Oleh: Jesiati
MuslimahTimes– Dunia kampus menjadi hal yang sangat didambakan bagi mahasiswa baru. Menjadi mahasiswa baru adalah pengalaman yang menegangkan sekaligus menyenangkan. Banyak menemui hal baru dan belajar beradaptasi dengan perkuliahan. Terbaru, munculnya pakta integritas yang dituju pada mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) menjadi sorotan. Terdapat kontroversi dalam pakta integritas tersebut karena poin-poinnya yang bias. Apa saja fakta yang terjadi? Yuk kita telusuri untuk mengetahui solusi tuntas permasalahan yang terjadi.
Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusia membenarkan pakta integritas untuk mahasiswa baru UI. Pakta Integritas menjamin bahwa mahasiswa UI tidak hanya mendapatkan Ilmu Pengetahuan dan keterampilan tapi juga penguatan karakter dan kepribadian sebagai orang Indonesia melalui berbagai kegiatan akademik dan non-akademik. Pakta integritas juga mengatur soal kehidupan politik dan berorganisasi. Mahasiswa dijamin untuk tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara. Mereka juga dijamin untuk tidak diganggu lagi oleh kelompok/ organisasi kemahasiswaan yang tidak memiliki izin resmi. Pakta Integritas ini juga menjamin adanya demakarsi (batas pemisah), mengingat di masa lalu, kampus UI (dan juga kampus lain) menjadi persemaian jaringan fundamentalisme, gerakan tarbiyah kemudian mendominasi Badan Eksekutif Mahasiswa. Mereka banyak dibina oleh dosen-dosen lulusan Perguruan Tinggi di Timur Tengah dan sempalan binaan intelejen (beritasatu.com, 12/9/2020).
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia menentang pakta integritas untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2020/2021 dan menyebut perjanjian di atas meterai itu bisa mengekang hak mahasiswa. “Kami menentang segala hal yang mengekang hak-hak mahasiswa, dan meniadakan perlindungan terhadap hak-hak mahasiswa dan mematahkan semangat kampus merdeka yang membebaskan mahasiswa dalam proses belajar,” ujar Ketua BEM UI Fajar Adi Nugroho (CNN Indonesia.com, 12/92020).
Fajar menjelaskan pakta integritas tersebut merupakan aturan baru yang diterapkan UI tahun ini dan wajib ditandatangani setiap mahasiswa baru. Menurutnya hal ini menjadi kontraproduktif, karena pada pakta tertulis mahasiswa menyetujui poin di dalamnya dan tanpa paksaan. Fajar juga mempertanyakan sejumlah poin pada pakta tersebut, di antaranya aturan mahasiswa tidak boleh terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara. Mahasiswa juga disebut tidak boleh mengikuti kegiatan yang dilakukan sekelompok mahasiswa yang tidak mendapat izin resmi pimpinan fakultas atau kampus. Fajar menduga poin dapat mengekang kehidupan berdemokrasi mahasiswa, salah satunya mahasiswa tidak akan bisa mengkritik kebijakan pemerintah atau melakukan aksi demonstrasi. “Mengingat definisi politik praktis dan mengganggu tatanan akademis dan bernegara [yang tertulis dalam pakta] dapat ditafsirkan secara kabur,” katanya (CNN Indonesia.com, 12/92020).
Universitas Indonesia (UI) menyebut Pakta Integritas yang beredar di kalangan mahasiswa baru kampus bukan dokumen resmi yang dikeluarkan UI. “Dokumen berjudul “Pakta Integritas” yang telah beredar di kalangan mahasiswa baru UI bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan Pimpinan UI,” jelas Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusi seperti tertulis dalam keterangan resmi UI yang diterima. Pimpinan UI pun menyayangkan penyebaran dokumen yang menyangkut kepentingan mahasiswa tersebut, yang telah menimbulkan berbagai reaksi di kalangan Sivitas Akademika UI maupun masyarakat. Pihak UI pun meminta maaf atas kerisauan dan ketidaknyamanan yang timbul akibat penyebaran dokumen tersebut (CCN Indonesia, 13/9/2020).
Mahasiswa dan gerakannya telah menjadi sebuah hal yang telah diakui peranannya dalam setiap babak sejarah di seluruh belahan dunia ini. Banyak fakta yang bisa menggambarkan bagaimana mahasiswa menjadi penggerak perubahan sebuah masyarakat, dari masyarakat terjajah, terbelakang menjadi masyarakat yang merdeka dan maju. Hal itu karena memang mahasiswa secara fisik adalah sosok para pemuda yang masih kuat dan tangguh dan adalah orang-orang yangmemiliki akses yang besar terhadap informasi dan pengetahuan yang akhirnya bisa menjadikannya sebagai orang-orang yang kritis dan mampu mendorong perubahan.
Kita pasti masih ingat gerakan mahasiswa di Indonesia di pertengahan tahun 1997 (Krisis moneter) menghancurkan legitimasi kekuasaan rezim Soeharto yang diklaim sebagai pemimpin otoriter dan korup. Tuntutan mahasiswa untuk melakukan reformasi total mengerucut pada tuntutan untuk mengganti Presiden Soeharto. Puncak aksi mahasiswa terjadi pada bulan Mei 1998 dengan menduduki Gedung Parlemen selama 5 hari dan berakhir dengan turunnya Soeharto dari jabatan presiden setelah berkuasa selama 32 tahun. Gerakan tersebut ternyata belum menghasilkan perubahan substansial yang benar-benar berarti.
Kita perlu memahami sejatinya memang pendidikan tinggi di negeri-negeri kaum muslimin hari ini termasuk Indonesia telah dimanipulasi oleh agenda-agenda Barat.
Pendidikan tinggi di dunia Islam telah menjadi pintu masuk penjajahan akademis, hegemoni riset, dan propaganda sekuler. Pendidikan tinggi telah menjadi alat penjajahan untuk tujuan kebijakan Barat asing. Pendidikan tinggi di dunia Islam pasca hilangnya Khilafah, tidak ditujukan untuk menciptakan generasi emas dan peradaban emas.
Perubahan kurikulum di negeri-negeri Islam menargetkan sekularisasi kurikulum pendidikan dan memutuskan hubungan dengan akidah Islam dalam wacana perang melawan radikalisme. Narasi permusuhan terhadap Islam oleh Peradaban Sekuler Barat juga telah menyeret dunia kampus. Topik radikalisme dan terorisme telah menjadi objek penelitian tersendiri di berbagai kampus. Munculnya pakta integritas bukanlah solusi tuntas tapi hanya untuk menyandra intelektualitas.
Mahasiswa saat ini tengah meringkuk dalam ruang pengap budaya yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Kapitalisme dengan keperkasaannya lanjut mengasingkan mahasiswa dari realitas sosial dan kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kapitalisme telah memalingkan eksistensi mahasiswa agar tak lagi dapat menjadi “mahasiswa sejati” yang getol membela kebenaran dan keadilan, sehingga lahirlah generasi mahasiswa bergaya hidup anti-ilmiah dan anti-aksi alias tidak peduli terhadap permasalahan rakyat.
Mahasiswa hari ini acuh tak acuh terhadap kondisi sekitarnya, melemahnya tradisi berpikir kritis lewat forum-forum diskusi yang tergantikan oleh budaya ngerumpi sambil pencat-pencet HP, menguatnya sikap hedonistik dengan gemar berbelanja di mal ketimbang membeli buku, sibuk karaoke disana-sini, mahasiswa memang mengalami penindasan kapitalisme melalui konstruksi gaya hidup dan budaya keseharian. Tanpa mahasiswa sadari, nalar kritisnya ditumpulkan dan akses pengetahuan meski tampak kasat mata namun terbentur budaya tanding yang berorientasi pada pemenuhan hasrat hedonistik yang menggelapkan mata.
Banyaknya fakta permasalahan yang ada, tidak mungkin bisa problem narkoba, kebebasan hingga radikalisme diatasi dengan integritas mahasiswa baru. Apalagi jika perjanjian tersebut justru diarahkan untuk memberangus arus kesadaran politik dan sikap kritis yang distigma sebagai radikalisme. Kebijakan sejenis ini adalah tindakan represif yang justru akan melahirkan masalah baru. Akar permasalahannya adalah problem sistemik yang semestinya dipahamkan pada mahasiswa dan didorong terlibat menghadirkan solusi. Walaupun mahasiswa melakukan gerakan menentang pakta integritas ini hanya tindakan pragmatis, jika tidak dengan adanya kesadaran untuk melakukan perubahan yang hakiki. Gerakan perubahan yang semu hanya akan menyuburkan kezhaliman sistem dan rezim, pada akhirnya penderitaan rakyat kecil semakin bertambah.
Tugas utama kampus memberikan kesempatan dan kemudahan mahasiswa dalam mempraktekkan keilmuannya secara bebas namun teratur sebagai agen perubahan yang peduli atas permasalahan rakyat. Realitasnya mahasiswa dan akademisi adalah salah satu elemen masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dari politik. Kampus segarusnya melakukan pembinaan politik yang benar yaitu bagaimana menurus kepentingan rakyat. Politik dalam pandangan Islam tentu sangat berbeda dengan saat ini hanya pertarungan memperebutkan kekuasaan.
Politik dalam Islam adalah mengurus urusan umat. Ini yang akan dibentuk termasuk dalam perguruan tinggi. Hal ini akan direalisasikan melalui kurikulum dan materi pendidikan yang mencakup dua tujuan pokok pendidika Islam. Pertama, membangun kepribadian Islam dengan cara penanaman tsaqofah Islam secara intensif. Tujuannya agar para mahasiswa dapat menjadi pemimpin dalam memantau permasalahan-permasalahan dari hal kecil sampai hal besar, termasuk kemampuan mengatasinya dengan resiko hidup atau mati.
Tsaqofah pendidikan Islam lanjutan seperti fiqih, hadist, tafsir dan lain-lain diperlukan agar permasalahan-permasalahan yang ada menjadi pusat perhatian di benak mahasiswa. Pendidikan tsaqofah ini akan diberikan pada seluruh mahasiswa perguruan tinggi tanpa memandang spesialisasinya, sehingga mahasiswa mampu menyelesaikan permasalahan umat. Kedua, mempersiapkan mahasiswa menjadi ulama-ulama baik itu ilmu keislaman seperti ijtihat, peradilan dan lain-lain, maupun ilmu terapan seperti teknik, kimia, fisika dan lain-lain. Ulama-ulama yang mempuni akan membawa negara dan umat islam sampai pada puncak kejayaan diantara negara-negara lain.
Mahasiswa akan didorong terlibat dalam menghadirkan solusi permasalahan umat. Alhasil, sistem pendidikan Islam dalam naungan Khilafah akan menghasilkan para intelektual yang kritis dan paham bagaiamana kebutuhan umat. Berbeda dengan saat ini pakta integritas hanya akan membuat tersandra intelektualitas. Paradigma terhadap dakwah dan politik seharusnya menjadi dasar acuan mahasiswa dalam perubahan yang ingin dicapai. Mahasiswa harus berfikir bagaimana cara mengatasi permasalahan dengan sudut pandang dan solusi islam.
Wallahu a’lam bisshawab