Oleh: Silvia Anggraeni, S.Pd.
MuslimahTimes– Sudah menjadi watak kapitalisme, apapun yang menguntungkan pasti akan dikejar. Menyasar apapun yang menjadi sumber datangnya uang. Termasuk aspek krusial yang berpengaruh pada generasi masa depan. Seperti akar yang tak pernah lelah mencari sumber mineral, ia menyusup hingga ke lini pendidikan. Hal yang seharusnya menjadi sarana pembinaan para generasi mendatang, tetap dijadikan santapan kerakusan. Tak peduli dampak buruk yang akan ditimbulkan.
Saat ini krisis orientasi kehidupan dialami oleh sebagian besar generasi Z. Waktu mereka banyak dihabiskan untuk besantai dan bermain game online. Penelitian di Amerika Serikat bahkan menemukan 86 persen remaja kecanduan game online. WHO pun telah menetapkan kecanduan game online ini sebagai penyakit gangguan mental. Dan saat ancaman bahaya menanti para penerus bangsa, atas nama keuntungan maka industri ini justru dilirik untuk selanjutnya difasilitasi melalui jalur vokasi.
Memfasilitasi para penggemar game dengan menjadikannya sebagai salah satu program studi ibarat pisau bermata dua. Dijadikannya industri game sumber keuntungan yang menjanjikan dengan mengiris tumbuh kembang generasi muda dengan hal yang melenakan. Kalam Allah tentang ilmu yang tidak bermanfaat: ” Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka sudah tahu barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” [Al-Baqarah/2:102]
Game online yang banyak digandrungi anak-anak, remaja bahkan orang dewasa ini menyimpan bahaya yang luar biasa. Masa produktif yang seharusnya diisi dengan aktivitas yang bermanfaat hanya dilewatkan dengan berfantasi di dunia Maya. Waktu yang berharga mereka buang sia-sia. Padahal “Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya dari kematian, karena menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskan dirimu dari dunia dan penduduknya”. [Al-Fawaid hal 44]
Pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap individu, dan kewajiban bagi negara untuk menyediakannya dan menjamin pemenuhannya. Seluruh aspek pendidikan harus diperhatikan agar mampu mencetak generasi yang cemerlang. Jelas takkan mungkin didapat dengan sistem kapitalisme yang telah nyata hanya memikirkan untung semata.
Berbeda dengan yang sistem Islam tawarkan. Bagi umat Islam agama adalah dasar (pondasi) utama dari keharusan berlangsungnya pendidikan karena ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal mengandung aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik yang bersifat ubudiyyah (mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya), maupun yang bersifat muamalah (mengatur hubungan manusia dengan sesamanya) (Zuhairini, 1993:153).
Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islami); (2) penguasaan tsaqâfah Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan).
Adapun tujuan pendidikan di dalam Islam adalah membentuk manusia yang: (1) Memiliki kepribadian Islam; (2) Handal menguasai pemikiran Islam; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK (ilmu, pengetahuan, dan teknologi); dan (4) Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka penerapan pendidikan dalam sistem Islam selalu berlandaskan pada akidah Islam yang merupakan jalan hidup kaum muslim. Sedangkan pemberian materi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan umum akan diberikan secara proporsional dengan tetap menjaga kemurnian pemikiran dari ide-ide selain Islam. Sehingga tak lepas dari koridor syari’at. Dan output yang dihasilkan adalah manusia yang unggul dan bertakwa. Serta mampu bersaing dengan kemajuan teknologi.
Wallahu alam bisshowab