Oleh: Sunarti
MuslimahTimes– Gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Ketika orang besar berselisih, rakyat kecil yang menjadi korban.
Begitulah kondisi yang terjadi saat ini. Sangat pas dengan peribahasa di atas. Saat orang-orang berebut kursi kekuasaan, rakyat kecil tetaplah terlunta dan sengsara. Yang miskin akan tetap miskin dan yang kaya akan terus melaju di kalangan manusia bergelimang harta.
Tak heran jika berbagai macam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, justru berbuah kezaliman. Demikian pula ketika dunia berharap keberhasilan dalam mengubah tatanan dunia baru terhadap negeri super power, Amerika Serikat, sangat besar. Akankah semua terwujud?
Siapa yang tidak kenal negeri yang terkuat hegemoninya di dunia ini, Amerika Serikat dengan kekuatan ideologinya ini mampu menguasai hampir seluruh negeri-negeri di dunia. Pantas saja jika dalam pemilihan presiden kali ini banyak negeri-negeri berharap besar padanya. Terutama perbaikan ekonomi dunia. Seperti harapan Arab Saudi dan Cina.
Dengan kemenangan Joe Biden, berharap kebijakan tak seperti yang dilakukan oleh Donald Trump. Dengan iming-iming kata-kata yang berasal dari bahasa Arab, bangsa-bangsa seolah memiliki harapan besar pada Biden. Tak ayal jika dukungan berhamburan. Termasuk umat muslim yang tinggal di AS dan mengikuti pipres.
Sebagaimana yang disinyalir inews.id, bahwa dalam salah satu sesi debat capres, Trump mengatakan laporan pajaknya akan dirilis ke publik sesegera mungkin setelah dirampungkan.
Biden pun langsung menimpalinya. “Kapan (laporan pajak itu dirilis)? Insya Allah?” ucap mantan wapres AS dua periode itu.
Ungkapan “Insya Allah” yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “jika Allah mengizinkan” adalah frasa yang sering digunakan kaum Muslim secara tulus untuk memenuhi janji.
Tak bisa dipungkiri, ungkapan itu juga kadang kala digunakan secara sarkastik di Barat, yang berarti sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Tak sampai disitu, Biden menunjukkan keseriusannya merangkul Muslim Amerika Serikat dengan berjanji akan menandatangani undang-undang kejahatan rasial serta mengangkat staf Muslim dalam pemerintahannya.
“Suara Muslim Amerika penting, tapi kita semua tahu bahwa suara Anda tidak selalu dikenali dan diwakili. Itu hak Anda sebagai warga negara,” lanjutnya.
Council on American-Islamic Relations (CAIR)–organisasi hak sipil dan advokasi Muslim terbesar di Amerika Serikat–merilis hasil polling pilpres AS 2020 pada hari Selasa (3/11/2020) yang menunjukkan lebih dari 69 persen Muslim AS mendukung Biden, sementara 17 persen memilih Trump.
Tak tanggung-tanggung, Biden dalam kampanyenya, menarik simpati pemilih muslim dengan mengutip hadist Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan setiap Muslim mencegah keburukan.
“Barangsiapa di antara Kamu yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu, jika tidak sanggup lakukan dengan lisanmu. Jika masih tidak sanggup ubahlah dengan hatimu,” ujar Biden seperti dilansir AFP (inews.id).
Jika ditilik kemenangan Joe Biden seharusnya tidak perlu banyak berharap pada kalimat-kalimat kampanye seorang Biden. Bagaimanapun juga, selain Biden seorang non muslim, sistem yang diterapkan di negeri Paman Sam ini adalah sistem demokrasi kapitalis. Sehingga sebaik apapun janji yang diucapkan, hasilnya akan tetap sama. Yakni, wujud asli sistem kapitalisme dibmana yang kuat dia yang menang. Bagaimana kesejahteraan bisa terwujud jika sistem yang diterapkan tidak berpihak kepada rakyat kecil?
Semestinya ditelisih lebih jauh, siapa di balik kemenangan Joe Biden ini. Ada perusahaan-perusahan besar dan kuat yang mendukung kemenangannya. Joe Biden mendapat dukungan dana dari berbagai perusahaan teknologi raksasa.
Donasi kampanye (donatur) terbesar Biden berasal dari universitas, pemerintah federal, dan perusahaan teknologi, sedangkan (donatur terbesar) Trump adalah perusahaan pengiriman surat, Walmart, dan militer.
Melihat ini, apakah bantuan dari donatur itu cuma-cuma? Bukankah dalam sistem kapitalisme berlaku, ‘tak ada makan siang gratis.’ Jadi tidak seharusnya berharap besar akan kemenangan Biden maupun kemenangan presiden yang lain. Selama sistem yang diterapkan masih sama, selama itu pula kesejahteraan dunia tak akan terwujud.
Belajar dari dalam Negeri Amerika Serikat
Di dalam negerinya sendiri, Amerika Serikat sebenarnya telah terjadi perdebatan antara dua partai besar di AS. Republican vs. Democrat sekalipun sering disebut perdebatan ideologis, sejatinya adalah perdebatan dalam satu arena ideologi; sekularisme. Sejatinya ini menunjukkan lemahnya ideologi yang mereka agung-agungkan. Dalam negeri Amerika yang sejatinya telah keropos akibat para politisi mereka sendiri.
Lebih tepatnya, keduanya adalah perdebatan antar persepsi, tolok ukur/standard dan keyakinan sekularisme. Semua akan berstandar pada kecerdasan akal manusia. Sama sekali tidak melibatkan aturan Tuhan di dalamnya.
Melihat sepak terjang Amerika dimana kapital menjadi kiblat (sekaligus Tuhan). Aqidah sekularisme yang asasnya adalah kompromi. Dan sejarah Amerika adalah hegemoni kekuasaan tanpa prinsip. Hal ini dikuatkan dengan fakta publik di Amerika (akademisi, politisi, artis, media) tampaknya lebih trust dan antusias versi sejarah Amerika yang berpusat kepada diskriminasi dan eksploitasi
Lantas, masihkah mau berharap pada negeri super power yang menerapkan sistem demokrasi sekuler yang nyata-nyata cacat ini?Tidakkah berpikir untuk menerima Islam beserta seperangkat sistem sempurnanya?
Ngawi, 12 November 2020