Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Blogger Profesional, Member Revowriter Jember, Redaktur & Editor, Content Creator, Mompreneur dan Reviewer Film)
#MuslimahTimes — Sedang hangat menjadi perbincangan, drama korea yang minggu lalu baru menyelesaikan episode keduanya. Drama dengan judul Mr. Queen ini bahkan disebut ratingnya melebihi drama Start Up, yang membuat heboh baik netizen negeri asalnya dan netizen dunia terutama Indonesia.
Mr. Queen adalah cerita fiksi fantasy namun bersetting sejarah atau masa Joseon tepatnya. Karena intrik dan konspirasi, Jang Bong Hwan, seorang koki istana negara “terusir” hingga ke Joseon. Sayangnya di Joseon ia bangun dalam tubuh wanita paling penting no. 3 di sana, yakni sang Ratu. Hidup di istana Joseon, Jang Bong Hwan pun tak bisa lepas dari intrik dan konspirasi (lagi).
Joseon pada masa itu, sekitar tahun 1851 adalah masa pemerintahan Kaisar Cheoljong. Pada masanya, kabinet pemerintahan terbagi menjadi 2 (dua) yakni wangsa Andong Kim yang berkuasa dan tim oposisi dari keluarga Pungyang Jo. Masing-masing kabinet menempatkan keluarganya dalam berbagai tingkat jabatan. Sehingga seluruh anggota pemerintahan hampir semuanya bermarga Kim dan bermarga Jo.
Dinasti politik, memang identic dengan pemerintahan yang berbentuk kerajaan. Jadi bila ini terjadi di jaman Joseon, orang lain yang mendengarnya seakan maklum, sehingga ketika disuguhkan penggambarannya dalam drama Mr. Queen masyarakat pun tidak akan heran. Dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah, tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan (Wikipedia).
Namun nyatanya, dinasti politik tetap terjadi sekalipun Josen kini telah berubah menjadi Republik Korea. Negara-negara di dunia yang berbentuk monarki pun telah banyak berubah. Anggota kerajaan umumnya bahkan tidak terlibat dalam politik pemerintahan. Sekalipun negara mereka masih disebut sebagai negara monarki.
Zaman ini adalah zamannya demokrasi, dimana kebebasan dijunjung tinggi. Termasuk dalam hal bebas memilih pemimpin dan menjadi pemimpin. Kalangan penguasa kini bisa tidak hanya dari kalangan keluarga kerajaan, namun siapapun dia asalkan punya kapabilitas sebagai pemimpin, maka memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin negara. Konsep ini dinilai lebih baik daripada dinasti politik yang kerap kali terjadi pada zaman dahulu kala.
Konsep ini pulalah yang bisa mengantar seorang pengusaha meubel seperti Joko Widodo akhirnya menjadi presiden ke-7 Republik Indonesia. Juga mengantar Kamala Harris, seorang wanita kulit hitam pertama yang menjadi wakil presiden di Amerika Serikat.
Pemerintahan ala demokrasi diharapkan mampu memusnahkan kebusukan akibat dinasti politik di zaman feodalisme. Karena sejarah banyak membuktikan bahwa dinasti politik ternyata banyak menyengsarakan rakyat. Pada zaman Raja Cheoljong berkuasa, Joseon disebut mengalami periode gelap, dimana korupsi, kerusuhan dan pemberontakan sampai ke tingkat ekstrem.
Sayangnya pemuja demokrasi harus banyak gigit jari, karena fakta berbicara lain. Dinasti politik masih subur terjadi. Sebut saja dinamika politik yang terjadi di Provinsi Banten, Indonesia. Dimana keluarga mantan gubernur Ratu Atut Chosiyah mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dan hampir dipastikan menyapu kemenangan di 3 (tiga) daerah; Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kota Tangerang Selatan.
Untuk Pilkada Serang, sang adik yang akan berlaga yakni Ratu Tatu Chasanah. Di Pilkada Pandeglang, sang menantu, Tato Warsono yang maju sebagai calon kepala daerah. Sementara untuk pilkada Tangerang Selatan, keponakan Ratu Atut sekaligus anak Ratu Tatu yakni Pilar Saga Ichsan berlaga sebagai calon wakil wali kota.
Tidak hanya itu, keluarga presiden Joko Widodo juga turut meramaikan dinamika politik Indonesia hari ini. Anak sulungnya yang bernama Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai Pilwalkot Surakarta. Tidak ketinggalan sang menantu, Bobby Nasution maju dalam pemilihan wali kota Medan.
Demokrasi yang lahir dari rahim kapitalisme, digadang-gadang mampu menjadi solusi atas kejamnya feodalisme, ternyata memiliki dinamika politik yang tak jauh berbeda. Ujung-ujungnya kesejahteraan rakyat pun hanya jadi mimpi belaka, karena pemimpin negara hanya berebut kekuasaan dan sibuk mempertahankannya. Tanpa peduli bahwa rakyat sibuk mempertahankan hidup yang kian hari kian menghimpit.
Nyatanya demokrasi memang tidak pernah menjadi solusi, ia adalah bentuk kesalahan dalam rupa yang berbeda. Negara yang menerapkannya tidak pernah benar-benar meraih kesejahteraan yang adil dan beradab bagi rakyatnya. Hal ini terjadi karena baik feodalisme maupun demokrasi memiliki pandangan hidup yang sama yakni meraih kebahagiaan berdasarkan materi semata dan menafikkan sang Pencipta sebagai penguasa segala. Baik dalam demokrasi maupun feodalisme, manusia berpikir bahwa mereka bisa mengatur dunia sekehendak hatinya, padahal manusia diciptakan sejatinya adalah sebagai hamba.
Kedaulatan di tangan rakyat yang dijanjikan oleh demokrasi nyatanya hanyalah ilusi semata. Pada akhirnya kekuasaan adalah permainan para elit petahana atau kapital saja. Sangat jauh bila dibandingkan dengan kekuasaan di masa kejayaan Islam, dimana kala itu kekuasaan berarti symbol pertanggungjawaban yang berat dan harus dijalankan penuh amanah sesuai dengan Syariah-Nya.