Oleh Erwina
#MuslimahTimes — Demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat sudah lazim dipahami. Demokrasi dalam sistem pemerintahan itu wajar keberadaannya. Namun dalam keseharian di negara yang mengambil sistem demokrasi ini, istilah demokratis akan mengikuti.
Berpendapat atau bersikap tidak ingin dikekang, itulah yang diklaim sebagai demokratis. Sebaliknya menghargai atau menghormati pendapat yang lain merupakan sikap yang diharapkan muncul pada suasana demokrasi ini. Selama itu tidak mengganggu yang lain.
Demokrasi Mengusung Kebebasan
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, rakyat diberikan keleluasaan ikut andil di dalamnya. Keterlibatan rakyat ini terwujud dalam bentuk pemilihan kekuasaan secara langsung ataupun melalui perwakilannya. Kedaulatan rakyat yang menjadi alasan yang mendasarinya.
Wajar jika kemudian mengemukakan pendapat menjadi hal yang lumrah dalam negara demokrasi. Tak hanya dalam berpendapat, kebebasan akan hal lain seperti berperilaku, memiliki sesuatu, bahkan dalam beragama menjadi lumrah adanya. Dengan kata lain, demokrasi menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia.
Pengekangan atas manusia menjadi hal yang paling dihindari dalam demokrasi. Sekalipun itu pembatasan atas sikap, pendapat, prinsip dari manusia. Demokrasi memginginkan manusia bisa bebas mengekspresikan dirinya.
Demokrasi diklaim terlaksana baik di negara-negara yang mengemban ideologi kapitalisme sekularisme. Hal ini nampak di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, dan negara-negara barat lainnya. Bagi negara berkembang kondisi tersebut membuat silau hingga akhirnya latah mengikuti.
Kebebasan Bertanggung jawab atau Kebablasan
Sikap latah yang dimiliki oleh negara berkembang termasuk negeri-negeri muslim menjadikan prinsip mendasar tergeser. Ikut beralih pula menerapkan ideologi kapitalisme sekularisme. Yang khas berupa memisahkan agama dari kehidupan. Biarlah agama dibicarakan dan dilaksanakan di rumah-rumah ibadah saja. Adapun dalam keseharian, kembali manusia yang berkuasa menentukan.
Hingga karena berangkat dari prinsip itu, membiasakan berhijab dini jelas mengusik prinsip kebebasan yang diambil. Dengan kata lain tidak demokratis dan itu merupakan pemaksaan. Juga menunjukkan kehidupan telah dicampuri oleh selain manusia yaitu agama. Suatu hal yang jelas terlarang dalam sekularisme.
Jika kemudian muncul cuitan seperti ini “Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ia kenakan?”menjadi wajar adanya. Itulah cuitan Twitter Deutch Welle (DW) Indonesia (25/09 2020) sebagai keterangan konten video mereka. Di video tersebut, DW Indonesia menyoal fenomena berhijab sejak dini di Indonesia. DW mewawancarai orang tua yang mewajibkan putrinya menggunakan hijab sejak dini, serta mewawancarai psikolog yang mengulas dampak negatif yang akan dialami anak jika berhijab dari kecil.
Sontak cuitan itu menuai ribuan hujatan dan komentar. Pro dan kontra menghiasi. Sebagian pihak membenarkan DW Indonesia, tapi tak sedikit yang berseberangan karena justru sikap itu mengusik hak orangtua untuk menjadikan anaknya lebih baik dengan pembiasaan berhijab sejak dini. Toh tidak ada yang dirugikan, terlebih si anak terlihat enjoy ketika memakainya. Bagaimana jika kelak anak sudah besar akankah seperti yang dikhawatirkan DW Indonesia? Ataukah apa yang disampaikan DW Indonesia justru bentuk kebebasan yang kebablasan?
Berhijab Ajaran Islam
Berhijab sebagai ajaran Islam telah jamak dipahami kaum muslim maupun non muslim. Memakai hijab telah menunjukkan identitas diri seseorang sebagai muslim. Dalam Islam sendiri diperintahkan bagi setiap muslimah untuk berhijab.
Perintah Allah SWT itu ada dalam QS An Nur :31 yang artinya “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,…” Juga dalam QS Al Ahzab : 59 yang artinya “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Maka orangtua muslim tentu menginginkan memiliki anak soleha yang taat pada ajaran agamanya. Pembiasaan pun dilakukan untuk mendidik anak-anak di usia dini. Anak merupakan amanah dari Allah SWT maka kelak setiap orangtua akan dimintai pertanggungjawaban atas pendidikan terhadap anak.
Peran orangtua dalam pendidikan anak sangatlah besar. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Wajar jika orangtua berkewajiban menuntun dan mendidik anak-anaknya. Prinsip penting dalam Islam adalah seorang muslim telah menjadi muslim yang bertakwa manakala menaati semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal ini menjadikan halal haram menjadi standar sikap dalam dirinya.
Sungguh suatu hal yang bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan. Apalagi pada kapitalisme sekularisme yang meninggalkan agama dalam kancah kehidupan. Dengan demikian seorang muslim sejati yang menginginkan generasi penerusnya kelak generasi muslim yang sejati pula haruslah mencampakkan kapitalisme sekularisme beserta demokrasi dan kebebasannya kemudian beralih pada prinsip dasar seorang muslim. Kebiasaan berhijab sejak dini bisa menjadi langkah awalnya dalam mendidik anak semata untuk menjalankan perannya sebagai seorang muslim sejati. Wallahua’lam bisshowab.