Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes– Betapa peliknya persoalan rumah tangga hari ini. Seakan tak pernah lepas dari berita pelakor, perselingkuhan dan lain sebagainya. Seperti peristiwa yang terjadi di Desa Balong Gabus, Kecamatan Candi, Sidoarjo. Seorang janda dan 3 anaknya terluka saat rumahnya dibakar istri kekasih gelapnya. Mereka sempat dilarikan ke rumah sakit.
Kasat Reskrim Polresta Sidoarjo Kompol Ambuka Yudha Hardi Putra membenarkan soal peristiwa pembakaran rumah tersebut, hingga mereka mengalami luka bakar.
Padahal jelas, syariat Islam membolehkan seorang pria menikah dengan lebih dari satu wanita. Meskipun dibatasi hingga 4 saja namun artinya syariat ini bukan sebuah keburukan dan jika dilaksanakanpun tidak ada dampak yang mengerikan hingga pembakaran rumah misalnya.
Lantas, mengapa syariat bolehnya berpoligami seakan menjadi momok bagi wanita dan permainan bagi pria? Mungkinkah Allah SWT salah menetapkan sebuah peraturan? Astaghfirullah…
Mari kita teliti secara perlahan dan mendalam, mengapa poligami menjadi simalakama, pertama karena biasanya praktik poligami di tengah masyarakat kita dilakukan secara diam-diam oleh suami. Tanpa izin, menggunakan alasan yang tidak syar’i bahkan hingga berbohong ketika dia harus menggilir istri keduanya.
Maka, kalimat “lembur” , “luar kota” dan lain sebagainya seakan menjadi mantra yang harus diwaspadai oleh para istri. Kecurigaan pun muncul hingga memunculkan komunikasi yang tak sehat diantara suami dan istri. Rumah tangga yang semula indah dan tenang berubah menjadi neraka. Keduanya tak betah di rumah dan lebih parahnya tak jarang anak menjadi korban.
Kedua, sikap tidak terus terang ini juga tidak datang dengan sendirinya, namun karena tersuasanakan oleh pendapat masyarakat yang kurang ilmu sehingga memandang buruk poligami. Karena kurang ilmu pulalah, seringkali memang praktik poligami justru menyengsarakan istri tua dan membahagiakan istri muda. Maka wajar ketika istri tua dibakar api cemburu apapun bisa dilakukan. Jauhnya Islam dari pemahaman yang benar telah menjebak kaum Muslim dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Penggambaran buruknya poligami juga makin digaungkan oleh negara kafir pembenci Islam, dengan melabeli ajaran Islam dengan radikalisme, tak sesuai HAM dan lain sebagainya. Hal ini bisa kita lihat ketika Indonesiapun meratifikasi UU bagi ASN yang tidak diperbolehkan menikah lebih dari satu. Seringkali alasannya adalah agar kesejahteraan meningkat, banyak anak banyak istri justru mendatangkan sengsara. Padahal tidak ada hubungannya.
Ketiga karena negara abai dalam mensejahterakan rakyat. Perekonomian mau tak mau sangat berkaitan erat dengan pernikahan. Pembagian nafkah yang tadinya hanya untuk satu istri ketika menikah lagi maka harus dibagi. Masalah sering timbul karena hari ini, kepala keluarga tak hanya mencari nafkah tapi juga memenuhi kebutuhan hidup yang seharusnya menjadi jaminan negara.
Kesehatan bayar mahal, pendidikan bayar mahal, kebutuhan pokok seperti papan, sandang dan pangan menjadi tanggungan kepala keluarga padahal ketiganya adalah tanggungan negara. Maka memang haruslah menempatkan syariat pada tempatnya.
Maka sebenarnya bukan poligaminya yang salah. Poligami butuh sinergi dengan aspek lain, jika sekarang ada upaya monsterisasi hal itu tak lebih karena ada campur tangan sistem yang tidak syar’i, yaitu kapitalisme demokrasi yang sama-sama asasnya adalah sekulerisme. Agama benar-benar hanya dipilih yang mudah saja. Karena poligami sebenarnya adalah solusi bagi beberapa keadaan, ia menjadi solusi jika tepat pada keadaan yang mengharuskan seseorang untuk poligami. Wallahu a’ lam bish shawab.