Oleh. Aya Ummu Najwa
MuslimahTimes.com– Kata ulu [أولو] adalah bentuk jamak – yang tidak memiliki mufrad (kata tunggal) –, artinya ashab (pemilik). Dan kata ulu dalam penggunaannya dijadikan frase dengan isim dzahir (kata benda selain kata ganti). Seperti Ulu al-Quwwah [أولو القوة] artinya pemilik kekuatan, Ulu al-Maal [أولو المال] artinya pemilik harta, dan seterusnya. Ditulis dengan ada huruf wawu yang pertama [أولو], namun tidak dibaca.
Kata yang kedua adalah kata al-Albab [الألباب]. Kata ini adalah bentuk jamak, dan memiliki 2 kata mufrad (kata tunggal)
Mufradnya adalah kata al-Labab [اللَّبَبُ] yang artinya bagian dada binatang yang diikat tali agar pelana tidak lepas.
Mufradnya adalah kata al-Lubb [اللُّبُّ] yang artinya inti dari segala sesuatu.
Kata lubbur rajul [لُبُّ الرَّجُل] artinya akal seseorang. Karena inti manusia adalah akalnya. (Lisanul Arab, Ibnul Mandzur).
Dalam Al-Quran, kata Ulul Albab diterjemahkan dengan orang yang berakal.
Kaitannya penggunaan kata ini dengan makna bahasa, orang yang berakal disebut ulul albab, karena mereka adalah orang yang menggunakan akalnya dan akal adalah yang menjadi pengikat bagi manusia agar dia tidak melakukan tindakan yang melanggar aturan atau tindakan memalukan.
Ayat pertama yang menyebutkan kata ulul albab adalah firman Allah di surat al-Baqarah: 179.
Allah berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Imam as-Sa’di – rahimahullah – menjelaskan tafsir ayat ini,
ولما كان هذا الحكم، لا يعرف حقيقته، إلا أهل العقول الكاملة والألباب الثقيلة، خصهم بالخطاب دون غيرهم، وهذا يدل على أن الله تعالى، يحب من عباده، أن يعملوا أفكارهم وعقولهم، في تدبر ما في أحكامه من الحكم، والمصالح الدالة على كماله، وكمال حكمته وحمده، وعدله ورحمته الواسعة، وأن من كان بهذه المثابة فقد استحق المدح بأنه من ذوي الألباب
Mengingat hukum ini – qishas – tidak diketahui hakekatnya kecuali orang yang memiliki akal sempurna dan logika yang sehat, Allah mengarahkan ayat ini kepada mereka dan bukan manusia secara umum. Dan ini menunjukkan bahwa Allah memotivasi para hambanya, agar mereka menggunakan pikiran dan akal mereka untuk merenungkan hukum-hukumnya, kemaslahatan hukum yang menunjukkan kesempurnaan-Nya, kesempurnaan hikmah-Nya dan pujian-Nya, keadilan dan Rahmat-Nya yang luas. Dan orang yang memiliki kedudukan semacam ini, dia berhak mendapatkan pujian dan itulah pemilik al-Albab. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 84).
Kata Ulul Albab atau Ulil Albab disebutkan oleh Allah sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an. Dan jika diperhatikan penggunaan kata ini dalam al-Qur’an, bisa disimpulkan bahwa hakekat ulul albab adalah orang yang menggunakan akalnya untuk mengenal siapakah Allah, bagaimana keagungan-Nya, bagaimana kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya, dengan melihat ayat-ayat Allah. Baik ayat kauniyah (ciptaan-Nya) maupun ayat Syar’iyah (hukum Allah). Sehingga dia akan semakin tunduk dan taat kepada Allah, berusaha menjalankan syariat-Nya dalam setiap aspek kehidupan.
Sementara orang yang menggunakan logikanya untuk mengakali syariat, yang justru membuat dia semakin jauh dari aturan, semakin liberal, mereka bukan ulul albab. Karena ada yang cacat pada logika mereka.
Adapun ciri-ciri Ulul albab ada tiga, yaitu;
1. Haus dalam Menuntut Ilmu Agama.
Menuntut ilmu terutama ilmu agama hukumnya wajib bagi setiap muslim. Sebagaimana Hadits riwayat Ibnu Majah,
طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِثْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim.”
Karena dengan ilmu, manusia bisa mengetahui mana yang hak dan yang bathil. Dengan ilmu dia akan tau mana yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan dan mana yang dilarang. Dengan ilmu agama maka seorang mukmin akan menjadi seorang yang beriman dengan keimanan yang sahih.
Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :
اَفَمَنْ يَّعْلَمُ اَنَّمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ الْحَـقُّ كَمَنْ هُوَ اَعْمٰى ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal yang dapat mengambil pelajaran,” (QS. Ar-Ra’d 13: Ayat 19)
2. Mengambil Hikmah dari setiap Kejadian
Ciri kedua dari ulul albab adalah senantiasa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Hikmah ini diberikan kepada Ulul Albab karena merekalah yang mampu mengambil pelajaran dari setiap kejadian.
Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَآءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 269)
Seorang Ulul albab akan senantiasa menjadikan setiap kejadian adalah pelajaran, dan mengambil hikmah di balik setiap peristiwa, sehingga dia akan berhati-hati dalam melangkah, sehingga tidak akan melanggar koridor Syara’.
3. Mengingat Allah dalam Keadaan Apapun.
Ciri yang ketiga dari Ulul Albab adalah senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun.
Alloh Subhanahu wa Taala berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan ber baring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya ber kata): “Ya Rob kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali Imron [3]: 190-191)
وَلِهَذَا قَالَ: {لأولِي الألْبَابِ} أَيِ: الْعُقُولِ التَّامَّةِ الذَّكِيَّةِ الَّتِي تُدْرِكُ الْأَشْيَاءَ بِحَقَائِقِهَا عَلَى جَلِيَّاتِهَا، وَلَيْسُوا كَالصُّمِّ البُكْم الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ [تَعَالَى] (3) فِيهِمْ: {وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ. وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ} [يُوسُفَ:105، 106] .
ثُمَّ وَصَفَ تَعَالَى أُولِي الْأَلْبَابِ فَقَالَ: {الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ} كَمَا ثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عِمْران بْنِ حُصَين، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَم تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ أَيْ: لَا يَقْطَعُونَ ذِكْره فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِمْ بِسَرَائِرِهِمْ وَضَمَائِرِهِمْ وَأَلْسِنَتِهِمْ {وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ} أَيْ: يَفْهَمُونَ مَا فِيهِمَا مِنَ الحكَم الدَّالَّةِ عَلَى عَظَمَةِ الْخَالِقِ وَقُدْرَتِهِ، وَعِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ، وَاخْتِيَارِهِ وَرَحْمَتِهِ.
Karena itu, Dia berfirman: “.. terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (3: 190) Yaitu akal-akal yang sempurna lagi memiliki kecerdasan, karena hanya merekalah yang dapat mengetahui segala sesuatu dengan hakikatnya masing-masing secara jelas dan gamblang. Lain halnya dengan orang yang tuli dan bisu serta orang-orang yang tak berakal. Seperti yang disebutkan oleh Alloh Subhanahu wa Taala dalam firman-Nya:
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Alloh) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedangkan mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Alloh, akan tetapi mereka tetap mempersekutukan Alloh (dengan sesembahan-sesembahan lain)”. (Qs. Yusuf: 105 -106)
Selanjutnya Allah menjelaskan ciri khas ulul Albab, melalui firman berikutnya. Mereka adalah: “Orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring. (3: 191) Seperti yang disebutkan di dalam kitab al-Bukhori dan Muslim dengan melalui Imron ibnu Hushoin rodiyallohu anhu bahwa Rosulullah shollallohu alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Salatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu berdiri, maka sholatlah sambil duduk; dan jika kamu tidak mampu sambil duduk, maka sholatlah dengan berbaring pada lambungmu.”
Mereka tidak pernah terputus berzikir mengingat-Nya dalam semua keadaan. Lisan, hati, dan jiwa mereka semuanya selalu mengingat Allah Azza wa Jalla
“.. dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi”. (3: 191)
Mereka memahami semua hikmah yang terkandung di dalamnya yang menunjuk kan kepada kebesaran Pencipta-nya, kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, dan rahmat-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir: 2/184)
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dengan melalui Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
«صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ»
“Shalatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu berdiri, maka shalatlah sambil duduk; dan jika kamu tidak mampu sambil duduk, maka shalatlah dengan berbaring pada lambungmu.”
Mereka tidak pernah terputus dari berzikir mengingat-Nya dalam semua keadaan mereka. Lisan, hati, dan jiwa mereka semuanya selalu mengingat Allah Subhanahu Wata’ala.
{وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
“dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran: 191)
Mereka memahami semua hikmah yang terkandung di dalamnya yang menunjukkan kepada kebesaran Penciptanya, kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, dan rahmat-Nya.
Syekh Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Sesungguhnya bila aku keluar dari rumahku, tiada sesuatu pun yang terlihat oleh mataku melainkan aku melihat bahwa Allah telah memberikan suatu nikmat kepadaku padanya, dan bagiku di dalamnya terkandung pelajaran.” Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abud Dunia di dalam Kitabut Tawakkul wal I’tibar.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri bahwa ia pernah mengatakan, “Berpikir selama sesaat lebih baik daripada berdiri shalat semalam.”
Al-Fudail mengatakan bahwa Al-Hasan pernah berkata, “Pikiran merupakan cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukanmu.”
Sufyan ibnu Uyaynah mengatakan bahwa pikiran merupakan cahaya yang memasuki hatimu. Adakalanya ia mengucapkan tamsil untuk pengertian tersebut melalui bait syair ini:
إِذَا الْمَرْءُ كَانَتْ لَهُ فِكْرَةٌ … فِفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ عِبْرَةٌ
“Apabila seseorang menggunakan akal pikirannya, maka pada segala sesuatu terdapat pelajaran baginya.”
Disebutkan dari Isa AS bahwa ia pernah mengatakan.”Beruntunglah bagi orang yang ucapannya adalah zikir, diamnya berpikir, dan pandangannya sebagai pelajaran.”
Untuk kembali membangkitkan kejayaan Islam, untuk membangun kembali peradaban Islam, karakter dan ciri seorang Ulul albab yang telah dicontohkan oleh generasi salafushalih terdahulu, harusnya dijadikan pedoman oleh generasi masa kini. Haus akan ilmu agama dan ilmu pengetahuan, senantiasa mempertajam daya fikir dengan senantiasa berdzikir kepada Allah dalam keadaan apapun, adalah modal utama generasi masa depan. Dengan karakter ini maka generasi gemilang calon pemimpin dunia akan didapatkan, bukan dengan kemalasan, tawuran, narkoba, kecanduan tik tok dan Kpop yang hanya akan melahirkan generasi pembebek, alay nan lebay, juga cengeng dan rapuh.
Wallahu a’lam