Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Anggota Komunitas Setajam Pena)
MuslimahTimes– Luar biasa, utang negeri ini kian melambung tinggi. Belum lunas utang sebelumnya, sudah nambah lagi dan lagi. Bahkan, telah masuk sepuluh besar sebagai negara yang memiliki utang terbesar.
Seperti dilansir republika.co.id (13/10/2020), Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu. Besarannya mencapai 402,08 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5.900 triliun dengan nilai tukar Rp 14.732 per dolar AS.
Data yang dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan Statistik Utang Internasional (IDS) pada Senin (12/10) itu menunjukkan, Indonesia berada pada peringkat keenam. Dengan mengecualikan Cina, negara-negara yang memiliki utang luar negeri lebih banyak dari Indonesia adalah Brasil, India, Meksiko, Rusia, dan Turki.
Bahkan, Ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini mengatakan Indonesia sudah masuk dalam perangkap utang. Pasalnya, pemerintah menambah utang untuk membayar utang maupun bunga utang.
“Sekarang kita ini sudah masuk dalam perangkap utang, harus utang untuk bayar utang, ini sudah relatif berat,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual (cnnindonesia, 2/9/2020).
Kapitalisme memang telah menjerat negeri ini. Tawaran demi tawaran bantuan yang diberikan asing, sesungguhnya hanya jebakan belaka. Bagaimana tidak, memberi bantuan hutang namun dengan bunga yang tak kira-kira. Belum lagi mengajak kerjasama dengan berinvestasi, namun sejatinya menggerogoti kekayaan negeri.
Karena sesungguhnya, utang ataupun adanya investor dari asing adalah jeratan yang mematikan. Selain karena ribawi atau bunga yang tinggi, dengan memberi utang mereka akan menyetir kebijakan dalam negeri dan mempengaruhi keputusan kepala negara. Pastinya, dengan utang ini maka hanya akan mewarisi generasi dengan beban tak berkesudahan.
Sungguh, hal ini sangat berbeda jika semua kepengurusan rakyat dilakukan dengan cara atau sistem Islam, yang bersumber dari Zat Yang Maha Mengetahui, Allah SWT. Dalam negara yang menerapkan sistem Islam yaitu Khilafah, seorang pemimpin (Khalifah) akan mencari pemasukan atau sumber pendapatan negara (baitul mal) sesuai dengan syariat. Yang pertama adalah dari kepemilikan umum, yaitu air, api, dan padang rumput. Ini seperti sabda Nabi SAW, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Kepemilikan umum tidak boleh dikuasai, dikelola atau didominasi oleh individu, kelompok atau bahkan asing. Untuk kepemilikan umum yang tidak memerlukan pengelolaan khusus, maka rakyat boleh memanfaatkannya dengan tetap dipantau oleh negara. Contohnya, sungai, hutan atau padang rumput.
Sedangkan yang memerlukan pengelolaan khusus dan membutuhkan para ahli dibidangnya, seperti tambang emas, perak, timah, minyak bumi dll. maka negara akan mengelola dengan maksimal dan hasilnya akan masuk baitul mal untuk mengurusi dan membiayai semua kebutuhan rakyat. Seperti pada bidang kesehatan, pendidikan dan keamanan. Karena hal itu merupakan kewajiban negara.
Kedua adalah kepemilikan negara. Kepemilikan negara bersumber dari fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, dan lain sebagainya. Harta kepemilikan negara akan digunakan sesuai kebijakan Khalifah. Bisa untuk mengurusi urusan rakyat secara umum atau darurat seperti pandemi seperti saat ini.
Ketiga adalah dari zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah dan sedekah. Untuk penyaluran zakat hanya untuk 8 asnaf yang sudah Allah tetapkan dalam QS. At-Taubah: 60.
Begitulah sumber pemasukan negara (baitul mal) dalam Islam. Jika semua dilakukan dengan maksimal, insyaallah negara tidak akan kekurangan dana untuk mengurusi urusan rakyat. Jikapun suatu saat baitul mal kosong, dan ada kebutuhan mendesak seperti bencana dan lain-lain, maka negara akan menarik pajak. Namun, hanya pada warga negara yang kaya saja. Atau seandainya masih kurang lagi, maka negara akan meminjam harta warga negara yang kaya tanpa riba.
Wallahua’lam bish-showab.