Oleh. Hana Rahmawati (Muslimah Pecinta Baca)
Muslimahtimes – Ada yang menarik dari dunia pendidikan kita hari ini. Bukan hanya pembahasan mengenai kesalahan moral pelajar kita, tapi juga cikal bakal hilangnya kisah suri tauladan yang sengaja ingin dijauhkan dari bangsa ini. Sabtu, 03 Oktober 2020, suarasumsel.id memberitakan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengeluarkan kebijakan yang di kemudian hari menjadi sebuah kontroversi, meminta agar siswa di tingkat SMA/SMK membaca sebuah buku Muhammad Al Fatih 1453 karangan Felix Siauw.
Dalam surat edaran pertanggal 30 September 2020 yang ditujukan kepada seluruh sekolah SMA dan SMK di Babel agar selain membaca, para siswa juga diminta untuk merangkum hasil bacaannya dari buku tersebut dengan gaya bahasa masing-masing. Kemudian selanjutnya hasil rangkuman buku tersebut harus dikumpulkan guna dilaporkan kepada Dinas Pendidikan Babel, paling lambat tanggal 18 Desember 2020. Surat ini dibuat tanggal 30 September dan ditanda tangani pada sore 01 Oktober.
Dikutip dari laman suarabatam.id, 02 Oktober 2020, surat tersebut telah diedarkan pada 01 Oktober pukul 19.00 WIB oleh sekretaris Dinas Pendidikan. Namun pada akhirnya, selang 1 jam kemudian setelah surat tersebut beredar, tepatnya pukul 20.00 WIB, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Babel, M Sholeh mendapat informasi jika pengarang buku Muhammad Al Fatih 1453, yakni ust.Felix Siauw merupakan anggota dari organisasi terlarang. Akhirnya surat keputusan tersebut dibatalkan dengan alasan keliru.
Menurut Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, mengatakan masih banyak buku sejarah lain yang layak dijadikan bahan bacaan selain buku Al Fatih 1453 karya ust Felix tersebut. Retno mencontohkan semisal buku sejarah lokal Bangka Belitung yaitu Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, buku-buku sejarah Bangka Belitung serta buku sejarah nasional lainnya. Retno menambahkan bahwa seharusnya Disdik Babel membuat daftar buku bacaan yang menarik, meningkatkan pengetahuan, menambah wawasan dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Penolakan dari pejabat publik mengenai surat edaran ini, bukan hanya datang dari pihak KPAI. Politisi partai Demokrat, Ferdinand Hutahean ikut angkat suara melaui akun twitter pribadinya. Ferdinand mencurigai posisi stempel dan tanda tangan di surat tersebut yang sama persis. Menurutnya hal itu merupakan pengkibulan yang dilakukan oleh organisasi yang dianggap terlarang di negara ini.
Adalah suatu hal yang sangat miris ketika pejabat publik justru melarang generasi hari ini untuk membaca buku berisi kisah sejarah kejayaan dari seorang pemuda tangguh pemberani. Bukankah sejarah hadir untuk dipelajari? Untuk ditiru kembali kejayaan yang penah diraih dan memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi di masa lampau. Bukankah kita hari ini adalah kita yang terlahir dari sebuah sejarah peradaban masa Adam dan Hawa? Lalu mengapa kita harus takut akan sebuah sejarah dalam sebuah buku? Jika dengan adanya sejarah dapat menjadikan kita aktor dalam sebuah peradaban yang berjaya, maka membacanya merupakan keharusan bukan masalah yang menakutkan.
//Peran Literasi Islam Bagi Sebuah Peradaban//
Di era 4.0 literasi seharusnya menjadi hal yang mudah untuk dinikmati. Era ini adalah era di mana teknologi dan digital mendapatkan tempat istimewa ditengah kehidupan manusia. Teknologi di era ini memudahkan kita mendapatkan berbagai informasi dari belahan penjuru negeri. Melalui teknologi juga budaya literasi dapat dihidupkan. Meski demikian, kehadiran buku juga diperlukan sebagai sarana penunjang.
Generasi-generasi muda memang harus diperkenalkan dengan buku-buku bacaan. Tentunya buku-buku yang memiliki nilai pembelajaran di dalamnya. Di dalam Islam, aktivitas membaca juga ditekankan dalam firman Allah yang pertama kali diturunkan,
‘iqro’. Dengan aktivitas membaca, maka seseorang tidak akan mengalami ketertinggalan di era masyarakat berilmu tinggi.
Berbicara literasi, tak lepas dari membicarakan semangat membaca para pemudanya. Sebagai seorang mukmin, memanfaatkan waktu dalam ketaatan kepada Allah haruslah menjadi prioritas. Mengambil setiap ibroh dari para salafus sholih terdahulu. Mencontoh semangat dan keberanian mereka dalam menegakkan kalimah Allah dan mengahancurkan segala bentuk kebatilan. Pemuda muslim akan mengetahui ini semua melalui aktivitas membaca. Membaca sejarah peradaban yang luar biasa. Kisah Muhammad Al Fatih salah satunya.
Ketua lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LBKI-MUI), prof. Endang Soetari mengajak umat Islam untuk menumbuhkan minat baca. Ia mencontohkan suatu masa yang memiliki tingkat literasi tinggi yakni kemajuan umat Islam di masa Dinasti Abbasiyah yang memiliki ratusan ribu koleksi buku.
“Islam merupakan agama yang mendorong untuk membudayakan literasi kepada umatnya. Umat Islam pernah berjaya melalui literasi.” Ungkapnya saat mengisi kegiatan Penguatan Literasi Islam dan Kebangsaan Generasi Milenial, kamis 24 Januari 2020 di Jakarta.
Membaca serta menulis yang merupakan bagian dari kegiatan literasi itu sendiri telah menghantarkan Islam pernah merasakan pucak kejayaan. Generasi-generasi muda Islam senantiasa belajar ilmu pengetahuan berlandaskan Aqidah Islamiyah serta membaca sejarah para pendahulunya yakni orang-orang shalih yang telah menginspirasi mereka sebagai pemuda pengukir kejayaan. Tentu apa yang mereka pelajari adalah ilmu-ilmu yang sesuai syar’i dan tidak bertentangan dengan hukum syara’. Maka membaca serta menulis sejarah generasi pendahulu niscaya memungkinkan mengulang kembali kejayaan Islam pada masa lalu. Dan ini dampak dari mencontoh generasi-generasi tangguh pada masanya yang diketahui dari buku-buku berisi kisah hidup mereka.
//Muhammad Al Fatih, The Conqueror//
Langkah Dinas Pendidikan Provinsi Kepulaun Bangka Belitung yang pada awalnya mengeluarkan kebijakan yang meminta agar siswa /siswi di Kepulauan Babel membaca serta merangkum kisah Muhammad Al Fatih yang terdapat dalam buku karya Felix Siauw seharusnya tidaklah dihentikan. Mengapa? Karena buku yang ditulis oleh seorang ustadz ahli sejarah tersebut, benar-benar murni mengenai pribadi Al Fatih. Seorang pemuda yang di usianya masih 21 tahun ternyata telah berhasil mengubah sejarah peradaban dunia kala itu. Bernama asli sultan Mehmed II, ia diberi gelar Al Fatih yang dalam bahasa turki berarti ‘penakluk’. Ia berhasil merebut kota konstantinopel yang saat itu merupakan negara adidaya kemudian menyinarinya dengan dakwah Islam yang ia bawa. Sedangkan di waktu yang sama kota tersebut merupakan pusat kota yang disegani dan ditakuti serta diliputi kedzaliman.
Muhammad Al Fatih merupakan seorang pemuda yang jauh sebelum kelahirannya, Rasulullah telah memprediksikan kehadirannya. Seperti termaktub dalam sebuah hadits, “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR.Ahmad).
Sejak Al-Fatih kecil, cita-cita kaum muslim serta bisyaroh Rasul tersebut telah tertanam kuat di benaknya. Ia menjadi seorang anak kecil yang rajin mempelajari sejarah Islam. Di usianya yang masih muda ketika pemuda lainnya sibuk bersenang-senang dan memikirkan diri sendiri, ia justru sibuk memikirkan keadaan umat Islam. Ia kemudian tumbuh menjadi seorang pemimpin yang tegas dan cerdas. Hidupnya hanya didedikasikannya untuk Islam.
Kisah Muhammad Al-Fatih sepatutnya layak dijadikan contoh oleh generasi muda sekarang. Di mana dewasa ini, akhlak pemuda semakin jauh dari mencerminkan kebaikan. Banyak muda-mudi saat ini yang hanya membuang waktu sia-sia berjam-jam di depan gawai untuk sekadar bermain game atau tik-tokan. Padahal banyak kegiatan berfaedah yang harusnya bisa mereka lakukan. Melarang generasi muda untuk membaca sejarah yang layak dijadikan tauladan, sama saja dengan mengikis usaha mereka untuk menjadi pemuda bermanfaat atau membiarkan mereka berada dalam keadaan kehilangan teladan yang mengarahkan tingkah laku mereka dalam pencarian jati diri.
Harusnya negara berperan aktif dalam mendorong generasi bangsa mempelajari sejarah. Mendorong mereka untuk mengidolakan generasi Qur’ani seperti Al-Fatih, Shalahuddin Al Ayyubi, Thariq bin ziyad dan lainnya, yang di usia masih sangat muda, mereka telah memberikan sumbangsih yang berarti bagi agama dan Daulah. Negara juga harus memfasilitasi ruang-ruang literasi bagi kemajuan sebuah peradaban. Bukan malah melarang atau menakuti di balik narasi ekstrimis atau radikalis.
Sungguh umat dan bangsa ini membutuhkan pemuda seperti generasi Al-Fatih. Berkontribusi bagi agama dan menyelamatkan umat dari gelapnya kejahilan menuju benderangnya keimanan. Negaralah yang harus mengambil peran dalam mencetak, melahirkan, serta membesarkan generasi seperti orang-orang shalih terdahulu. Dan peran negara seperti ini hanya bisa diterapkan jika Islam menjadi sumber acuan. Menjadi aturan yang diterapkan di segala lini kehidupan juga pada kehidupan bernegara.
Wallahu A’lam.[]