Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes– Presiden Joko Widodo blak-blakan soal alasan Indonesia masih impor garam sampai saat ini. Menurut dia, kebijakan impor dilakukan karena produksi garam di dalam negeri sampai saat ini rendah. Sementara itu, tak kunjung ada upaya penyelesaian yang dilakukan untuk menaikkan produksi garam.
“Masih rendah produksi garam nasional kita, sehingga yang kemudian dicari paling gampang yaitu impor garam. Dari dulu begitu terus dan tidak pernah ada penyelesaian,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas “Percepatan Penyerapan Garam Petani” di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Pemerintah memang terkesan selalu mengambil jalan termudah untuk mengatasi kelangkaan garam. Upaya impor garam ini setidaknya sudah berlaku sejak 2017 lalu, maka benarlah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan alasan pemerintah mengimpor garam konsumsi lantaran produksi garam lokal saat ini mengalami penurunan dan keputusan impor garam ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Ia menyebut pemerintah sebelumnya juga telah mengimpor produk garam (cnnindonesia, 05/10/2020).
Pernyataan Darmin yang mewakili pihak pemerintah tersebut masih menyisakan pertanyaan lain di benak banyak orang: Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia (54.716 kilometer), kenapa dari dulu masih harus impor garam?
Mengutip hasil riset Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP), belum mampunya Indonesia untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri ini disebabkan oleh banyak faktor
Pertama, masa musim kemarau di Indonesia itu pendek, yakni hanya sekitar 4 sampai 5 bulan. Jika dibandingkan dengan Australia yang mampu menjadi 10 besar negara pengekspor garam dunia misalnya, negeri kangguru itu memiliki iklim panas hampir sepanjang tahun sehingga memiliki kemampuan lebih besar untuk memproduksi garam melalui proses penguapan air laut dengan bantuan panas matahari.
Kedua, kelembapan udara di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 60-70 persen. Kondisi ini merupakan faktor penghambat dalam proses penguapan air laut menjadi kristal garam. Adapun Australia memiliki kelembapan udara yang rendah, yakni sekitar 20-30 persen.
Ketiga, peralatan dan cara produksi garam di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Akibatnya, mutu garam yang dihasilkan rendah. Kadar NaCl dalam garam yang dihasilkan dengan cara tradisional ini hanyalah sekitar 88-92,5 persen.
Mutu ini cukup jauh berbeda dengan mutu garam Australia yang sudah menerapkan inovasi teknologi (isolator) pada proses pembuatannya. Kadar NaCl dalam garam yang dihasilkan Australia adalah lebih dari 96 persen.
Keempat, petambak garam rakyat di Indonesia kurang mendapat pembinaan sehingga mereka kesulitan menaikkan produktivitas garam serta menghasilkan garam berkualitas tinggi. Berbeda dengan Australia, di sana tambak garam dikelola oleh sumber daya manusia yang profesional.
Kelima, luas areal tambak garam rakyat di Indonesia tergolong sempit dan berpencar-pencar. Rata-rata luasnya hanya 0,5 hektar per petambak. Berbeda dengan lahan tambak garam Australia yang luas dan tertata rapi (kumparan.com, 4/8/2017).
Dari pemaran di atas, artinya panjang garis pantai tak sepenuhnya mampu menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor garam, sebagaimana Australia yang memiliki garis pantai lebih pendek namun menjadi negara pengekspor garam no 2 dunia. Logikanya jika sudah bisa mengekspor maka kebutuhan dalam negeri sudah lebih dari cukup.
Hal itu bisa terwujud karena ada sinergi antara pemerintah dan rakyat, terutama dalam hal teknologi terbarukan pengelolaan garam, penyuluhan bagi para petani garam dan bantuan lain semisal modal usaha dan peralatan. Yang lebih penting lagi hentikan impor! Sebab kebijakan itu hanya memuaskan kantong para investor asing, belum lagi celah ada mafia harga dan penimbunan barang lokal agar tak terdistribusikan.
Masih lekat diingatan bagaimana tahun 2017 pemerintah impor dalam waktu yang hampir bersamaan dengan panen raya para petani garam, akhirnya rusaklah harga garam lokal dipasaran karena dibanjiri barang impor yang bebas bea masuk.
Terlebih pemerintah adalah pihak yang berwenang mengeluarkan kebijakan, maka semestinya payung hukum itu digunakan oleh petani lokal lebih dahulu, posisi mereka harus kuat untuk menciptakan ketahanan pangan dan kemandirian negara. Relakah rakyat sendiri menangisi garamnya yang tak laku padahal sudah banyak biaya dan tenaga yang sudah mereka keluarkan? Bukankah tujuan negara adalah mensejahterakan rakyat?
Blak-blakannya pemerintah semestinya diarahkan kepada perubahan kebijakan, harus pula beralih arah pandang tentang pengurusan urusan umat. Kapitalis Liberalis yang diadopsi pemerintah terbukti samasekali tak berpihak kepada rakyat. Bertahun kebijakan impor tak pernah direvisi atau setidaknya ditinjau kembali kevalidannya dalam menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.
Lebih jauh, campur tangan negara juga hingga penetapan apakah tambang garam itu kepemilikan umum atau bukan. Sebab jika masuk kepada pemilikan umum, haruslah negara yang mengelola agar tak ada satupun individu rakyat yang kesulitan dalam mengaksesnya. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan Abidh bin Jamal Al- Mazaniy:
“Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, “Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir”. Akhirnya beliau bersabda :” (kalau begitu) tarik kembali darinya”. (HR. Tirmidzi).
Maka, sangatlah batil kalau pemerintah terburu-buru menetapkan impor sebelum mengelola lebih jauh lagi bagaimana faktanya di masyarakat. Sekali lagi ini butuh pemerintahan dengan arah pandang bukan kapitalis Liberalis yang hanya mengupayakan keuntungan semata. Ini harus dirubah dengan menerapkan Islam. Bukan semata ekonomi syariat sebagaimana sekarang yang hanya berupa nama, sementara praktiknya masih menggunakan sistem asing alias kufur, namun benar-benar Kaffah atau menyeluruh.
Aturan Islam akan benar-benar menyejahterakan petani garam, tidak hanya itu, namun juga perekonomian yang lain. Tak akan ada cela bagi kerakusan kapitalisme dalam menguasai hajat hidup orang banyak.
Wallahu a’ lam bish showab.