah, padahal Allah sudah jelas memberitahu dalam QS Al-Baqarah : 286 yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya..”.
Lantas jika masalah, mengapa masih terus ada dan tak ada pihak yang menghilangkan? Itulah persoalannya, negara kita abai terhadap jaminan akidah umat, lihat saja betapa maraknya publik figur berganti agama atas nama cinta tak diberi sanksi, taaruf syar’i padahal berbeda sangat dari syar’i, juga tak ada sanksi terus berlanjut hingga kesalahan satu bertumpuk menjadi bukit dan tumbuhlah sikap permisif, wajar… bagian dari gaya hidup, modernitas.
Sikap yang diambil penguasa inilah yang disebut sekulerisme, melahirkan kebebasan individu boleh mengatur urusannya sendiri sesuai kehendak pribadi, kebebasan inilah yang dijamin undang-undang. Salah satunya adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang seringkali menjegal kebenaran dan meninggalkan keadilan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (29/384) berkata: “Sungguh telah diketahui bahwa sihir adalah haram berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ umat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir dan telah shahih dari ‘Umar bin Al-Khaththab tentang keharusan membunuhnya. Dan juga dari ‘Utsman bin ‘Affan, Hafshah bintu ‘Umar, Abdullah bin ‘Umar, dan dari Jundub bin Abdillah dan telah diriwayatkan secara marfu’ (sampai sanadnya kepada Rasulullah).”
Jelas bahwa sihir merupakan sesuatu yang sangat berbahaya baik ditinjau dari sisi dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, telah shahih riwayat dari ulama salaf tentang keharusan membunuh mereka. Lalu apakah hukuman mati ini terhadap mereka sebagai hukuman ta’zir atau karena murtad?
Para ulama sepakat, jika sihirnya itu sampai kepada batas kekufuran dan syirik, maka membunuhnya sebagai hukuman murtad. Dan terjadi perbedaan pendapat apabila sihirnya itu tidak sampai pada tingkatan kufur. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa dibunuh sebagai hukuman (had) dan ada yang mengatakan dia dibunuh sebagai satu bentuk ta’zir baginya dan bagi orang lain.
Namun pada kesimpulannya, tetap sihir adalah perbuatan syirik, yang pelakunya terkatagori musyrik sehingga bisa disebut kafir pula. Ketika diseru untuk kembali kepada Islam lantas menolak, maka hukuman mati adalah adil. Inilah ketegasan syariat yang jika diterapkan akan menciptakan kesejahteraan hakiki.
Wallahu a’ lam bish showab.