
Oleh. Vera Carolina
#MuslimahTimes — Usulan RUU larangan minuman beralkohol (minol) pertama kali diusung oleh DPR pada tahun 2009, tapi tak disahkan hingga dibahas lagi pada periode 2014 dan 2019. Pembahasan kembali mandek karena adanya perbedaan pendapat antara pengusung RUU, yang ingin melarang minuman berlakohol, dan pemerintah yang menginginkan konsumsi alkohol tak dilarang, tapi diatur. Tahun 2020 RUU itu kembali diusulkan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional yang diusung oleh 18 0rang PPP, dua orang dari PKS, dan satu orang Partai Gerindra. Salah satu pengusul dari Fraksi PPP, Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol serta menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol. Selain itu, lliza juga mengatakan minol merupakan amanah konstitusi dan agama (Tempo,co.22/11/20).
Usulan ini menuai isyarat penolakan setidaknya dari dua fraksi besar di DPR, yakni Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP. Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo mengatakan RUU Larangan minol ini telah dibahas sejak DPR periode 2014-2019. Namun pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat DPR dan pemerintah. Pemerintah ketika itu mempertahankan terkait pengaturan, tetapi pengusul tetap kukuh terhadap pelarangan. Firman juga mengingatkan ada persoalan keberagaman yang perlu diperhatikan bahwa minuman beralkohol digunakan di daerah atau agama tertentu untuk kepentingan ritual. Penolakan RUU minol juga datang dari Kalangan pengusaha yang menilai pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol ( Minol) justru akan berdampak negatif pada pengendalian minol di lapangan yang sudah dianggap cukup ketat saat ini. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengatakan, “Jika nantinya dalam RUU ini kesannya melarang maka dikhawatirkan akan terjadi praktik masuknya minol selundupan yang tidak membayar pajak, maraknya minol palsu yang tidak sesuai standar pangan serta maraknya minol oplosan yang membahayakan konsumen,” kata Sarman dalam keterangan resminya, (Money.kompas.com/15/11/2020).
Munculnya penolakan setiap pembahasan RUU minol ini akan terus terjadi dalam sistem demokrasi sebab sistem ini mempunyai tolak ukur menilai baik dan buruk adalah manfaat menurut pandangan manusia. Jika ada manfaat dikatakan baik, sebaliknya jika tidak ada manfaat dikatakan buruk. Minol ada manfaatnya dipandang dari sudut materi, bahwa minol menambah pemasukan uang negara. Menurut Azis Syamsudin selaku wakil ketua DPR RI menyatakan dari aspek perdagangan pendapatan negara dari minuman beralkohol terbilang tinggi sekitar Rp 5 triliun setiap tahun (Tasikmalaya,pikiran-rakyat.com/12/11/20).Jumlah pendapatan minol ini tidak sedikit, sehingga pelarangan total minimal beralkohol tidak mungkin dilegalisasi dalam sistem ini. Apalagi karena alasan larangan agama yang mengharamkan khamr tidak akan menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan kebijakan. Jelas sistem demokrasi lahir dari asas sekulerisme(memisahkan agama dari kehidupan) artinya agama tidak boleh masuk ke ranah kebijakan pengaturan kehidupan manusia. Manusia yang berdaulat menjadi penentu setiap kebijakan untuk mengatur kehidupan manusia.
Salah satu cara legalisasi peraturan dalam sistem demokrasi mencakup lima tahapan yakni tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Mulai dari tahapan perencanaan dan penyusunan bersumber dari pendapat manusia menurut cara pandang masing-masing manusia sebagai Wakil rakyat, dilanjutkan pembahasan berdasarkan kesepakatan bersama, selanjutnya pengesahan peraturan akan dilakukan jika wakil rakyat dengan mayoritas suara menyepakati peraturan tersebut. Tahap akhir dilanjutkan dengan pengesahan atau penetapan sebagai peraturan perundangan. Dalam tahapan legalisasi peraturan dalam sistem demokrasi yang menjadi sumber penyusunan adalah manusia sebagai wakil rakyat dan mereka mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan. Suara rakyat dianggap sebagai kedaulatan. Aturan tuhan tidak akan diterima sebagai sumber peraturan dengan alasan keberagaman dan kearifan lokal bangsa.
Berbeda dengan sistem demokrasi, Islam memiliki pandangan tentang khamr, tolak ukur sesuatu itu baik dan buruk serta mekanisme legalisasi peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus Al-Muhith disebutkan, “Khamr adalah sesuatu yang memabukkan dan diproduksi dari perasan anggur atau dari selainnya. Pendapat yang paling benar adalah khamr tersebut bisa dihasilkan dari perasan apa saja dan bukan hanya dari perasan anggur semata. Dari defenisi khmr tersebut minol dalam pandangan islam termasuk khamr, Dalil yang besumber dari hadist Nabi Muhammad SAW menyatakan khamr adalah ummul khaba ‘its (induk dari segala kejahatan) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar, barang siapa meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabrani). Berikutnya dengan redaksi yang sedikit berbeda, Abdullah bin Amr meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda, “Khamr adalah induk dari segala kejahatan, barang siapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliyyah.” (HR ath-Thabrani)
Kemudian diperkuat dengan salah satu hadits, “Allah melaknat khamr, orang yang meminumnya, penjualnya, pembelinya, orang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan”. (HR. Abu Dawud no. 3674 dan Ibnu majah No. 3386). Selanjutnya dalil tenting khmr yang bersumber dari Al Quran terdapat dalam surat Al-maidah:90 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Berdasarkan dalil yang bersumber dari Al Quran dan hadist tersebut menunjukkan berupa celaan dr Allah SWT terhadap khamr dan pelaku aktivitas khamr maka hukum khmr adalah haram. Lantas bagaimana legalisasi minol menurut pandangan Islam?
Islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan penciptaNya, diri sendiri, dan sesama manusia. Allah SWT memerintahkan manusia untuk berhukum dengan hukum Allah SWT, artinya sumber hukum berasal dari Allah SWT bukan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-an’am:57 arti nya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Maknanya, Kedaulatan ditetapkan berdasarkan hukum syara bukan manusia. Allah SWT telah menetapkan di dalam dalil Al Quran Bahwa khmr adalah haram, maka standar baik dan buruk di dalam Islam tolak ukurnya berdasarkan syariat Islam bukan menurut pandangan manusia. Dari sisi baik dan buruk, dalam pandangan Islam Khmr menjadi sesuatu yang buruk karena dilarang dalam syariat Islam. adapun alasan khmr terdapat manfaat dari seği materi tidak menjadi tolak ukur suatu peraturan.
Dari sisi mekanisme legalisasi peraturan, di dalam Islam khalifah yang berwenang melegalisasi hukum-hukum syara’ yang diperlukan untuk memelihara urusan-urusan umat, yang digali dengang ijtihad yang shahih dari kitabullah dan sunah rasul-Nya, sehingga menjadi perundang-undangan yang wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar. Jelas bahwa legalisasi perundangan-undangan dalam sistem Islam tidak memerlukan persetujuan dari wakil rakyat. landasan legalisasi ini adalah sumber yang sahih maka persoalan khamr haram untuk dilegalisasi khalifah.Sehingga, larangan khmr sebagai minol dalam sistem islam akan dilarang total tidak boleh ada pertimbangan manfaat materi sebagai alasan tidak melarang minol. Bagi pemeluk selain aqidah islam, jika khmr menjadi minuman yang boleh bagi agamanya, hanya terbatas pada komunitasnya saja tidak untuk diproduksi dan dijual kepada khalayak umum termasuk kaum muslimin. Bagi yang melanggar akan diberikan sanksi tegas oleh khalifah.
Demikianlah sistem Islam mampu mengatasi persoalan minol dengan jelas dan tegas. Tidak butuh waktu lama dalam memutuskan persoalan minol ini yang sudah jelas hukumnya haram. Pelarangan minol total hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam sedangkan dalam sistem demokrasi pelarangan minol total tidak akan pernah teralisasi dan mustahil untuk diwujudkan.