Oleh. Intan H.A
Muslimahtimes – Fajar mulai menyibakkan kegelapan. Aroma petrikor menusuk tajam ke dalam rongga hidung. Udara dingin yang menyeruak, membuat raga enggan beranjak dari alas pembaringan. Meski pagi masih menampakkan kesunyian, jari jemariku sudah lincah menari di atas layar mini.
Kebiasaan pagi sebelum melakukan aktivitas, aku selalu memulainya dengan mengintip beberapa informasi yang menyelinap di layar gawai. Ada beberapa berita di pagi ini yang mencuri rasa penasaranku. Salah satunya datang dari publik figur yang merupakan paman dari salah seorang artis sekaligus desainer tersohor di negeri ini.
Pemberitaan yang disoroti bukanlah mengenai prestasi yang diraih. Melainkan keputusannya yang mantap untuk berpindah keyakinan. Dari semula memeluk agama Islam, berpindah menjadi seorang non muslim. An (59) yang berprofesi sebagai seorang desainer artis, awalnya hanya seorang diri menyatakan pindah keyakinan. Namun, tak lama kemudian anak-anaknya pun mengikuti langkah bapaknya.
Di dalam Islam, seseorang yang menyatakan keluar dari agama Islam disebut dengan murtad. Murtad berasal dari kata ‘riddah atau irtiddad’ yang berarti kembali. Kembali pada kekafiran setelah meyakini bahwa Allah adalah zat yang Maha Esa.
Seseorang yang memutuskan untuk berpaling dari agama yang diemban sebelumnya, menandakan bahwa ada keraguan di dalam dirinya terhadap ajaran yang diyakininya.
Islam menyeru kepada manusia yang telah memasuki fase baligh, untuk memfungsikan akalnya dalam mencapai keimanan yang hakiki. Akal dikaruniakan oleh Allah kepada manusia untuk mengarahkan mereka dalam memenuhi potensi yang ada di dalam dirinya, yakni naluri dan kebutuhan jasmani. Kedua-duanya akan menuntut pemenuhan, baik disalurkan dengan cara yang benar atau salah. Hal itu tergantung dari pemahaman yang ada pada diri seseorang.
Pemahaman di dalam Islam dikenal dengan mafahim. Mafahim akan terbentuk dalam diri seseorang melalui proses berfikir. Dari hasil proses berfikir inilah akan muncul sebuah pemahaman yang mempengaruhi sikap seseorang. Proses berfikir ini harus melibatkan akal sebagai alat untuk memahami fakta, setelah fakta tersebut diindera, kemudian dimasukkan kedalam otak, yang didukung dengan bantuan informasi sebelumnya. Jika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, maka tidak akan terjadi sebuah proses berpikir.
Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (TQS. Ali- Imran: 190)
//Proses Keimanan yang Sahih//
Islam bukanlah agama doktrin yang memaksa manusia untuk bertaklid buta. Namun, dalam proses menuju keimanan yang sahih, Islam menyeru kepada manusia untuk melakukan penalaran terhadap alam semesta, manusia dan kehidupan. Dengan mencermati secara teliti, maka akan mengarahkan manusia pada sebuah keyakinan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan terdapat zat yang tidak memiliki keterbatasan, kekurangan, bersifat lemah dan membutuhkan yang lain. Sebagaimana ketiga unsur tadi. Zat yang berada dibalik ketiga unsur tersebut tidak lain adalah Allah Swt.
Melakukan proses berfikir dalam memahami eksistensi Allah sebagai zat yang mengatur dan menciptakan, merupakan syarat terbentuknya akidah dan keimanan dalam diri seseorang. Ia harus meyakini seratus persen serta dibangun berdasarkan dalil yang akan semakin menguatkan keimanannya. Namun, ketika seseorang sudah menghasilkan kesimpulan yang tepat melalui proses berfikir, kesimpulan itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak digunakan. Untuk itulah, konsekuensi daripada keimanan seseorang adalah menjadikan akal dan hawa nafsunya untuk tunduk pada syari’at Allah.
Islam memang tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk kedalamnya. Tapi, ketika seseorang sudah berikrar menjadikan Allah sebagai zat yang wajib disembah dan meyakini Rasulullah sebagai utusan-Nya, maka ia diwajibkan untuk taat pada semua perintah rabb-Nya.
Oleh sebab itu, seseorang yang memfungsikan akalnya dalam menggapai eksistensi Allah. Ia akan menjadi muslim yang produktif dan tidak mudah goyah oleh kenikmatan dunia yang bersifat fana. Hal ini akan menjadikan ia mantap terhadap agamanya dan tidak akan berpaling mencari agama lain dalam memenuhi naluri beragama yang ada dalam dirinya. Sebagaimana para sahabat seperti Billal bin Rabbah, keluarga Yassir, Mush’ab bin ‘Umair, dan lainnya, yang mereka rela berkorban demi mempertahankan keimanannya meski harus dibayar mahal dengan hilangnya harta, keluarga, bahkan jiwa. Inilah bukti hasil proses berfikir yang kelak mengantarkan manusia pada sebuah keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun terhadap agama Islam.[]