Oleh. Yuli Ummu Raihan
(Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik)
#MuslimahTimes — Fenomena dinasti politik semakin terlihat pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Fakta ini adalah hasil dari sebuah riset yang dilakukan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C. Kenawas. Pada Pilkada 2015 lalu hanya ada 52 peserta yang memiliki kekerabatan dengan pejabat. Namun, pada pilkada tahun ini jumlahnya meningkat tajam hingga 158 calon. Diprediksi 67 diantaranya akan memenangkan kontestasi ini. (cnnindonesia, 16/12/2020)
Fenomena ini telah menarik perhatian banyak pihak, baik di dalam dan di luar negeri. Bahkan tiga media massa luar negeri memberitakan tentang pilkada Indonesia 2020 yaitu, Bloomberg, Nikkei, Asia, dan Al-Jazeera. (Kompas.com, 9/12/2020)
Fenomena dinasti politik semacam ini memperlihatkan wajah buruk demokrasi. Slogan dari, oleh, untuk rakyat hanya pemanis belakang. Nyatanya, rakyat dipaksa memilih calon pemimpin yang sudah dipersiapkan dan belum tentu sesuai aspirasi mereka. Kesempatan mendapatkan hak untuk masuk ke dalam kekuasaan tidak dapat dirasakan semua orang. Terjadi penyempitan penyaringan untuk menjadi pemimpin politik. Mereka yang minim modal, apalagi tidak “dekat” dengan pemilik kekuasaan sangat kecil kemungkinan akan bisa melaju.
Sistem pemerintahan saat ini yang berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) menjadikan kekuasaan tidak lagi mencari rida ilahi tapi, hanya duniawi semata.
Kekuasaan saat ini lebih kepada kebanggaan, alat mempermudah mencapai tujuan, dan sarat akan berbagai kepentingan duniawi. Manusia berlomba meraih kekuasaan tanpa menyadari bahwa kekuasaan itu adalah amanah yang sangat besar pertangggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Asas sekularisme menjadikan halal haram tidak lagi menjadi patokan. Sehingga berbagai cara dihalalkan demi meraih kekuasaan. Maka, wajar jika politik uang, pencitraan, adu domba, politik kotor, fitnah, kebohongan, bahkan memanfaatkan hubungan kekerabatan sah-sah saja dilakukan.
Ongkos politik yang sangat mahal membuat para calon pemimpin memutar otak agar bisa melaju. Modal yang besar ini tentu tidak akan sanggup dipikul sendiri. Karenanya, mencari pemilik modal atau memanfaatkan nama besar kerabat adalah sesuatu yang wajar.
Calon pemimpin yang memiliki kerabat yang telah lebih dahulu menjabat tentu akan mendapat nilai lebih. Setidaknya mengurangi modal untuk mengiklankan diri. Tidak perlu lagi ada karier politik, yang membutuhkan waktu lama. Menjadi pejabat hari ini bisa didapat dengan mudah dan cepat. Asal ada uang, punya kenalan, terkenal, dan sedikit kemampuan beretorika, maka rakyat akan terpesona. Mampu atau tidak urusan belakangan.Â
Jika calon pemimpin dipilih hanya karena status kekerabatan, akankah membawa pada kebaikan?
Politik oligarki ini akan menutup ruang bagi mereka yang benar-benar layak dan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Apalagi jika mereka tidak memiliki modal besar, dan kedudukan. Mereka hanya seperti mentimun bungkuk yang masuk karung tapi tidak masuk hitungan. Hanya penggembira saja, serta pencitraan bahwa, demokrasi itu membuka peluang bagi siapa saja.
Jika sudah seperti itu, kepentingan rakyat tidak lagi menjadi tujuan utama. Rakyat hanya dilirik saat menjelang pemilihan saja. Setelahnya, rakyat justru ditinggalkan dan mendapat imbas dari berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Masyarakat harusnya sadar dan tidak mudah ditipu lagi oleh demokrasi. Bagaimana bisa mendapat kebaikan jika awalnya saja sudah tidak baik?Â
Praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) sangat wajar terjadi di alam demokrasi ini. Meraih kekuasaan dan menikmati kekuasaan bersama pula. Bagi-bagi kue kekuasaan sebagai politik balas budi antar mereka.
Sudah saatnya kita beralih pada sistem yang menjadikan kekuasaan sebagai amanah. Amanah yang membuat siapa saja yang mendapatkannya takut, bahkan menangis. Bukan malah berpesta pora merayakan kemenangan saat terpilih. Pemimpin yang wajib mengurus dan menjaga rakyat dengan baik, karena pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan dilayani. Pemimpin yang bertugas menegakkan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang wajib diterapkan. Pemimpin yang harus memastikan rakyatnya tercukupi semua kebutuhannya. Pemimpin yang mampu menjadi teladan, baik dalam kondisi lapang maupun sempit.
Pemimpin yang lebih memprioritaskan rakyat daripada keluarga dan dirinya sendiri. Pemimpin seperti ini hanya akan kita dapati dalam sistem Islam. Maka, sudah saatnya kita tinggalkan sistem demokrasi ini dan beralih pada sistem kepemimpinan Islam yang paripurna, agar kebaikan dapat kita rasakan.
 Wallahu a’lam bishas