Oleh. Asy Syifa Ummu Sidiq
MuslimahTimes.com – Santri adalah sebutan bagi para pelajar di pondok pesantren. Ketelatenannya dalam mempelajari Islam menjadikan santri sebagai orang yang berilmu. Mereka pun akan berusaha mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Salah satunya adalah ajaran Islam tentang jihad. Panggilan jihad akan disambut para santri mana kala hal ini sangat diperlukan.
Sebagaimana resolusi jihad yang pernah diserukan oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Di saat Beliau mengetahui Belanda akan melakukan agresi kembali bersama sekutunya (Inggris). Seruan itu terjadi pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Melalui resolusi jihad para santri memohon Pemerintah Republik Indonesia untuk menyatakan sikap tegasnya terhadap agresi Belanda.
Dari resolusi tersebut berkobarlah api semangat jihad para santri. Termasuk semangat Bung Tomo yang memimpin arek-arek Surabaya untuk melawan sekutu. Dengan semangat itu terbunuh lah pemimpin Sekutu Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 27-29 Oktober 1945.
Untuk menghargai bagaimana semangat perjuangan para santri dalam menghadapi penjajah, maka 2015 di tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Peringatan itu diperingati hingga sekarang.
Belajar dari para santri
Melalui peristiwa resolusi jihad ini ada beberapa hal yang bisa kita pelajari. Pertama tentang semangat juang mereka. Dengan berlandaskan iman, mereka kobarkan semangat juang menghadapi musuh. Mereka yakin akan panggilan jihad. Dimana ketika mereka menyambutnya pahala sudah di depan mata. Jika mereka syahid, Surga Firdaus didapatnya. Jika mereka menang, kemerdekaan bagi tanah airnya.
Melihat kegigihan mereka selayaknya kita pun tak boleh kendor semangat. Memang penjajah sebagaimana Belanda dan Inggris telah tiada. Namun bagaimana dengan penjajahan ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan hingga kedaulatan?
Bangsa ini masih terjerat hutang yang jumlahnya ratusan triliun. Kekayaan SDA pun masih dikuasai asing. Pendidikan kita masih mengacu pada barat. Budaya kita semakin ikut kebarat-baratan. Kita juga tak bisa menentukan nasib sendiri. UU yang ada banyak yang pesanan. Bukankah ini disebut merdeka rasa penjajahan?
Maka, kita pun tak boleh tinggal diam. Sebagaimana para santri dahulu. Kita harus berjuang meraih kemerdekaan yang hakiki. Jangan sampai iming-iming para kapital mengalahkan idealisme kita. Hanya Allah tujuan sebenarnya.
Pelajaran kedua, para santri adalah miniatur ketaatan kepada Agama, Allah, Rasul dan KitabNya. Mereka adalah orang-orang yang zuhud, merendah dari dunia dan merindu Surga. Bagi mereka ketaatan kepada pemimpin adalah segalanya. Asalkan pemimpinnya adalah orang yang lurus dan ikhlas. Oleh karena itu mereka langsung menyambung seruan K. H. Hasyim Asyari untuk berjihad di jalanNya. Karena mereka tahu, Beliau adalah orang yang berilmu, lurus dan tidak cinta dunia.
Begitu pun bagi kita saat ini, kita tak boleh memilah dan memilih ketaatan kepada Allah dan Rasul. Segala apa yang diperintahkan kita taati. Segala yang dilarang kita jauhi. Begitu pula dengan para kyai atau para pemimpin. Asalkan mereka taat pada Allah maka kewajiban kita untuk menaati. Namun, jika mereka ingkar, kewajiban kita untuk mengingatkan.
Pelajaran ketiga, resolusi jihad ini diserukan oleh pimpinan Nahdatul Ulama (NU). Namun seruan ini disambut oleh seluruh bangsa Indonesia. Tak membedakan suku, warna kulit hingga kelompok tertentu. Ini membuktikan bahwa ketaatan kita pada Islam di atas segala-galanya. Tak ada sekat kelompok.
Maka seharusnya hal itu pun kita ambil. Baik seruan itu berasal dari kelompok manapun, jika itu adalah seruan berjuang menegakkan agama dan menjaga tanah air dari serangan musuh, sikap kita adalah menyambutnya. Inilah yang disebut sebagai persatuan.
Tentu kita masih ingat dengan peribahasa “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Jika kita bersatu melawan musuh yang sebenarnya insyaAllah kita akan memenangkannya. Namun, jika kita terkotak-kotak atas nama kelompok semata, kekalahan ada di depan mata.
Musuh kaum muslimin sebenarnya
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, tidaklah mengapa kalian menqashar sembahyang kalian, jika kalian takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh kalian yang nyata.” (QS an-Nisa’ [4]: 101).
Jelaslah musuh kita yang sebenarnya bukanlah saudara seaqidah. Bukan pula saudara beda harokah (kelompok). Tapi musuh kita adalah orang-orang kafir yang memperlihatkan permusuhannya terhadap kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang menjajah negeri kita. Mereka merampok kekayaan alam kita. Bahkan mendidik anak cucu kita dengan budaya dan pemikirannya.
Sayangnya banyak dari kita yang tak menyadari itu. Banyak kaum muslim berfikir mereka adalah contoh kemajuan peradapan. Dengan kapitalis demokrasinya mampu memimpin dunia. Dengan keadidayaannya dapat membungkam musuh-musuhnya. Mereka adalah negara kaya, yang memiliki modal untuk dipinjamkan dan diinvestasikan. Tanpa kita sadari sesungguhnya mereka telah menjajah kita.
“Apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Karena itu, waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. al-Munafiqun [63]: 4)
Begitulah Allah menjawab setiap pertanyaan kita. Musuh kita adalah serigala berbulu domba. Atas nama HAM melindungi perdamaian dunia. Namun mereka membiarkan kaum muslim dibantai, disiksa dan dijajah.
Semoga kita dapat mengambil ibrah hari santri ini. Bukan sekadar merayakan saja. Tapi menjadikan mereka sebagai contoh dan tauladan dalam meningkatkan takwa. Wallahu’alam bishowab.