Oleh: Mimin Nur HandayaniÂ
(Praktisi Pendidikan)
MuslimahTimes– Sejak ketok palu sah Omnibus Law UU Cipta Kerja (Senin, 5 Oktober 2020) tidak lekang oleh gelombang protes dari serikat buruh dan elemen masyarakat. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun bakal menggelar demo besar-besaran jika Presiden Jokowi meneken UU Cipta Kerja (detiknews, 28/10/2020).
Kompleksitas regulasi peraturan per-undang-undangan menjadi latar belakang munculnya UU tersebut. Karena dianggap menjadi hambatan ekonomi paling utama disamping hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia.
Memang wajar, jikalau pemerintah saat ini tengah dihujani banyak kritik masyarakat setelah mengesahkan UU Cipta Kerja. Kesan terburu-buru mengesahkan, tidak adanya kemudahan aksesibilitas publik dalam mendapatkan informasi draft finalnya, hingga dugaan pasal-pasal kontroversial menjadi tanda tanya besar. Alhasil UU Cipta Kerja ini ditengarai cacat Hukum Formil (Procedural Law) dan materil sehingga menjadi UU terburuk yang mengabaikan proses legislasi.
Disisi lain adanya demonstrasi yang meluas untuk menyalurkan aspirasi, alih-alih penguasa mengkaji ulang atau membatalkan UU. Justru nampaknya tengah sibuk untuk mencari terduga provokator atau sponsor di balik aksi (Kompas, 10/10/2020).
Tindakan represif pun mulai nampak dengan adanya penangkapan peserta aksi, seperti mahasiswa, tokoh pergerakan, hingga para jurnalis (CNNIndonesia, 13/10/2020).
Sungguh semua ini tidak lain membuktikan watak asli demokrasi yang buta untuk melihat derita rakyat dan tuli untuk mendengar aspirasi rakyat.
Beberapa pakar politik pun menilai bahwa lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini mengkonfirmasi semakin serakahnya demokrasi karena melahirkan rezim oligarki yang hanya memenangkan kepentingan segelintir elit. Penelitian Marepus Corner bertajuk ‘Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia’ menemukan sebanyak 55 persen anggota DPR (318 orang dari 575 anggota) merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor (Liputan6, 9/10/2020).
Inilah potret demokrasi yang memang salah konsep. Demokrasi memandang bahwa kedaulatan di tangan rakyat, artinya rakyat harus memiliki peraturan sendiri. Alhasil membuat aturan sendiri sebebas-bebasnya, tanpa memperhatikan halal haram berdasarkan rambu-rambu syariat Allah swt. Konsep lainnya ialah rakyat sebagai sumber kekuasaan, yakni dengan memilih penguasa berdasarkan suara mayoritas rakyat. Padahal realitasnya mereka dipilih oleh minoritas rakyat yaitu elit partai politik yang kemudian dilegitimasi oleh publik.
Akhirnya, negara dijalankan oleh pemilik modal, kapital, pengusaha layaknya perusahaan atau disebut korporatokrasi. Undang-undang yang dihasilkan pun harus menguntungkan para kapital, bukan rakyat. Inilah bukti kemunduran sistem demokrasi yang berdampak pada lunturnya kepercayaan (trust) rakyat kepada penguasa.Kepercayaan tersebut tidak bisa diminta, tapi didapatkan dengan konsisten menghasilkan kebijakan pro rakyat.
Selama masih berpijak pada sistem demokrasi, maka tidak akan pernah ada hasil yang menguntungkan. Demikian pula tawaran demokrasi untuk menggantungkan perbaikan nasib dari judicial review atau perubahan/ pembatalan UU lewat gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sungguh ini adalah tipu daya berulang, karena UU sejenis ini akan terus lahir dalam demokrasi.
Kenyataannya, dalam demokrasi rakyat memang berdaulat, namun kedaulatannya terbatas. Rakyat memang berkuasa, namun terbatas sampai pemilu usai saja. Inilah ilusi demokrasi dalam memberikan harapan palsu. Omong kosong jaminan kebebasan berpendapat jika terlampau kritis hingga memberi solusi dari ideologi Islam. Maka yang ada hanya mencetak rezim represif penghalang seruan keadilan.
Berbagai kezaliman yang ada memang harus dihapuskan. Umat butuh perubahan mendasar, yakni dengan mencampakkan demokrasi dan menggantinya dengan sistem khilafah.
Khilafah akan menghadirkan regulasi yang adil dan lepas dari kepentingan segelintir elit semata. Segala peraturan yang dihasilkan bersumber dari penggalian hukum syara (Al-Qur’an, As-sunnah, Ijma’ sahabat dan Qiyas). Karena kedaulatan dalam Islam ada di tangan syara’ artinya pembuat hukum tertinggi adalah Allah swt, Maha pencipta sekaligus pengatur (Al-Khaliq wa Al-Mudabbir). Seluruh aturan Islam pun senantiasa berorientasi kemaslahatan rakyat dan menyejahterakan.
Wallahu’alam bishawab.