Nay Beiskara
(Kontributor Media)
Muslimahtimes– “Anda mungkin masih berharap adanya seorang pemimpin yang shaleh dan cakap dalam hal kepemimpinan. Kemudian dapat mengganti keterpurukan menjadi kesejahteraan. Namun, apakah anda masih juga berharap pada sistem hidup yang telah terbukti melahirkan sosok pemimpin yang sekular, lemah dalam memimpin, pandai berkhianat, dan gemar berdusta serta mengeluarkan kebijakan zalim sebagaimana pada sistem sekular demokrasi saat ini?”
Sesungguhnya muslim yang cerdas tak terperosok ke dalam lubang dua kali
***
Dalam situasi sesulit apapun, bagi muslim selalu ada seberkas cahaya harapan. Pun pada saat ujian pandemi belum berakhir. Ditambah dengan kehidupan yang dirasa semakin sempit dan serba sulit.
Saat rakyat merasa kecewa dengan obralan janji para pemimpin, rakyat masih saja berharap ada secercah kebahagiaan yang kan mereka jelang. Yaitu, terpilihnya pemimpin yang benar-benar mencintai mereka dan berupaya menjauhkan mereka dari segala kesulitan. Karena itu, sekecewa apapun rakyat, mereka masih sanggup memberikan hati mereka, hak pilih mereka pada calon pemimpin baru.
Pertanyaannya, apakah pemimpin yang kali ini mereka pilih benar-benar pemimpin yang mereka butuhkan? Apakah berharap pada rezim baru kan mengubah nasib bila tanpa dibarengi dengan mengubah sistem hidup yang mengatur mereka?
Pilkada Di Tengah Pandemi
Pro dan kontra terjadi di masyarakat jelang gelaran Pilkada Serentak 2020. Pasalnya, pemerintah ‘keukeuh’ mengadakan Pilkada walaupun pandemi belum berakhir, walaupun dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan yang ketat. Masyarakat khawatir akan ada klaster baru penyebaran covid-19, melihat akan terjadi kerumunan. Namun, pemerintah beralasan agar hak konstitusi rakyat tetap terjaga. Karena pandemi belum diketahui juga kapan akan berakhir (Kompas.com, 21/9/2020).
Bagi rakyat sendiri, mengikuti Pilkada yang diselenggarakan 9 Desember 2020 merupakan dilema. Satu sisi khawatir akan tertular, apalagi di daerah yang memang masuk kembali menjadi zona kuning dan merah. Di sisi lain, mereka masih berharap Pilkada kali ini mampu menampilkan sosok pemimpin yang amanah, mencintai mereka, dan mau mengurusi urusannya. Terdorong karena harapan itu, akhirnya masih banyak pula yang mengikuti gelaran ini. Walaupun bisa jadi, banyak dari masyarakat yang hanya ikut-ikutan.
Namun di sini, bagi rakyat yang terbiasa berpolitik dengan politik Islam, tentu harus cerdas dalam memilih pemimpin. Tak hanya asal mencoblos lembar pemilihan dan kemudian mencelupkan jarinya ke dalam tinta sebagai bukti telah menggunakan hak pilihnya. Karena sebagai muslim, kita meyakini bahwa setiap perbuatan sekecil apapun akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Penguasa jagad, Allah Swt. Maka, ketika hendak melakukan sesuatu, seorang muslim harus mendahuluinya dengan proses berpikir. Terutama dalam hal memilih pemimpin.
Umat Butuh Pemimpin Inovatif
Kepemimpinan itu adalah amanah. Sehingga pemimpin yang kelak terpilih harus dipastikan ia mampu memegang kepemimpinan itu dan amanah. Karena kepemimpinan akan menjadi penyesalan dan kehinaan bila tak mampu mengembannya. Sebaliknya, bila ia mampu menunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya, kepemimpinan itu dapat menjadi kemuliaan dan kebanggaan baginya.
Islam memiliki konsep yang khas dalam perihal memilih pemimpin. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, at Tirmidzi, Ahmad dan ad Darimi menyatakan dua prototipe pemimpin.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR. Muslim, at Tirmidzi, Ahmad, dan ad Darimi).
Hadits di atas menjelaskan pada kita bahwa pemimpin yang baik adalah yang mencintai rakyatnya. Maka, hendaklah ketika memilih pemimpin, pilih yang tulus mencintai rakyat. Bersedia mengurus urusan rakyat, tak memberatkan rakyat dengan berbagai macam pajak, dan tak menzalimi rakyat dengan kebijakan yang diadopsinya. Tak hanya berbaik hati pada saat kampanye dan jelang pencoblosan.
Pertanyaannya, agar seorang pemimpin dapat mengurus rakyat dengan baik, menjamin seluruh kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan) rakyat dengan baik, kemudian membantu rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya, apakah cukup dengan individu pemimpin yang baik? Ternyata tak cukup hanya itu. Butuh dua faktor agar semua itu terlaksana dengan baik dan berkah.
Dua faktor itu adalah individu yang shaleh dan sistem hidup yang diterapkan. Individu yang shaleh harus memiliki kepemimpinan yang baik pula. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani menyatakan terdapat tiga jenis kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan inovatif (qiyadah mubdi’ah). Kedua, kepemimpinan inspiratif (qiyadah mulhimah), dan kepemimpinan cerdas (qiyadah dzaqiyyah). Ustaz Hafidz Abdurrahman menyebut dalam salah satu bukunya bahwa yang dibutuhkan umat Islam saat ini wabil khusus Indonesia adalah kepemimpinan inovatif.
Pemimpin yang inovatif adalah orang cerdas yang mengemban hal baru yang tak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Ia memiliki pandangan yang khas tentang kehidupan dan berupaya agar masyarakat turut mengikuti jalannya. Sekalipun kala mengikuti jalan yang diyakininya itu, terdapat banyak halang rintang yang kan dihadapi.
Kepemimpinan ini menginginkan tuk meningkatkan level berpikir masyarakat. Mengubah kebiasaan buruk masyarakat. Mendorong agar masyarakat tergerak tuk memperjuangkan apa yang ia yakini. Sehingga lahir dari diri masyarakat kerelaan untuk berkorban, baik harta, tenaga, pikiran, dan jiwa di jalan yang ia susuri di tengah berbagai krisis yang bisa jadi melingkupinya.
Melihat karakteristik kepemimpinan yang demikian, patutlah kepemimpinan seperti ini yang hendaknya dituju dan dipilih. Karena umat Islam di dunia sejatinya membutuhkan pemimpin yang inovatif tuk menyadarkan mereka dari tidur lelapnya. Kemudian bersama pemimpin inovatif itu tuk kembali meraih kebangkitan.
Terakhir, individu pemimpin yang inovatif ini harua didukung oleh sistem hidup yang baik pula. Sistem hidup yang baik ini haruslah berasal dari Zat Yang Maha Baik, yakni Allah Swt. Itulah sistem Islam yang sempurna dan paripurna. Sistem yang mengatur segala aspek kehidupan, bukan hanya aspek spiritual dan ritual ubudiyah semata. Yakinlah dengan diterapkannya sistem Islam oleh pemimpin yang inovatif, umat kan kembali menyandang titelnya sebagai ‘Khoiru Ummah’ dan keberkahan kan meliputi bumi.
Wallahua’lam bishshowwab.