Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Bengkel Istri)
MuslimahTimes– Sebuah video diunggah DW Indonesia, mempersoalkan pemakaian kerudung pada anak-anak. Menurut politikus PSI Nong Darol Mahmada di radio Jerman DW Indonesia, anak kecil yang dipakaikan kerudung oleh orang tua, guru atau orang dewasa, dikhawatirkan membawa pola pikir anak menjadi eksklusif karena sejak kecil ditanamkan untuk berbeda dengan yang lain. “Apakah anak-anak yang dipakaikan jilbab (kerudung) itu memiliki pilihan atas apa yang ingin mereka kenakan?” tanyanya retoris.
Memakaikan anak-anak kerudung adalah upaya mendidik agar anak-anak punya pola pikir yang benar. Orang tua selaku subjek, anak selaku objek pendidikannya. Namanya mendidik, anak didik memang tidak memiliki pilihan. Jika ada pilihan pun, adalah pilihan yang sama-sama benar. Bukan pilihan namanya, jika yang satu mengajarkan kebenaran dan satunya mengajarkan kesesatan.
Mendidik cara berpakaian yang sesuai syariat, hendaknya dilakukan sedini mungkin, karena pendidikan itu adalah proses pembiasaan. Kalau sejak kecil tidak terbiasa, semakin besar semakin tidak biasa.
Logikanya sama saja anak dididik supaya jujur, anak tak punya pilihan: harusnya boleh tidak jujur. Tidak. Karena berbohong itu dilarang. Nah, jujur diajarkan sejak dini, supaya kalau besar biasa jujur.
Penanaman nilai-nilai kejujuran ini bukan pemaksaan, tapi pembiasaan. Memberikan maklumat yang baik, yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan, itulah proses pendidikan. Dan, pendidikan terpenting adalah memberikan maklumat tentang syariat.
Anak di bawah asuhan orang tuanya, berhak mendapatkan pendidikan terbaik menurut pemahaman orang tuanya. Orang tua Muslim meyakini kerudung sebagai kewajiban, mereka terapkan untuk anak-anaknya. Toh mereka juga tidak julid kalau tetangganya mengenakan rok mini kepada anak-anaknya, karena menyadari mungkin pemahaman orangtua mereka seperti itu. Jadi, jangan terlalu dibesar-besarkan urusan ini.
Kalau dikatakan berkerudung itu eksklusif atau berbeda dari yang lain itu kalau diterapkan dengan konteks saat ini, di Indonesia, justru tidak tepat. Sebab, budaya kerudung sekarang sudah sangat memasyarakat. Yang berbeda itu justru yang tidak pakai kerudung. Lihat saja, ke pasar, ke sekolah, ke kantor pemerintahan, ke sekolah TK, ke kampus, perempuan sekarang lebih dominan yang pakai rok mini atau kerudung?
Jadi, justru anak-anak yang masih dipakaikan rok mini itu yang eksklusif. Tapi, umat Muslim dan para guru dan orang tua Muslim juga toh tidak julid anak-anak teman atau tetangganya yang tidak berkerudung. Sebab umat Islam itu sangat menghormati privacy mereka, dalam arti tidak mau ikut campur dalam proses pendidikan orang tua mereka terhadap anaknya masing-masing.
Meskipun demikian, konteks budaya bukan dalil untuk mencegah eksklusivitas. Artinya, andai kerudung belum membudaya pun, tugas menanamkan pemahaman soal kerudung tetap harus dilakukan.
Melihat siapa yang mengeluarkan statement, kita tidak usah terkejut. Sebagai pentolan JIL dan feminis, sudah sejak lama Nong Darol Mahmada itu menghujat jilbab dan kerudung. Memang itu misinya.
Masyarakat Muslim sudah cukup dewasa dan matang dengan pemahamannya soal kewajiban menurut aurat ini. Jadi cukup basi jika dipersoalkan kembali. Namun ini justru semakin membuka topeng, siapa saja pihak-pihak yang selalu menghujat kerudung, di saat masyarakat Muslim kian mencintai syariat agamanya ini.
Sebagai simbol Islam, kerudung dan jilbab akan terus difitnah dengan berbagai cara oleh para pengemban ideologi sekular liberal. Bukan hal aneh, karena mereka khawatir dengan kebangkitan Islam. Saat ketika peradaban Islam tegak nanti, di mana kebebasan mereka untuk bergaya hidup liberal terancam.