Oleh: Hana Rahmawati (Member Revowriter Tangerang)
MuslimahTimes.com – Kurang lebih sembilan bulan sudah virus corona mengubah tatanan kehidupan di negeri ini. Mulai dari work from home (WFH) hingga pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah diterapkan guna menghindari kerumunan massa. Keadaan seperti ini menimbulkan kejenuhan yang sangat dan tentunya tidak hanya dialami oleh orang dewasa, namun juga anak-anak usia pelajar. PJJ yang diterapkan pemerintah, mau tidak mau, suka tidak suka, faktanya telah menutup ruang bebas anak-anak untuk bertemu, bermain dan belajar bersama teman-teman seperjuangan di sekolah. Belum lagi, beban tugas yang malah kian menumpuk selama PJJ berlangsung, dan juga dengan diiringi segudang cerita dramatis, mulai dari tidak memiliki gawai hingga jaringan signal yang bermasalah.
Hal-hal seperti inilah yang lambat laun akan memicu gejala stress pada diri seseorang. WFH hingga PJJ yang berlangsung kini nyatanya justru telah menimbulkan kasus kriminal baru. Masih hangat di ingatan kita mengenai penganiayaan anak yang terjadi karena alasan si anak tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Dan yang terbaru adalah fakta ditemukannya seorang siswa yang bunuh diri lantaran stress dengan beban tugas daring yang diberikan oleh sekolah.
Hal-hal semacam inilah yang menjadi salahsatu alasan pemerintah untuk kembali membuka sekolah tatap muka, disamping memang kondisi yang tidak kondusif mempertahankan kegiatan belajar online yang memiliki banyak kekurangan dari berbagai aspeknya. Dikutip dari liputan6.com, 20 November 2020, pada Januari 2021 nanti pemerintah berencana membuka kembali sekolah yang hampir satu tahun ajaran ini melakukan pembelajaran melalui daring. Ketua komisi X DPR RI, Syaiful Huda mengatakan bahwa komisi X DPR RI mendukung rencana tersebut dengan beberapa syarat. Tentunya harus tetap menjaga dan memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
Huda menyebutkan pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan terutama di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif disebabkan berbagai kendala yang dihadapi berupa sarana pendukung. Maka keputusan membuka kembali sekolah tatap muka ditengah laju pandemi yang belum menunjukkan penurunan merupakan dilema yang dihadapi masyarakat saat ini.
Menteri pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk membuka sekolah tatap muka di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021. Hal tersebut diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi covid-19.
Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orangtua melalui komite sekolah. Ia pun menegaskan, orangtua masing-masing siswa dibebaskan untuk menentukan apakah anaknya diperbolehkan ikut masuk sekolah atau tidak. Sekalipun sekolah di daerah tersebut telah memutuskan untuk membuka kembali kegiatan belajar tatap muka. (CNNIndonesia, 20 November 2020)
//Ditengah Laju Pandemi, Sigap Pasang Strategi//
Banyak orangtua yang masih khawatir melepas putra-putri mereka untuk kembali ke sekolah. Hal ini seperti yang diutarakan Rulyanti (45), ibu dari siswa kelas X SMA di Jakarta Selatan. Ia mengaku tak akan mengizinkan anaknya sekolah jikapun sudah dibuka Januari 2021. Rulyanti tidak percaya bahwa kegiatan di sekolah dapat berjalan aman dan mematuhi protokol kesehatan dengan ketat. Ia bahkan mengaku tak begitu berharap dengan vaksin covid-19.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Soraya (34), ibu dari anak berusia 4 tahun yang kini duduk di bangku Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Cinere, Depok. Ia justru menilai bahwa keadaan pandemi corona di Indonesia hari ini belum memungkinkan untuk menerapkan pembelajaran tatap muka terlebih jenjang PAUD dan SD.
Sangat wajar apabila terdapat banyak orangtua yang sangat mengkhawatirkan anak-anaknya kembali ke sekolah saat ini. Pasalnya kasus corona di Indonesia belum menunjukkan angka penurunan yang dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat untuk kembali beraktivitas di luar rumah atau berkerumun di suatu tempat seperti sekolah. Naik turunnya jumlah kasus corona menjadi alasan kekhawatiran sejumlah pihak. Belum lagi, tidak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana memadai untuk menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Lalu, amankah jika anak-anak kembali memulai aktivitasnya di luar rumah sekalipun untuk sekolah? Hal ini pasti akan menjadi dilema tersendiri bagi para orangtua.
Berdasarkan uraian Epidemiologi, Griffith University Australia, Dicley Budiman mengatakan ada tiga kriteria yg harus di penuhi oleh pihak-pihak terkait dibukanya kembali sekolah pembelajaran tatap muka. Pertama, penurunan kasus harian dalam dua pekan berturut-turut. Kedua, tren penurunan angka kasus yang di barengi positivity rate di bawah 5 persen. Dan yang ketiga, tingkat kematian akibat covid-19 harus menyentuh satu digit setiap hari. Jika ketiga syarat ini terpenuhi, Dicky menilai barulah pemerintah dapat mempertimbangkan sekolah tatap mula yang juga di barengi dengan implementasi protokol kesehatan yang tepat.
Angka positiv rate Indonesia masih sangatlah besar. Positivity rate Covid-19 berada pada angka 12,3 persen. Di Jakarta saja , rate covid-19 selama periode 13-19 Juli 2020, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi DKI jakarta, mencapai 5,5 persen. Angka ini masih melebihi batas ambang ideal yang ditetapkan oleh WHO yakni 5 persen. Belum lagi jumlah kematian akibat covid-19 yang naik tiap hari. Memberi rasa aman kepada siswa dan orangtua adalah kewajiban seorang pemimpin ditengah pandemi.
//Solusi Terbaik di Tengah Wabah Penyakit//
Permasalahan hari ini menuntut adanya sebuah sistem yang mengatur mekanisme jalannya pendidikan sekaligus sistem kesehatan di saat pandemi. Islam merupakan sebuah sistem kehidupan yang berhasil dan telah teruji selama 13 abad diterapkan ditengah2 umat. Mulai dari masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin hingga kekhilafahan terakhir di Turki Utsmani. Di masa-masa itupun pernah terjadi wabah, dan kaum Muslim mampu bertahan dengan berbagai aturan saat syariah ditengah-tengah mereka dan ditegakkan dalam menghadapi pandemi.
Keberhasilan pendidikan di dalam Islam disebabkan karena memiliki tiga tujuan pokok, yakni membangun kepribadian Islam, meliputi aqliyah (pola fikir) dan nafsiyah (pola sikap), membekali peserta didik dengan pengetahuan dan ketrampilan serta menyiapkan peserta didik untuk memasuki jenjang berikutnya dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar yang diperlukan seperti fiqh, tafsir, bahasa arab maupun ilmu sains. Sementara pendidikan kita hari ini hanya bertumpu pada sekolah-sekolah dengan penerapan indikator yang kaku yang sulit untuk disesuaikan dalam berbagai kondisi.
Dalam Islam, karantina dan isolasi diperlukan saat menghadapi wabah. Hal ini merupakan solusi yang diberikan oleh Rasulullah. Seharusnya, karantina wilayah dan penyediaan fasilitas pendukung dari sejak pertama kasus wabah ditemukan menjadi prioritas kebijakan penguasa.
Untuk daerah episentrum di mana masih banyak ditemukan kasus Covid-19 seharusnya pembukaan sekolah (tatap muka) bisa ditunda dulu hingga kondisinya membaik atau memungkinkan. Sedangkan untuk daerah minim kasus Covid-19, sekolah bisa dibuka dengan syarat protokol kesehatan yang ketat. Lagi-lagi pemerintah harus berperan di dalamnya sebagai pelayan umat. Memastikan prokes yang ada benar-benar dijalankan dengan baik.
Sehingga, penanggulangan wabah Covid-19 menjadi kunci untuk mengembalikan kegiatan belajar mengajar pada kondisi normal. Sebab, Islam menempatkan keselamatan warganya sebagai hal terpenting dan bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya, sebagaimana hadis Rasulullah Saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Wallahu A’lam. []