Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes– Presiden Joko Widodo menyebut media sosial seharusnya diisi dengan hal-hal positif yang berisi keteduhan, bukannya ujaran kebencian dan sejenisnya.
“Kita harus aktif mengisi pemberitaan di medsos dengan keteduhan dan kesejukan. Kita juga harus mengklarifikasi berita-berita yang tidak benar, hoaks dan menutup banyaknya ujaran kebencian untuk saling menghormati serta menghargai sesama anak bangsa, saudara sebangsa dan setanah air,” ujar Presiden saat membuka Muktamar IX PPP secara virtual, Jumat, 18 Desember 2020.
Bijak bermain medsos, kata Presiden, harus diajarkan ke lembaga pendidikan umum maupun pesantren yang tersebar di seluruh tanah air. “Data yang saya miliki ada 28.000 pondok pesantren. Kita harus saling berbagi dan bekerja sama, untuk memperkokoh pondasi pancasila di kalangan siswa dan santri. Untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan keterampilan agar siswa dan santri kita memiliki karakter ke-Indonesiaan yang kuat,” ujar Jokowi (tempo.co, 18/12/2020).
Di era hari ini penggunaan medsos memang bukan lagi hal yang asing, bahkan pandemi yang tak berujung ini menambah alasan “wajib bermedsos” bagi siapa saja agar bisa terus bersekolah, bekerja dan kegiatan lainnya. Mendikbud mewacanakan satu gadget untuk mempermudah proses pembelajaran. Giring Nidjipun mempromosikan dirinya jika terpilih menjadi presiden akan membagikan satu gadget pada satu siswa. Alhasil hari ini memang gadget bukan lagi menjadi hal yang langka.
Karena gadget adalah produk teknologi dan sains maka setiap orang bebas memilikinya. Yang bermasalah justru pada konten yang beredar di medsos yang berasal dari pengguna gadget. Jika dilandasi pemikiran yang salah, misal sekuler maka hasilnya adalah sekuler. Sedang jika dilandasi oleh pemikiran Islam maka hasilnya adalah Islam.
Di sinilah urgensitas negara sebagai institusi penghilang kegaduhan, butuh aturan yang jelas dan baku ketika hak dan batil bertemu. Terlebih jika kemudian disandarkan kepada karakter keindonesiaan yang kuat. Inilah yang mengandung multi definisi, sebab standarnya tidak jelas sehingga menimbulkan banyak persepsi, mengingat sejarah Indonesia melalui berbagai perubahan yang panjang, maka yang dapat disebut layak mengacu ke mana? ke zaman Majapahit kah? Islamkah atau penjajahan ?
Bagi kaum Muslim, ada standar yang tak pernah berubah oleh zaman yaitu syariat. Semestinya, kaum Muslim yang notabene mayoritas di negara Indonesia tak lepas dari standar ini, namun mengapa justru mengambil standar asing?
Sekali lagi di sinilah peran urgen negara, untuk mendidik warganya agar paham tentang Islam dari akar hingga daun. Negara harus memahamkan bahwa tidak ada solusi terbaik guna mengurangi kekacauan ini, yaitu kembali kepada pengaturan Islam. Sebab penggunaan medsos akan sangat bergantung pada pemahaman ini, dengan kemudahan teknologi maka pemanfaatan untuk dakwah adalah sangat tepat. Saling ingat mengingatkan. Bukan malah saling menghujat.
Negaralah yang semestinya menjadi teladan, namun apa yang terjadi? Justru negaralah yang paling banyak mengeluarkan dana untuk membayar influencer atau buzzer. Dengan maksud untuk menciptakan suasana positif namun nyatanya malah justru menyudutkan rakyat, terutama yang tak senada dengan kepentingan pemerintah, adilkah ini?
Bukti bahwa di era demokrasi tak ada yang benar-benar disebut era kebebasan berbicara. UU mudah dipermainkan oleh pihak yang berkepentingan. Bahkan yang menggelikan sebuah wacana pun bisa dianggap sebagai ancaman dan dijadikan delik hukum. Sementara yang benar-benar membuat gaduh dengan menyerukan pemisahan, toleransi kebabalasan dan lainnya melenggang tanpa takut.
Tak pelak lagi, jika ingin medsos teduh maka butuh kebijakan yang teduh pula. Jauh dari kepentingan pribadi beberapa kelompok tapi yang benar-benar hanya menjadikan standar halal haram sebagai pemutusnya. Sebagaimana Allah Swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).
Sebab datangnya saling mencurigai adalah karena seringnya berita bohong beredar, maka jika negara mengadakan edukasi serta melarang situs atau web yang tidak bertanggung jawab untuk beroperasi tentu akan tercipta suasana teduh, terutama jika adanya aturan yang jelas tentang sanksi hukum bagi mereka yang menyebarkan sesuatu yang dilarang agama akan semakin menciptakan kedamaian. Wallahu a’ lam bish showab .