Oleh. Yeni Marlina, A.Ma
(Pemerhati Kebijakan Publik dan Aktivis Muslimah)
#MuslimahTimes — Pertanyaan selalu berulang hampir setiap tahun Masehi, di penghujung bulan Desember, yakni menyangkut sikap terhadap agama lain yang tengah merayakan hari besar agamanya, serta menyambut tahun baru berikutnya. Kebanyakan umat Islam masih bimbang antara ikut memberi selamat atau tidak. Termasuk memeriahkan penggunaan atribut-atribut perayaan mereka, bagaimana tentang status hukumnya.
Sekalipun penduduk negeri ini mayoritas Muslim, namun jumlah yang besar ini tidak otomatis menjadi penentu dalam berbagai interaksi publik. Bahkan sering terjadi dilema dalam menghadapi dan bersikap terhadap agama dan kepercayaan lainnya. Termasuk bagaimana menempatkan sikap toleransi. Boleh jadi ada beragam pendapat tentang hal itu. Seperti perayaan natal yang seringkali umat Islam tersandung atas nama toleransi. Tak sungkan dan tak segan untuk turut mengucapkan selamat. Hal tersebut terjadi karena adanya fakta teladan dari para petinggi yang mempraktekkan toleransi tanpa batasan yang rinci. Sementara umat yang masih minim dalam pemahaman dan lemah keyakinan menjadi sekadar ikut-ikutan.
Ironisnya sikap ikut-ikutan ini dipandang sebagai bagian dari toleransi, berbagai aktivitas yang mendukung selain ucapan selamat, ikut membantu, memfasilitasi atau meramaikan berbagai perayaannya,
ada perasaan dianggap intoleran jika tidak melakukan itu semua. Apa benar jika tidak melibatkan diri di hari raya mereka lantas pertanda tidak toleransi?untuk memastikan ini sudah semestinya umat Islam memiliki satu pandangan yang pasti agar mantap dalam mengambil sikap.
Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai),lapang dada (Kamus Al-Munawir, hal.792,Pustaka Prigresif, cet.14). Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut (Ajad Sudrajat dkk, Din Al-Islam. UNY Press. 2009).
Demikianlah definisi toleransi, ada batasan tertentu bukan dalam seluruh kondisi. Terlebih lagi dalam hal iman yang telah diyakini tidak bisa dikatakan toleransi untuk mengucapkan selamat kepada penganut agama lain.
Sikap Rasulullah sangat tegas dalam masalah ini, terlihat saat orang Quraisy pernah berkata kepada Rasul Saw,”Andai engkau menerima tuhan-tuhan kami, niscaya kami menyembah tuhanmu.” Sikap kafir Quraisy ini menjadi asbabun nuzul turunnya surat al-Kafirun
Hingga ayat terakhir :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
_”Untuk kalian agama kalaian dan untukku agamaku”_ (QS al-Kafirun[109]:6)
Ketegasan Rasul dalam hal ini sangat jelas menolak kompromi untuk melakukan toleransi. Sekalipun yang meminta adalah tokoh Quraisy saat di Makkah, diantaranya Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnu al-Muthalib dan Umayyah bin khalaf. Mereka menawarkan toleransi kepada beliau, “Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum muslim) juga beribadah kepada tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kita akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”. Redaksi ini diungkapkan Imam al-Qurthubi di dalam al Jami’ li Ahkam al-Qur’an(20/225).
Sangat gamblang sikap Rasul dalam menolak begitu tegas, tidak ada kompromi dalam akidah. Tidak ada ruang toleransi untuk berserikat, tolong menolong, bekerjasama dalam membenarkan eksistensi mereka. Karena agama yang lahir dari selain proses keimanan yang sahih tertolak untuk diikuti. Status mereka sebagai golongan orang-orang kafir seperti yang disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Toleransi dalam hal-hal yang menyangkut keyakinan adalah perbuatan syirik -menduakan- Allah terhadap yang lain. Termasuk perbuatan dosa, haram untuk mengikutinya. Sekalipun ucapan selamat, karena esensi kata selamat adalah mendoakan, memberi harapan baik bahkan penghargaan.
Lalu bagaimana mungkin umat Islam bisa berlepas tangan dengan mengatakan, itu hanya hal biasa. Sementara maknanya adalah memberi selamat atas kesyirikan. Perbuatan yang menyekutukan Allah Swt. akan dihukumi dengan sanksi yang besar kekal di neraka, karena besar dosa pelakunya .
Untuk itu, umat Islam harus mengokohkan akidah, sekalipun sistem kehidupan saat ini sangat berpotensi melemahkan akidah dari berbagai sisi. Sistem Kapitalis yang melahirkan pemikiran liberal, menjustifikasi banyak hal larangan menjadi standar kebebasan. Kebebasan semacam ini telah menjerumuskan umat lebih dalam ke jurang kemaksiatan. Perlu disadari bahwa derasnya arus kebebasan menjadi terkikisnya iman dan keyakinan.
Lalu, bagaimana walau hanya sekedar menggunakan atributnya yang berupa benda-benda atau aksesoris tanpa ikut merayakan. Baik pada saat perayaan bahkan jelang detik-detik pergantian tahun. Sikap umat Islam sama saja hukumnya dengan haram. Sebab atribut tersebut merupakan _hadharah_ yang mengandung kepercayaan tertentu dalam peribadatan mereka. Menggunakan atribut semacam ini sama dengan menyerupai mereka. Rasulullah Saw telah melarang dalam hadits :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Tindakan menyerupai orang kafir, sekalipun penggunaan atribut-atribut yang mereka khususkan harus dijauhi sebagai langkah menyelamatkan akidah.
Setiap amal orang-orang yang beriman, akan dihisab dan diminta pertanggung jawaban kelak di yaumil akhir. Dan tanda kekuatan iman ada pada akidah yang kuat, maka dalam perkara akidah tidak ada kata toleransi dan ikut-ikutan tanpa keyakinan. Wajib menjauhi segala perkara yang dilarang oleh Allah dan selalu siaga dari segala yang merusak.
Batas toleransi yang diajarkan Nabi adalah dalam perkara-perkara yang dibolehkan oleh Islam. Yakni dalam batasan melakukan muamalah, bertransaksi dan jual beli dengan pemeluk agama lainnya. Kita sebagai umat Islam juga diperintahkan untuk berbuat baik, adil dan bijaksana terhadap mereka. Karena Islam melarang berlaku zalim, menganiaya bahkan merampas hak apapun dari mereka.
Allah Swt. berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
_“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai kaum yang berlaku adil.”_ (TQS al-Mumtahanah [60]: 8).
Islam dengan adil memperlakukan non muslim, memberikan hak-hak mereka khususnya sebagai rakyat negara. Jiwa dan harta mereka terjaga. Dan tentunya yang bisa merealisasikan ini adalah negara yang menjadikan syariat Islam sebagai peraturan dalam kehidupan bernegara. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda Nabi Saw, dan khalifah setelah masa beliau. Khalifah sebagai pemimpin umat akan menjamin penjagaan akidah, menjauhkan segala hal-hal yang akan merusaknya, karena salah satu misi dari orang kafir Yahudi ataupun Nasrani akan selalu mengajak umat ini mengikuti millah mereka.
Tugas bagi seluruh umat Islam untuk bersatu, bahu membahu memperjuangkan kembalinya pemimpin yang adil yang akan menjaga akidah umat dan mengarahkan batasan toleransi yang semestinya.