
Oleh : Shita Ummu Bisyarah
#MuslimahTimes — Kini Indonesia memasuki fase berat yakni fase Pandemic Fatigue. Pandemic Fatigue adalah fase dimana orang – orang mengalami kelelahan fisik dan mental akan adanya pandemi yang tak kunjung usai. Jika kita lihat negara kita Indonesia tercinta belum juga melewati first wave nya. Angka terinfeksi kian meroket tajam belum terlihat puncaknya begitupun angka kematian. Dilansir dari laman worldometers.com terdapat 538,883 jiwa terinveksi covid 19 dan 16.945 jiwa merenggang nyawa termasuk di dalamnya ratusan nakes yang berjuang di garda terdepan.
Hampir 9 bulan pandemi ini kita lalui. Pada awal pandemi mungkin mudah bagi orang – orang untuk mematuhi protokol kesehatan. Semprot desinfektan, sering mencuci tangan dan memakai hand sainitizer ketika di luar rumah, bahkan mengganti masker 4 jam sekali. Namun sekarang mematuhi itu semua bahkan hanya 3M sangat berat terasa.
Hal ini sebenarnya manusiawi. Menurut teori psikologi, perubahan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan ( seperti mematuhi protokol kesehatan, diet zat pangan tertentu, berhenti merokok, berolah raga dll ) setelah 6 bulan dilakukan, ada kemungkinan 50% orang akan kembali ke kebiasaan lamanya. Maka ketika sekarang sudah 9 bulan kita lalui, wajar saja jika patuh terhadap protokol kesehatan merupakan hal yang berat.
Disisi lain informasi hoaks seputar pandemi tersebar luas oleh pihak tak bertanggungjawab. Hal ini diperparah dengan lemahnya literasi masyarakat. Membuat masyarakat mempercayai berita tersebut tanpa klarifikasi terlebih dahulu. Sebut saja video yang sempat viral waktu lalu yang dibuat oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya Aliansi Dokter Dunia. Video ini sangat berpengaruh kepada masyarakat awam, membuat mereka abai terhadap protokol kesehatan. Alhasil kurva yang tadinya mulai melandai sekarang meroket kembali. Maka lengkap sudah antara pemerintah yang tidak kompeten dipadukan masyarakat yang ignorant membuat pandemi tak kunjung usai. Akibatnya ketika masyarakat memasuki fase ini, pandemu akan memburuk dan korban nyawa tak terelakkan lagi.
Kegagalan negara dalam menangani pandemi jelas tak terelakkan lagi. Negara yang menerapkan sistem kapitalisme ini meniscayakan pandemi susah teratasi karena paradigma mereka tentang nyawa manusia sudah salah sejak awal.
Penanganan sebuah pandemi bukanlah persoalan teknis medis semata, tetapi perkara ini berkaitan erat dengan cara pandang terhadap manusia, kesehatan, dan keselamatan jiwanya. Disinilah bedanya Islam dengan kapitalisme. Dilansir dari kompasiana.com, kapitalisme merupakan ideologi dimana pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dari prinsip ini dapat kita lihat bahwa kebijakan apapun akan tergantung pada segelintir orang si pemilik modal. Negara tidak bisa melakukan intervensi karena sifatnya hanya regulator saja. Maka dalam menangani pandemi fokus utamanya adalah si pemilik modal ini tak boleh merugi, maka jelas nyawa manusia tak ada harganya dibanding kerugian ekonomi.
Berbeda dengan Islam. Islam memberikan penghargaan tertinggi pada nyawa manusia, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasa’i); Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah [5]:3).
Maka kebijakan yang diambil oleh Islam dalam menangani pandemi harus secepat mungkin dan sebisa mungkin tidka ada korban jiwa. Ada tiga prinsip Islam dalam penanggulangan wabah sehingga segera berakhir tanpa korban lebih banyak lagi.
Pertama pengambilan kebijakan lockdown sesegera mungkin. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw, “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim).
Ke-dua mengisolasi orang yang sakit. Sabda Rasulullah saw, “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.”(HR Imam Bukhari).
Ke-tiga Pengobatan segera hingga sembuh. Bersabada Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.”
Memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok rakyat, sehingga negara wajib memberikannya secara cuma – cuma alias gratis. Hal ini tentu didukung sepenuhnya oleh sistem kesehatan Islam yang merupakan resultante (hasil) dari sistem kehidupan Islam yakni sistem ekonomi dan politik Islam berikut sekumpulan konsep sahihnya. Sistem pendidikan sebagai pilar utama membentuk masyarakat yang hidup sehat, politik riset dan industri dilandaskan pada paradigma shahih Islam, sementara pembiayaan berbasis baitul mal dengan anggaran bersifat mutlak.
Dengan paradigma dan prinsip seperti itu mudah saja bagi negara dalam menyelesaikan wabah. Seperti melakukan screening epidemiology, berupa pemeriksaan yang cepat dan akurat terhadap semua orang dengan gejala klinis atau contac tracing. Dalam waktu kurang dari 12 jam bahkan akan bisa dipilah mana orang yang terinfeksi dan mana yang sehat, sehingga bisa dilaksanakan 3 prinsip yang sudah dijelaskan di atas.
Begitulah Islam sebagai sistem kehidupan yang sohih dengan seperangkat aturan yang kompleks dan paradigma yang mulia sehingga bisa menjadi solusi setiap problematika dunia. Karena Islam hadir tak hanya menjadi rahmat bagi kaum muslim tapi rahmat bagi seluruh alam. Wallahualambissawab.