Oleh: Intan H.A
Muslimahtimes – Jam menunujukkan pukul 10.00 WIB. Perlahan, terik matahari mulai membakar kulit. Buliran tetesan keringat satu persatu mulai tumpah membasahi dahi.
“Mi, sebentar lagi kita sampai di sana ya. Ini lagi on the way.”
Kakakku menekan tombol klik. Sebuah pesan langsung melesat ke dalam aplikasi, tiba di layar si penerima ketika ia sedang menggenggam gadget sekarang.
Drrrt, drrrtt, drrrttt
_“ok.”_
Sebuah kalimat singkat menyembul di layar mini, membalas chat yang baru saja dikirim.
Meski hari ini raga terasa payah, namun ada kewajiban yang harus segera ditunaikan. Yakni sebuah kewajiban mempelajari ilmu bahasa Arab. Yang dimana hal ini tidaklah dapat tergantikan meski sebagian umat Islam telah menunaikannya.
Kepayahan dalam menunaikan kewajiban saat ini, tidaklah sebanding dengan apa yang dirasakan oleh Nabi Muhammad SAW ketika mendapat mandat dari Allah SWT. Beliau dipilih oleh Allah untuk mengemban sebuah amanah yang tidaklah mudah dipikul oleh manusia biasa. Seiring itu pula, Allah menyertai perjuangan Nabiyullah ini dengan sebuah mukjizat yang tidak pernah sirna hingga hari kiamat. Sebuah mukjizat yang mejadi pedoman hidup bagi umatnya. Mukjizat yang tidak pernah diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya, yakni Al-qur’an.
Sayangnya, ketika Rasulullah mulai membacakan ayat demi ayat kepada para penduduk Makkah, mereka tidaklah serta merta menerima seruan yang disampaikan oleh Rasul. Penolakan, cacian, penindasan dan juga fitnah mengiringi langkah dakwah yang ditempuh Rasul dan juga para pengikutnya. Sudah menjadi keniscayaan, tatkala kebenaran menyisir kebatilan. Pasti dengannya hadir pergolakan dari mereka yang tidaklah suka diusik kepentingannya. Namun, hal tersebut tidaklah menggoyahkan semangat para pemburu ridho Allah untuk terus menghantam ide-ide kufur yang menghancurkan tatanan kehidupan manusia.
“Janganlah sekali-kali kalian mempercayai apa yang dibawa oleh Muhammad. Sesungguhnya kitab yang ia bawa merupakan karangannya sendiri, yang ia pelajari dari salah seorang pemuda bernama Jabr.”
Sontak teriakan itu pun memekikkan telinga para penduduk Makkah. Bahkan jeritan itu menembus langit mengguncang ‘Arsy, Allah SWT. Hingga Allah pun menurunkan kalam-Nya untuk membantah tuduhan keji ini.
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, padahal ini (Al-Qur’an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.” (TQS. an-Nahl: 103)
Bagaimana mungkin, seseorang yang tidak memahami kaidah bahasa Arab mampu menciptakan Al-qur’an? Padahal bahasa yang digunakan Al-qur’an adalah bahasa Arab.
Orang Arab saja sudah ditantang oleh Allah SWT, untuk membuat yang semisal meski satu surah saja. Namun, sampai detik inipun tidak ada yang mampu menjawab tantangan tersebut. Alhasil, tuduhan dari para penentang dakwah Rasul ini sangat irasional. Sehingga terbantahlah apa yang mereka lontarkan itu.
Al-qur’an merupakan kitab yang memiliki keindahan dari segi bahasanya. Orang-orang Makkah sangat pandai bersya’ir. Tapi, tidak satupun sya’ir yang mereka ciptakan memiliki keindahan sastra sebagaimana yang dimiliki Al-qur’an. Keistimewaan inilah yang membuat Al-qur’an mampu menyentuh akal dan qalbu para pembaca dan juga yang mendengarkannya.
Bahasa Arab merupakan bahasa istimewa. Ia bukan hanya sebagai alat komunikasi, tapi menjadi wasilah memahami Al-qur’an maupun as sunnah yang diungkapkan dalam bahasa Arab. Mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab, akan memudahkan kita memahami syari’at Islam. oleh sebab itu, para sahabat yang menyerukan Islam ke seantero negeri akan mengenggam Al-qur’an di tangan kanannya, dan bahasa Arab di tangan kirinya.
Syeikh Ahmad bin Umar al-Hazimi menuturkan, “Buah dan faedah mempelajari ilmu Nahwu (bahasa Arab) adalah kunci memahami syariat. Adapun memelihara lisan dari kesalahan bertutur kata, ia merupakan buah cabang.”
Dengan mempelajari Nahwu Sharaf akan membantu kita menerjemahkan dan membaca kitab, sekaligus juga mampu berkomunikasi dalam bahasa Arab.
Dikarenakan hal inilah, di zaman keemasan Islam para Khalifah memberikan perhatian lebih dalam bidang pendidikan, terutama dalam mempelajari bahasa Arab.
Dalam kita Muqaddimat ad-Dustur dikatakan, “Wajib hukumnya bagi negara mengalokasikan porsi-porsi ilmu keislaman dan ilmu-ilmu bahasa Arab menjadi pelajaran rutin perpekan. Dengan kadar yang sama dengan ilmu lainnya. Baik dari segi jumlah maupun waktunya.”
Ironisnya, ketika Islam dicampakkan dalam kehidupan. Bahasa Arab seakan terpinggirkan. Bahasa Arab tidak lagi nampak kharismanya. Ia hanya dipelajari sebagai ilmu teoritis belaka. Padahal, ketika Islam disandingkan dengan bahasa Arab, maka akan nampak kekuatan besar yang turut mengembangkan kharisma Islam. Pemisahan dan pengaburan akan esensi bahasa Arab ini, tidaklah terlepas dari keberhasilan propaganda yang dilancarkan musuh-musuh Islam. Dikarenakan mereka sangat memahami, ketika umat Islam berpegang teguh pada agamanya, maka akan sulit bagi mereka untuk menguasainya.
Ibarat bunga-bunga yang tengah bermekaran di musim semi. Begitulah ghirah umat kini sedang bergelora. Umat Islam tidak lagi sungkan untuk mempelajari agamanya. Mendalami dan mempelajari bahasa Arab menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Tidak sedikit dari umat Islam yang sudah memahami akan pentingnya menguasai bahasa Arab, yang menjadi simbol daripada agama Islam itu sendiri. Mulai dari kelas online maupun offline, tidak sepi dari para peminatnya, baik remaja, dewasa, hingga yang lanjut usia berjibaku mempelajari bahasa surga ini.
***
“Padahal, kemarin sudah dibahas ciri-ciri isim seperti apa. Tapi, kok malah lupa lagi, ya,” seru salah seorang peserta yang sedari tadi sibuk membolak-balik kitabnya.
“Kita harus sabar mempelajari bahasa Arab. Dan jangan lupa untuk mengulang-ulang kembali materi yang sebelumnya pernah disampaikan,” ujar sang guru
“Nah, selain kita harus sabar dan terus repetition. Satu hal lagi yang harus diingat dan dipahami, agar nggak cepat putus asa saat belajar bahasa Arab,” sahutku menimpali.
Seketika itu juga seluruh mata tertuju padaku. Memandang penuh dengan keseriusan, menanti percakapan untuk dilanjutkan. “Rahasianya a-da-lah, menyadari faktor “U”. Itu salah satu kunci merajut rasa sabar, biar nggak mudah putus asa saat mempelajari bahasa surga ini.”
Seketika itu juga ruangan sontak dipenuhi suara tawa yang menggelegar, diiringi dengan candaan yang muncul berikutnya mengakhiri perjumpaan kelas bahasa Arab hari ini.[]