Oleh. Diana Septiani
MuslimahTimes.com – “Wayahna tempe deui tempe deui Wayahna tahu deui tahu deui… “
Itulah sepenggal lagu berbahasa sunda yang cukup populer yang menunjukkan betapa tempe dan tahu menjadi makanan sehari-hari mayoritas rakyat Indonesia. Demi memenuhi kebutuhan gizi keluarga, tempe dan tahu menjadi alternatif pilihan menu masakan yang bergizi, mudah didapatkan dan tentu saja harganya murah.
Namun, siapa sangka tempe -tahu di tahun baru 2021 menjadi barang langka. Sulit ditemukan di pasar-pasar, warung hingga toko sayur di pinggiran jalan. Bahkan, tempe-tahu baru bisa ditemukan di beberapa warung makan atau sedikitnya tukang gorengan, itu pun yang sudah diolah menjadi masakan.
Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin, harga kedelai impor meningkat tajam. Beberapa bulan terakhir saja kenaikannya sudah hampir 50%. Para pengrajin tempe- tahu merasa kewalahan, naiknya harga kedelai impor tentu akan membuat harga jual produksi tempe- tahu juga semakin melonjak. Alhasil para pengrajin tempe- tahu memutuskan untuk mogok produksi dari 1 s.d 3 Januari 2020. (Sindonews.com)
/ Cari Tahu Si Biang Kerok /
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkapkan penyebab utama kelangkaan tempe dan tahu di tahun baru ini adalah akibat harga kedelai dunia yang meroket. Melalui Sekertaris Jenderal Kemendag Suhanto, kenaikan harga ini dikarenakan melonjaknya permintaan Cina kepada Amerika Serikat selaku eksportir terbesar kedelai di dunia. Sehingga hal ini menghambat pasokan untuk para importir lain, termasuk negeri kita.
Hal ini sangat disayangkan! Bagaimana tidak, negeri yang katanya lempar tongkat kayu dan batu jadi tanaman, namun tak berdaya menyediakan pasokan bahan pangan. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Sumber daya manusia yaitu para petani kedelai di Indonesia juga tak kalah saing dengan petani di luar negeri. Lalu, apalagi?
Indonesia rasanya masih nyaman di zona importir. Dibandingkan mengekspor, negeri ini lebih doyan impor. Sebentar-sebentar impor. Impor kedelai, garam, beras, dan banyak lagi. Bahkan sayuran termasuk komoditas barang impor terbanyak. Hal ini tentu sangat miris. Bagaimana bisa mewujudkan Indonesia sebagai negeri swasembada pangan bila impor terus digencarkan?
Penulis bukan berarti menolak keras impor. Impor boleh saja, hanya saja dibatasi. Seperlunya saja, karena bila kran impor bocor maka yang rugi bukan hanya para petani. Hal ini tentunya akan berdampak pada perekonomian bangsa. Indonesia tidak akan bisa merdeka, karena untuk bahan pangan saja masih berpangkutangan pada negeri lain.
/ Mencari Solusi /
Tentu menjadi hal wajar bila di sistem kapitalis, keegoisan penguasa mudah teraba. Tak peduli rakyat dibuat pusing dengan harga di tingkat dunia yang “menggila”, penguasa nampaknya enggan melirik kewalahan para pengrajin tempe tahu. Mau bagaimana lagi, Indonesia masih saja menjadi negeri importir yang belum mampu berdigdaya atas kebutuhan pangan rakyatnya.
Berbeda dengan penguasa di sistem Islam. Dalam politik pertanian Khilafah, kebutuhan para petani dipenuhi dan difasilitasi oleh negara. Misalnya, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas Negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka.
Negara Islam juga akan mengelola sumber daya alam yang diamanahkan Allah dengan baik. Menggarap tanah-tanah, tak akan dibiarkan tanah berpuluh-puluh tahun menganggur tanpa dikelola. Memberikan bibit unggul, pupuk serta beragam sarana yang dibutuhkan para petani. Alhasil pasokan bahan pangan akan aman, sehingga pengrajin tempe -tahu tak lagi dibuat pusing dengan meroketnya harga kedelai dunia.
Tentu kita semua merindukan sistem yang mampu menyejahterakan rakyat. Para penguasa yang peduli dan meriayah urusan rakyat dengan kesungguhan dan bersikap amanah.
Wallahu a’lam bishshowab.