Oleh: Tari Ummu Hamzah
MuslimahTimes– Sejak kapitalisme memiliki kekuatan untuk mengendalikan percaturan politik dan perekonomian global, sejak saat itulah negara-negara kapitalisme mulai melakukan propaganda untuk menancapkan kuku tajamnya.
Khususnya di negeri jajahan mereka. Agenda-agenda besar kapitalisme tidak akan berjalan mulus tanpa adanya uang pelicin sebagai pemulus jalan mereka. Dari sinilah peran para kapitalis dan elit politik saling bersinergi. Mereka memiliki strategi dan permainan penuh tipu daya. Bahkan mereka tak segan-segan mengorbankan masyarakatnya sendiri.
Ingat di dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah “memihak kepada rakyat”. Yang ada malah “mengorbankan rakyat”. Apalagi kapitalisme yang menonjol dalam hal ekonomi, malah menjadikan rakyat sebagai elemen yang harus melayani mereka. Memeras darah rakyat tanpa diberikan hak yang pantas. Dalam hal ini khususnya masyarakat kecil dan kaum buruh.
Sejak dimulainya revolusi Industri di Eropa, buruh ibarat cerminan manusia yang turun kedudukannya menjadi faktor produksi. Ia disamakan dengan alat (mesin), modal dan tanah yang bisa diperlakukan eksploitatif, yaitu kaum kapital bisa mempekerjakan kaum buruh dengan semena-mena, demi tercapainya kepentingan kelompok borjuis. Ditambah lagi kaum borjuis ini telah dipengaruhi oleh pemikiran Adam Smith. Teori ini menggambarkan pemikiran memperoleh laba sebesar mungkin dengan modal setipis mungkin.
Buktinya adanya kerja romusha yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda, menjadi bukti bahwa kesewenang-wenangan terhadap kaum pribumi sebagai buruh mereka. Dalam sektor pertanian dan pertambangan masa kolonial Belanda, pribumi hanya menjadi alat tanpa upah. Jelas ini memeberikan keuntungan besar bagi pemerintah kolonial dan para kapitalis yang tergabung dalam VOC.
Inilah yang mendorong para kaum kapital dan borjuis untuk berlomba-lomba memperkaya diri mereka. Parahnya rakyatlah yang harus bekerja keras untuk para kaum kapital. Sedangkan para buruh akan dipersulit untuk mendapatkan haknya. Kondisi seperti ini tidak menghentikan sepak terjang agenda kapitalis, meskipun kapitalis pernah berada dalam jurang kematiannya para krisis di tahun 1930.
Apa relevansinya dengan masa sekarang?
Kapitalis telah berhasil menjadikan “pemain-pemainya” Sukses dalam menancapkan kuku tajamnya di negeri jajahannya. Sehingga sikap matrealis dan liberal seolah telah mendarah daging di negeri-negeri jajahannya. Sehingga menciptakan kaum-kaum kapitalis yang tergabung dalam sebuah korporasi. Lebih jauh lagi koorporasi yang berisi para pemodal telah melangkah jauh menjadi para oligarki. Mampu mengendalikan negara dengan kekayaan mereka.
Akibatnya rakyat makin diperas dan diambil hak-haknya. Nyatanya pengesahan omnibus law telah menjadi bukti bahwa kapitalis melakukan sebuah permainan jahat bagi kaum buruh. Mereka hanya menganggap buruh sebagai alat yang harus dibayar murah dan dikurangi hak-hak mereka. Sebab ketika kapitalis menganggap buruh sebagai “alat produksi” Maka dalam terminologi mereka, alat produksi adalah sama seperti mesin yang harus bekerja terus menerus tanpa harus diberikan “perawatan” atau bisa kita artikan “haknya”.
Kaum kapitalis rupanya menyepelekan kondisi pekerjaan tanpa “perawatan”, yang mana akan menimbulkan keresahan yang berujung kericuhan. Bertahun-tahun lamanya aksi demo buruh selalu ramai digelar, untuk mengkritik kebijakan pemerintah akan nasib buruh. Ini menandakan bahwa kapitalis telah menggandeng elit politik untuk membuat sebuah undang-undang untuk memuluskan kepentingan dan eksistensi para kapitalis.
Bagaimana Dalam Pandangan Islam?
Dalam panen Islam buruh sebaik objek pekerjaan jelas mendapat haknya sesuai dengan kesepakatan si pemberi kerja atau pihak perusahaan. Rasulullah SAW bersabda:
Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).
Hadis ini menunjukkan kewajiban seorang majikan membayar upah buruh manakala telah selesai pekerjaannya. Hadis ini pun menunjukkan bahwa Nabi saw membolehkan aktivitas perburuhan. Tapi juga harus diingat bahwa besaran upah juga harus sesuai jasa, tenaga, waktu, jenis pekerjaan dan tempat. Kemudian sang pemberi kerja wajib memberikan haknya buruh yang telah selesai menunaikan pekerjaan, sesuai dengan kesepakatan.
Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).
Kedua hadist tersebut telah menunjukkan bahwa Islam begitu memperhatikan nasib para buruh. Sehingga ketika terjadi perjanjian pekerjaan, pakem itukah yang seharjsnya digunakan oleh kaum Muslimin sehingga tidak terjadi kezaliman. Dalam Islam pun pengusaha muslim aktivitas pekerjaannya pun tidak boleh mengutamakan sikap memperkaya diri, sebab itu adalah sebuah aktifitas kezaliman.
Jelas hanya sistem Islamlah yang mampu membentuk tatanan kehidupan umat manusia secara sahih sehingga tidak akan dijumpai fenomena kesengsaraan bagi pemeluknya. Sebab seluruh aktivitas kaum Muslimin seharusnya disandarkan dengan akidah.
Perlu diingat semua ini bisa terwujud dengan adanya peran pemerintah, yang mampu mengatur regulasi penerapan syariat secara kaffah.