Oleh. Jayanti
Muslimahtimes – Moderasi dalam bahasa Arab disebut dengan al-Wasathiyah. Secara terminologi ‘wasathiyah’ berasal dari kata wasath yang berarti sesuatu yang berada di tengah-tengah di antara dua batas, atau keadilan, atau sesuatu yang biasa saja. Definisi sederhana wasathiyah adalah sebuah sikap dimana seorang muslim mampu menyeimbangkan antara urusan kehidupan dunia dan akhirat, tanpa ada berat sebelah di antara keduanya. Oleh karena itu, seorang muslim yang moderat akan senantiasa fokus meningkatkan kualitas dirinya, baik dalam urusan dunia dan akhirat, baik dalam hubungan antar sesama ciptaan Allah maupun hubungan pribadi seorang Muslim kepada Tuhannya.
Sejalan dengan ajaran Islam yang universal dan bercorak seimbang, maka al-wasathiyyah didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dibandingkan dan dianalisis, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat.
Konsep moderasi (jalan tengah) sesungguhnya tidak ada di dalam Islam. Negara Baratlah yang pada awalnya memproduksi kemudian memaksakan kaum Muslimin agar ikut mengadopsinya. Tujuannya tidak lain adalah sekularisasi pemikiran Islam, meragu-ragukan dan menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam. Selanjutnya, mengeliminasi nilai-nilai dan praktik Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam lainnya dan menggantinya dengan pemikiran dan budaya Barat.
Sebagaimana saat Fachrul mengungkapkan institusi pemerintahan memiliki banyak peluang untuk disusupi paham radikal. Caranya diawali dengan mengirimkan anak “good looking” untuk mendapatkan simpati, seperti seorang anak yang menguasai bahasa Arab dan hafal Al-Qur’an atau hafiz. Stigma radikal jelas-jelas ditujukan pada Islam dan kaum muslimin. Narasi itu pun tak berhenti di mulut sang menteri, namun juga diaruskan di masyarakat.
Yang terakhir melalui dilaunchingnya film My Flag – Merah Putih Vs Radikalisme besutan Nahdlatul Ulama (NU). Film tersebut dituding memuat konten adu domba untuk membenci wanita bercadar. Tokoh Nahdlatul Ulama Jawa Timur, KH Luthfi Bashori menanggapi film My Flag – Merah Putih Vs Radikalisme. Ia menegaskan bahwa film yang diunggah NU Channel itu mendiskreditkan cadar.
Proyek deradikalisasi dengan moderasi Islam makin makin massif dan para pegiat di dalam negeri-yang notabene dari kaum Muslimin sendiri tampak makin percaya diri menjajakannya, tak lain karena support dari negara adidaya. Saat kunjungan ke Indonesia, Menlu AS Mike Pompeo bahkan secara khusus mengangkat topik ini sebagai salah satu pesan utamanya. Terutama saat dia hadir dalam acara GP Ansor bertajuk Nurturing the Shared Civilizational Aspirations of Islam Rahmatan lil ‘Alamin yang dihadiri tokoh-tokoh agama nasional serta para diplomat. (liputan6.com, 29/10/2020)
Di acara itu, ia memuji habis-habisan pemerintah Indonesia yang dipandang konsisten mengusung Islam damai (nama lain Islam moderat), tradisi toleransi dan demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang plural. Di saat sama, ia mengkritik orang-orang yang memakai nama Islam untuk melakukan kekerasan. Pompeo juga mengatakan, sejak Reformasi 1998, Indonesia telah memberikan contoh positif kepada dunia tentang bagaimana aspek yang berbeda-beda, kelompok etnis yang berbeda-beda, dan juga ideologi yang berbeda-beda dapat hidup bersama dengan damai (nama lain untuk sikap moderat). Pernyataan Pompeo ini memang bukan tanpa alasan. Pemerintah terutama di era Jokowi memang tampak sangat serius memastikan proyek moderasi Islam dan deradikalisasi bisa sukses mendampingi penyempurnaan proyek liberalisasi dan kapitalisasi yang berjalan massif di sektor ekonomi dan sektor-sektor publik lainnya. Maka bisa dibayangkan, para penyuluh agama harus menyampaikan konten Islam sesuai arahan Barat. Toleransi yang dimaksud tentu adalah toleransi “ala Barat”.
Barat paham betul, Islam adalah sebuah agama yang mempunyai ideologi, pemikiran, dan paham. Inilah kekuatan kaum Muslimin.
Oleh karenanya, agar tetap lemah dan tetap dalam hegemoni Barat, mereka jauhkan Islam ideologis-Islam politis dari kaum muslimin. Islam hanya diletakkan di ruang privat, seputar ibadah dan akhlak. Walhasil kaum muslimin tak mengenal politik Islam, ekonomi Islam, tata sosial dalam Islam. Justru mereka familiar bahkan berkubang dalam sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalis yang ribawi.
Bertolt Brecht, penyair Jerman yang hidup pada abad 19 menyatakan,
“Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak telantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Jauh sebelum Bertolt Brecht berucap tentang bahaya buta politik, Islam telah menjadikan aktivitas politik merupakan tugas umat Islam yang paling penting dan merupakan prioritas utama yang dilaksanakan. Tanpa aktivitas politik, Islam tak akan tersebar luas dan tidak mungkin disampaikan ke seluruh umat manusia. Sebaliknya, terbukti dengan lepasnya akidah Islam sebagai ideologi politik umat Islam maka musibah besar menimpa kaum muslimin dengan hancurnya Daulah Khilafah Islamiyah menjadi negara sekuler kecil-kecil. Oleh karenanya menghadirkan Islam politik di tengah umat hari merupakan suatu hal yang mendesak.
Keterlibatan individu Muslim dalam politik merupakan juga suatu kewajiban. Sebagaimana sabda Rasulullah “Suatu saat akan datang para pemimpin, mereka melakukan makruf (kebajikan) dan kemungkaran (kejelekan). Siapa yang benci (dalam hati) akan kemungkaran yang dilakukan oleh pemimpin, maka ia sudah bebas dari dosa dan hukuman. Barang siapa mengingkarinya, maka dia selamat. Sedangkan (dosa dan hukuman adalah) bagi yang rida dan mengikutinya.” Kemudian para Sahabat berkata, “Apakah kami boleh memerangi mereka?” Rosulullah menjawab “JANGAN SELAMA MEREKA MELAKUKAN SHOLAT”.
Butuh hadirnya kembali kesadaran umat terhadap Islam politik, demi kembalinya kemuliaan di tangan mereka dengan bersatunya kaum muslimin dalam naungan Khilafah Islam. Institusi politik yang akan membungkam narasi-narasi buruk tentang Islam, menenggelamkan makar kaum kuffar.