Oleh. Ainy Syarif, S.Pd
(Pengelolah Rumah Tahfidz)
#MuslimahTimes — Baru-baru ini terungkap fakta pembunuhan terhadap anak sendiri lantaran kesal karena sulit diajari belajar online. Peristiwa ini terjadi di Lebak, Banten pada September lalu yang menimpa seorang anak kelas 1 SD (Kompas.com,14/9 2020).
Perbuatan keji seorang ibu yang tega membunuh dan menganiaya anaknya ini bermula saat sang anak susah diajari dalam belajar online, sehingga membuat sang ibu marah dan memukulnya dengan sendok dan piring sampai meninggal. Sempat bingung dengan kematian buah hatinya, sang ibu kemudian langsung menguburnya lengkap dengan baju yang dikenakannya.
Sungguh miris melihat fakta mengerikan ini. Seorang ibu yang seharusnya dan selayaknya menjadi malaikat atau hero bagi anak dan keluarganya, begitu mudah berubah menjadi monster yang menakutkan. Mungkin orang akan langsung mengira pastilah ibu itu sedang mengidap gangguan jiwa sehingga tanpa nalar melakukan perbuatan biadab tersebut.
Kekerasan anak semakin bertambah seiring adanya pandemi yang sudah berlangsung sejak awal tahun lalu. ASISTEN Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian PPPA Valentina Gintings menyoroti maraknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama pandemi. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari-19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak dengan rincian 852 kekerasan fisik, 768 psikis dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Angka tersebut tergolong tinggi dibanding saat sebelum pandemi.
Patut menjadi perhatian bagi kita semua, untuk mengetahui apa sesungguhnya yang tengah terjadi dan apa yang dialami oleh sosok ibu tersebut, sehingga tindakan di luar batas normal menjadi pilihannya. Kondisi ini diduga kuat akibat pelaku mengalami depresi dan tekanan hidup yang luar biasa. Sebabnya adalah karena persoalan pribadi dan keluarga yang bertumpuk-tumpuk yang tidak mampu diselesaikan, sehingga menyebabkan goncangan jiwa.
Setidaknya ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya depresi pada seorang ibu. Pertama, faktor pribadi, terjadi karena adanya pola hidup yang tidak sehat, makanan yang tidak sehat, kurang tidur dan olah raga. Potensi depresi utama juga dipicu oleh pandangan hidup seseorang. Bagaimana dia memahami dan menjalani kehidupan ini. Kehidupan yang materialistis yang membius mengakibatkan seseorang melambungkan keinginannya untuk hidup serba berkelimpahan dan menjadi tujuan utama hidupnya.
Kedua, keluarga yang tidak harmonis. Ibu memiliki tugas yang cukup strategis di dalam rumah tangga. Disamping menjadi ibu bagi anak-anaknya, dia juga merupakan istri dan pengatur rumah tangga. Bisa kita bayangkan pada masa pandemi seperti sekarang ini tentu tugas ibu sangatlah berat. Disamping dia harus mengajari anak-anaknya sekolah online, dia juga berhadapan dengan masalah pemasukan keluarga yang minim akibat buruknya kondisi ekonomi. Dari mulai kenaikan harga kebutuhan pokok, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Bisa kita bayangkan bagaimana seorang ibu harus menghadapi persoalan ini jika ditambah dengan komunikasi yang buruk dengan suaminya. Ketiadaan kerjasama yang baik antara suami dengan istri inilah yang menyebabkan lelah hati dan fisik yang akhirnya membuat ibu mudah mengalami depresi.
Ketiga, kondisi masyarakat yang materialis, pola hidup kapitalis liberal yang jauh dari nilai-nilai agama menyebabkan adanya persaingan hidup yang tidak sehat, individualis, kemerosotan akhlaq serta tingginya, kriminalitas. Semua ini adalah lingkungan yang sangat buruk dan jauh dari rasa empati dan kenyamanan.
Keempat adalah faktor negara. Saat ini negara seolah berlepas tangan dari tanggungjawab untuk memenuhi hajat hidup rakyat. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar, siapa yang mampu akan bertahan dan siapa yang lemah akan tergerus oleh roda kehidupan. Kebijakan negara yang pro asing dengan mencabut subsidi, privatisasi BUMN, pajak yang tinggi, menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta dan asing serta membuka lapangan kerja untuk asing, semakin menambah beban hidup masyarakat termasuk di dalamnya berpengaruh pada keluarga.
Demikianlah pusaran kesulitan telah menghimpit keluarga dalam hal ini ibu yang menjadi pelaku utamanya. Maka, jika kehidupan materialistis kapitalis seperti ini masih terus dipertahankan, tentu kualitas kehidupan yang penuh kesempitanlah yang akan dialami oleh ibu, sehingga kekerasan kepada anak sering kali menjadi tempat pelampiasan. Sebaliknya, kondisi demikian akan sulit ditemui ketika Islam ada di tengah-tengah kehidupan kita secara kaffah. Islam begitu sempurna dalam memperhatikan kesejahteraan para ibu, karena Islam berpandangan, dari ibulah akan tercipta keluarga yang harmoni, suami-suami yang solih dan anak-anak yang salih.
Pada saat Islam diterapkan secara sempurna dalam bingkai negara, yakni Khilafah, negara akan selalu mengondisikan ketakwaan setiap pribadi rakyat dengan ketakwaan yang sempurna. Kejelasan hakikat hidupnya mengantarkan pada kejelasan langkah dalam menjalani hidupnya dalam keluarga dan masyarakat. Negara pun dalam hal ini memberi kehidupan sosial dan lingkungan yang kondusif, yang menghilangkan setiap kesempitan hidup. Tersedianya lapangan kerja bagi setiap kepala keluarga, biaya hidup yang murah, pendidikan gratis, kesehatan yang terjamin, membuat hati ibu tenang dan fokus dalam upaya memberi yang terbaik untuk buah hati. Semua itu akan terwujud, manakala kehidupan ini hanya diatur oleh sistem hidup paripurna yang datangnya hanya dari Sang Pencipta hidup, yakni Allah Swt. Wallahu’alam.Â