Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes– Cerita orangtua tak merestui pernikahan anaknya sepertinya hanya layak tayang di sinetron televisi, tapi kali ini terjadi nyata! Dan tak habis pikir, kog ya ada …
Cerita bermula ketika sang anak sulung mengenalkan calon istri kepada ibunya. Teman semasa kuliah, dari sekedar romantisme kampus biru kini ingin serius menafkahi lahir batin. Semula sang ibu menerima dengan bahagia bahkan mengajak sanak saudara untuk melamar sang gadis pujaan hati anaknya ke kota lain.
Persiapan pernikahan segera disiapkan, dari reservasi hotel, wedding organation, akomodasi keluarga, seragam pernikahan, hantaran, mas kawin dan tak lupa undangan. Semua disiapkan calon mempelai pria sendiri, dengan sedikit bantuan keluarga calon mempelai perempuan.
Bahkan rumah tempat kelak calon pengantin itu membina rumah tangga mereka tak luput dari daftar persiapan calon pengantin pria, tak masalah kontrak, asal halal apapun jadilah, begitu pikirnya sembari tersenyum simpul. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, senyum itu pudar seketika menjadi tangis dalam hati tak terperi.
Apa pasal? Ibu sang mempelai pria menyatakan tidak setuju tanpa angin tanpa hujan. Dengan tegas meminta bicara 6 mata dengan calon pengantin. Dengan tujuan, sang gadis diharap” meminang” anak lelakinya untuk menikah. Jika tidak, maka kembalikan semua biaya yang sudah dikeluarkan sang ayah dan air susu sang ibu.
Langit serasa runtuh! Dalam adat Jawa yang kental tak ada ceritanya anak gadis meminta pria untuk menikahinya tanpa walinya. Dalam Islampun hanya janda yang boleh meminang pria mana yang disukai.
Usut punya usut, ternyata sang ibu tak sepakat dengan rencana sang anak yang hanya ingin pesta sederhana, bukan resepsi mewah ala negeri 1001 malam. Apa kata relasi dan bos-bos teman sang ayah begitu pikir sang ibu, sebab mereka termasuk keluarga terpandang di daerah itu? Sang anak mencoba memberi penjelasan bahwa uang yang ia punya hanya cukup untuk gelar pesta sederhana. Sebab pasca menikah itulah yang pasti butuh dana lebih banyak.
Tak mau terima penjelasan sang anak, ayah dan ibu justru mengungkit masa lalu dan mulai menghitung berapa uang yang harus dikembalikan sang anak. Termasuk ASI yang sudah dihisab anak. Astaghfirullah …
Beberapa alasan dibuat agar sang anak membatalkan pernikahannya. Mulai dari ancaman, teror WhatsApp, mendeskreditkan sang gadis sebagai sosok tak ideal dan lain sebagainya. Hingga, satu rahasia tanpa sengaja diketahui sang anak, yaitu tahun pernikahan kedua orangtuanya tak cocok dengan tahun kelahirannya.
Secara refleks sang anak menyimpulkan dia adalah anak yang dikandung ibunya sebelum sang ibu resmi menikah dengan ayahnya. Anak di luar nikah. Sederet kenangan bergulir tanpa diminta yang makin menguatkan mengapa ia dibedakan dengan adik perempuannya. Terlebih jika kedua orangtuanya bertengkar, ia selalu menjadi sasaran kemarahan dan bahkan hingga ia mampu menghasilkan uang sendiri di hadapan kedua orangtuanya ia tak pernah benar.
Sungguh tragis! Pecahlah hubungan anak dan orangtua dengan masing-masing menyimpan dendam, yang sebetulnya tak perlu. Di mana akar persoalannya?
Tentulah berawal dari pemahaman mereka terhadap visi dan misi di dunia sebagaimana firman Allah dalam Quran surat Adz-Dzariyyat :56 yang artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Arah pandangnya terhadap dunia ini berawal dari sesuatu yang salah, akhirnya seluruh apa yang ia putuskan terkait pemenuhan seluruh kebutuhan hidupnya pun ditempuh dengan cara yang salah.
Hal ini juga termasuk dalam dampak mundurnya kaum Muslim karena pengaruh sekulerisme, tepatnya sejak mereka tak memiliki pemimpin yang mengingatkan mereka akan Allah Sang Pemilik alam semesta dan seisinya.
Betapa seorang ibu akhirnya kehilangan hati nuraninya, sebab hingga kapanpun anak tak akan mampu mengembalikan air susu yang sudah dihisapnya dan menjadi darah yang mengalir ke sel-sel anak, menumbuhkan tak hanya raga namun juga sifat dan karakter.
Ibnu ‘Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya: “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku), wahai Ibnu ‘Umar?” Beliau menjawab: “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitannya (saat bersalin).”
Lantas bagaimana sang anak bisa membayar? Jika tak ada harga yang sepadan dengan pengorbanan sang ibu. Bukankah ini juga bentuk kezaliman? Tanpa sadar sang Ibu telah menutup pintu keberkahan yang Allah berikan dalam hubungan anak dan ibu?
Padahal Rasulullah bersabda,”Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu.” (QS Al Isra 17: 23). Artinya anak hanya berkewajiban berbuat baik, diantaranya dari perilakunya, keimananannya, lisannya dan bukan muamalah jual beli. Terlebih Allah menjamin tak akan membebani hambaNya melebihi kemampuannya ( QS Al-Baqarah 2:286).
Maka alangkah bijaknya jika kita sebagai ibu menjadi pihak yang mengantar anak dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana yang dimaksud syariat dan bukan malah menjadi penghalang? Sebab kita sendiri butuh tak sekedar doa anak yang salih. Lebih dari itu , kita butuh keterikatan anak dengan syariat sepanjang usia mereka agar kitapun boleh menikmati surgaNya Allah.
Marilah kita ungkapan rasa cinta kepada anak secara manusiawi, didik anak dengan ilmu agama agar ia mengenal Allah dan RasulNya. Jadikan anak-anak kita sebagai pemuja kita karena Lillah, bukan karena sekedar balas budi.
Wallahu a’ lam bish Shawab.