Judul Buku: Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa
Penulis: Abdul Aziz Al-Badri
Penerbit: Darul Falah
Tahun terbit: 2003
Halaman: 260 Halaman
ISBN: OCLC:667-939-26
Genre: non fiksi
Peresensi: Intan H.A
MuslimahTimes.com – Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ulama di bumi seoerti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila ia terbenam, maka jalan akan tampak kabur.” (HR. Ahmad)
***
Ulama dari kata “علم” yang artinya orang berilmu. Para ulama tidak hanya menyibukkan dirinya dengan aktivitas ibadah mahdah dan menuntut ilmu semata. Namun lebih dari itu, ia memiliki peran penting dalam menjamin agar syariat Islam tetap terlaksana di muka bumi ini. Ia memiliki tanggung jawab yang besar dalam menuntun umat meniti jalan rabb-Nya.
Para ulama bagaikan suluh dalam kehidupan. Ia akan menjadi pelita dalam menerangi kegelapan. Maka benarlah apa yang disampaikan dalam sabda Rasulullah di atas, bahwa para ulama ibarat bintang yang akan menerangi bumi dan langit dari kegelapan.
Dengan ilmu yang dimilikinya ia akan mampu menepis setiap kebatilan yang merajalela. Sebab, ia memahami bahwa ilmu itu untuk diamalkan bukan diabaikan. Terlebih pada perkara syariat, ia akan berada di garda terdepan untuk meluruskan manakala ada orang-orang yang menyimpang dari syariat-Nya. Dikarenakan rasa takutnya yang besar pada Allah SWT, yang menggiringnya untuk melakukan aktivitas tersebut, baik pada rakyat maupun pada para penguasa yang mengemban amanah rakyatnya.
Di zaman keemasan Islam, ulama dan para penguasa berjalan beriringan. Ulama berada di samping penguasa bukan semat-mata mengharapkan tampuk kekuasaan. Tapi ia hadir untuk menjalankan peranannya sebagai pengontrol dan pengoreksi para penguasa dalam menerapkan setiap kebijakan-kebijakannya. Jika ditemukan seorang penguasa melakukan tindakan sewenang-wenang, zalim dan menyimpang dari syari’at Islam, maka kewajiban para ulama untuk memberikan nasihat dan mengingatkan mereka untuk kembali pada koridor-Nya. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga dan memelihara generasi Islam dan urusan kaum muslimin.
Bahkan Islam memandang bahwa aktivitas para ulama ini dianggap sebagai bentuk kasih-sayang dan pertolongan terhadap para penguasa. Sebagaimana sabda yang disampaikan Rasulullah, “Tolonglah saudaramu yang zalim maupun yang mazlum. Lalu salah seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, saya bisa menolong orang yang mazlum. Namun, bagaimana caranya saya menolong orang yang zalim?” Beliau Menjawab, “Engkau larang dia berbuat zalim, itulah pertolonganmu terhadap dia.” (HR. Bukhari)
Meski peran ulama sebagi pengoreksi penguasa nampaklah tidak mudah, namun mereka tidaklah gentar untuk tetap melaksanakannya. Sebab, dorongan imanlah yang membuat langkahnya tidak goyah, walau harus berhadapan dengan penguasa yang zalim. Mereka hanya meletakkan rasa takutnya pada Allah SWT semata.
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya diantara hamba-hambaKu yang paling besar rasa takutnya kepadaKu adalah para ulama.” (TQS. Fathir: 28)
Sayangnya hari ini, peran itu seakan dikebiri. Ulama yang dianggap lantang dan kritis terhadap para penguasa dipersekusi. Para penguasa tidak lagi menjadikan para ulama sebagai penuntun dan penolong mereka dalam menjalankan pemerintahan. Ini disebabkan karena pengadopsian budaya Barat ke tengah-tengah kaum muslimin. Ide sekularisme lah yang menjadi penyebab pemisahan agama dari kehidupan. Sehingga ulama diserahkan hanya mengatur urusan agama, dan masalah pemerintahan biarlah sepenuhnya diatur oleh sang penguasa. Begitulah yang terjadi saat ini. Sehingga kemuliaan Islam dan kejayaannya tidak lagi hadir dalam kehidupan. Alhasil, umat pun terpuruk ke lembah kenistaan yang membuat mereka semakin terperosok ke dalam kenestapaan.
Di buku hitam putih wajah ulama dan penguasa, cakrawala berfikir kita akan kembali terbuka. Di sinilah kita akan diajak memahami peran ulama dan posisi penguasa dalam meriayah umat. Terdapat pula di dalamnya kisah para ulama terdahulu yang menjalankan perannya dalam mengontrol dan mengkritik para penguasa yang menyimpang dari syariat-Nya.
Di buku ini pula kita dapat memahami bahwa ulama bukanlah manusia yang sekadar mengenakan sorban. Tapi, mereka adalah para penyeru kebenaran yang dengannya lah syariat Islam akan kembali ditegakkan.
Jadi, buku ini sangat cocok untuk mengisi khazanah keilmuan kita seputar aktivitas mulia yang diembankan oleh Allah kepada para hamba-Nya, yakni mereka yang menjalankan kewajibannya sebagai penyeru kebenaran dan menumpas kebatilan dengan cara beramar makruf nahi munkar. Dengan begitu, gelar sebagai sebaik-baik umat akan disandang oleh kaum muslimin seluruhnya. Inilah hakikat makna politik yang sesungguhnya, yakni mengatur urusan umat dengan hukum-hukum Islam yang di mana para ulama hadir dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Wallahu’alam.[]