Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes.com – Aku kembali mendengarkan gadis ABGku bercerita, kali ini tentang status teman-temannya di WhatsApp, salah satu media sosial paling laris di jagad maya.
“Bu, temanku kebanyakan pasang status gak ada nilainya, hampir semua begitu?”
“Maksudnya gak bernilai bagaimana maksudnya dek?”
“Mereka kerap upload status makanan, kalau gak gitu ibu-ibunya upload status nilai UH anaknya atau hasil prakarya anaknya”
“Hem, bagus dong, kan maksudnya bangga dengan hasil karya anaknya” sahutku masih dengan sikap masa bodo. Tebakku setelah kata-kata ini anak gadisnya yang pemalu tapi cerewet ini akan membombardirku dengan kata-kata yang kecepatannya lebih dari motor maticku, di atas 80 km/jam.
Benar saja, ..
“Kalau adik malu, buat apa dipamerin wong kita ini masih masa pandemi, sekolah aja cuma di rumah. Ngerjain PR juga bisa nanya Google. Mana ada yang asli, apalagi kalau kelas sebelah sudah ngerjain, pastilah di grup heboh karena muncul kumpulan jawaban yang benar, tinggal kita mau ambil atau Ndak. Makanya sekarang anak-anak jarang remisi, ya gitu itu. Trus, yang upload makanan niatnya apa coba? Mau pamer atau apa? Paling juga itu dapat antaran dari tetangganya, trus bilang terimakasih, kan beda tipis sama pamer, kenapa juga gak chat pribadi bilang terimakasih?”
Tak urung akhirnya aku beralih menghadap si pemilik argumen panjang kali lebar ini. Ada kekaguman atas kekritisannya , sekaligus perih, semoga aku sebagai ibunya bisa mengarahkan sehingga yang baru saya berhamburan dari lisannya tidak sia-sia tapi bisa menjadi ladang pahala baginya.
Dengan perlahan aku jelaskan bahwa itulah media sosial, semua serba bebas memanfaatkannya. Meskipun ada UU ITE yang katanya menjamin perlindungan konsumen dari kata-kata unfaedah apalagi mengarah kepada SARA namun tetap tak bisa membendung keliaran atas nama kebebasan tersebut. Apalagi pembuatan masing-masing akun sangatlah mudah. Ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan, patah tumbuh hilang berganti.
Di sisi lain media sosial memang memudahkan seseorang untuk terhubung dengan yang lain tanpa perlu dipusingkan jarak, ruang dan waktu. Setiap pribadi juga punya kebebasan mengekspresikan dirinya akan dikenal sebagai apa. Penulis, pedagang allshop, pengeluh bak tembok ratapan, motivator dan lain sebagainya.
Namun bagi kita kaum Muslim, dimana setiap amal ada standar hukumnya yaitu syariat. Maka tak bisa ‘seenak gue’ memilih amal. Bisa-bisa karena ikut-ikutan arus kita malah terjebak ke dalam kubangan dosa tak berkesudahan. Lihat saja bagaimana menjamurnya lifestyle asing, bukan dari Islam, namun dibela-belain sampai mati oleh anak muda Muslim.
Dari mulai Roleplayer, Ghosting , berbagai challenge tak masuk akal dan unfaedah, prank, tik tok dan lain sebagainya adalah budaya sampah, yang kita kaum Muslim harus segera mencampakkannya. Ironi, orangtua Muslim lebih menganggap ini hanya sebagai gurauan masa remaja, Astaghfirullah..lebih sedih lagi orangtua tidak ‘ngeh’ bahaya lifesyle ini karena tak punya gadget.
Maka satu nasehat untuk anakku, bijaklah menggunakan medsos. Jika kamu tahu itu salah atau unfaedah ayo mulai buat tandingan. Bisa dengan share tulisan orang lain, berkreasi sendiri dengan meme atau quote sederhana. Intinya mengajak setiap kontak di Whatsappmu yang memasang status untuk juga membaca statusmu dan berharap Allah membukakan pintu hidayah melaluinya untuk berubah.
Segala kemudahan medsos adalah senjata kita untuk menajamkan dakwah ila Islam. Tinggal kita mau ambil atau tidak, namun perlu dicatat, sebagai seorang Muslim yang cerdas kita harus mempersiapkan kematian kita dengan bekal yang banyak. Yaitu bekal amal salih. Salah satunya dan yang terutama adalah dakwah.
Dalam sebuah hadis, dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda: Artinya, “Bila seorang hamba meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfat, serta anak saleh yang senatiasa mendoakan kebaikan baginya.”
Ilmu yang bermanfaat inilah yang kemudian menjadi sedekah jariyah yang bermanfaat meskipun raga sudah berpisah dengan ruh. Menjadi PR besar bagi para orangtua untuk menanamkan misi surga ini sebaik mungkin dalam diri anak. Tidak ada cara lain kecuali menjadi teladan bagi anak, kitalah orangtuanya yang paling pertama mencontohkan.
Wallahu a’ lam bish showab