Oleh.Hana Annisa Afriliani,S.S
(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
Muslimahtimes – Pandemi diwarnai dengan potret disharmoni keluarga-keluarga Muslim adalah benar adanya. Tekanan ekonomi yang semakim terasa selama pandemi ini adalah salah satu faktor penyebabnya. Yang lebih memprihatinkan adalah perceraian lebih banyak diinisiasi oleh pihak istri. Ya, angka gugat cerai istri melonjak tajam.
Sebagaimana dilansir oleh Bantennews.id (27/08/2020) bahwa sejak Maret hingga akhir Juli 2020 tercatat sebanyak 1.182 kasus perceraian dan berakhir dengan status janda bagi ribuan perempuan itu.
Lantas bagaimana sebetulnya syariat Islam memandang perkara talak?
Talak adalah melepaskan ikatan pernikahan, yakni melepaskan simpul perkawinan. Talak adalah halal/dibolehkan oleh syariat tanpa adanya illat syar’iyyah (sebab disyariatkannya hukum) apapun.
Penjatuhan talak dalam syariat ada 3 kali talak.
Jika seorang suami menjatuhkan talak yang pertama kepada istrinya (talak 1), maka ia boleh merujuk istrinya selama masa iddahnya, yakni 4 bulan 10 hari, tanpa perlu ada akad baru.
Jika suami menjatuhkan talak lagi untuk yang keduanya kalinya (talak 2) kepada istrinya, maka ia pun boleh merujuk istrinya selama masa iddahnya tanpa perlu akad baru. Tapi kalau sampai masa iddahnya berakhir dan ternyata suami tidak juga merujuk istrinya, maka statusnya menjadi talak ba’in sughra. Artinya suami sudah tidak bisa merujuk istrinya kecuali dengan adanya akad dan mahar baru.
Selanjutnya jika suami menalak istrinya lagi untuk yang ketiga kalinya (talak 3), maka statusnya adalah talak ba’in kubro, suami secara mutlak tidak dapat merujuk istrinya tersebut kecuali setelah mantan istrinya menikah lagi dengan laki-laki lain dan telah berhubungan suami istri dengannya dan telah melewati masa iddah atas perceraiannya dengan suami keduanya tersebut.
Adapun hak talak ada di tangan suami, bukan di tangan istri. Mengapa? Sebab suami telah Allah tetapkan sebagai kepala rumah tangga, penanggungjawab keluarga. Maka kewenangan untuk memutuskan tali ikatan perkawinan wajib hanya menjadi milik suami saja.
Namun demikian, bukan berarti istri tidak boleh menceraikan dirinya sendiri dan melangsungkan perpisahan antara dirinya dan suaminya. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan istri untuk memfasakh (membatalkan) pernikahannya:
1. Jika suami menyerahkan masalah talak di tangan istri.
2. Jika istri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat sehingga tidak dapat melakukan senggama, seperti impoten atau telah dikebiri.
3. Jika istri mengetahui bahwa suami mengidap suatu penyakit yang tidak mungkin bagi dirinya untuk tinggal bersama suamimya, misalnya lepra, sipilis, kusta, dll.
4. Jika suami gila setelah akad nikah.
5. Jika suami melakukan safar (bepergian) ke suatu tempat lalu tidak kembali lagi, menghilang tanpa kabar berita.
6. Jika suami tidak memberi nafkah kepada istrinya, padahal suami mampu dan istri kesulitan memperoleh harta suaminya dg berbagai cara.
7. Jika terjadi persengketaan di antara suami istri.
Begitulah syara memberika hak kepada istri untuk menuntut perceraian dalam kondisi-kondisi tersebut. Dalam rangka membebaskan dari kesengsaraan. Karena hakikatnya pernikahan diselenggarakan dalam tujuan untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Maka, jika terdapat kondisi yang sudah sangat sulit mewujudkan kebahagiaan dalam pernikahan tersebut, maka tidak boleh dipaksakan mempertahankan pernikahan tersebut.
Namun, perlu diingat bahwa perceraian merupakan langkah paling akhir yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri. Sebelumnya harus diupayakan dulu seoptimal mungkin berbagai upaya untuk mempertahankan pernikahan tsb. Misalnya, bagi suami dapat memberikan sanksi edukasi kepada istrinya (jika nusyuz), selanjutnya mendatangkan pihak ketiga sebagai juru damai.
Demikianlah tinjauan syariat dalam masalah talak. Intinya talak/perpisahan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariat. Tidak selamanya sebuah perpisahan itu buruk, bisa jadi perpisahan justru membawa kebaikan bagi pasangan suami istri.