Refi Ocktapriyanti
(Mahasiswa FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Â
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun identitas sebagai pemeluk agama Islam hanya di KTP saja, karena banyak yang mengabaikan urusan akhirat dan lebih mementingkan dunia. Padahal dunia hanyalah untuk sementara, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan akhirat. Misalnya dalam perkara muamalah masih menggunakan cara yang diharamkan oleh Allah yaitu riba, contohnya praktik rentenir, perbankan. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat kita telah terpengaruhi oleh pemikiran sekulerisme, dimana aturan kepada Allah hanya dilaksanakan dalam ibadah, tapi setelah itu mereka menjalankan hal yang dilarang oleh Allah. Dengan kata lain belum sepenuhnya menjalani syariatNya secara kaffah.
Sekulerisme adalah akidah pemisahan agama dan kehidupan. Dalam akidah ini ada pengakuan akan adanya Allah SWT namun Allah tidak mengatur kehidupan manusia. Aturan kehidupan adalah aturan yang dibuat oleh manusia, dimana manusia terbatas akalnya dan akan terbatas pula segala aturannya sehingga menimbulkan banyak kerusakan. Salah satunya adalah ketika menciptakan sistem pendidikan yang disebut pendidikan sekulerisme.
Adanya pendidikan sekulerisme ini sangat berbahaya bagi ummat Islam, diantaranya: pertama, banyak umat Islam sendiri melakukan penolakan syariat yang telah Allah tetapkan pada Al-Quran dan Hadits. Hal ini menjauhkan ummat Islam dari syariatnya dan menghilangnya identitas sebagai muslim.
Kedua, memasukkan pendidikan sekuler dalam mata pelajaran dari kalangan anak-anak sampai dewasa membawa pengaruh pemikiran.
Ketiga, mengulur-ngulurkan mata pelajaran Agama Islam pada setiap pendidikan sekolah. Mata pelajaran Agama Islam di tempatkan pada akhir waktu atau bukan pada waktu yang seharusnya anak-anak itu masih fresh untuk belajar. Tapi pada saat anak-anak sudah lelah atau telah kehilangan konsentrasinya.
Keempat, yaitu menyamakan semua mata pelajaran. Pelajaran agama tidak ubahnya pelajaran tsaqafah biasa. Sementara di pelajaran selain agama tidak memiliki sentuhan Islam. Seharusnya Islam mewarnai semua mata pelajaran. Sehingga output yang dihasilkan oleh pendidikan Islam, semakin pintar seseorang maka semakin bertakwa kepada Allah. Pemikirannya berdasarkan akidah Islam, bukan sekulerisme.
Pada zaman sekarang pendidikan sekulerisme itu sudah merajarela di semua kalangan, dan memerangi pendidikan dunia kita. Pendidikan sekulerisme yang telah berhasil memerangi dengan pemikiran-pemikiran yang tidak masuk akal dan menjauhkan kita dari syariatnya sehingga banyak ummat Islam yang terpengaruh dan terbawa sesat karena pemikiran sekulerisme. Akibatnya keadaan masyarakat sekarang semakin menyedihkan, namun sayangnya malah dianggap wajar.
Kita sebagai generasi penerus umat Islam sudah seharusnya sadar dengan melihat keadaan sekarang. Kita harus meluruskan mereka dengan berdakwah menyiarkan Islam agar kembali kepada syariat Allah dan ikut andil memperjuangkan Agama Allah sebagaimana perjuangan Rasulullah yang penuh dengan pengorbanan. Maka bila semua itu dibiarkan begitu saja, tidak akan ada yang memikirkan saudara sesama muslimnya, akan makin bahaya. Karena kita sebagai umat Islam wajib untuk membantu sesama muslim kembali di jalan Allah.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:“Di antara kewajiban seorang muslim atas muslim yang lain adalah kamu harus menasehatinya jika dia meminta nasehat kepadamu, sehingga kamu akan menunjukkan kepadanya apa yang kamu senangi untuk dirimu sendiri, karena orang yang menipu bukan termasuk golongan kita. Apabila dia bermusyawarah kepadamu -meminta saran- ketika berhubungan dengan seseorang atau dalam urusan pernikahannya atau urusan yang lain, maka apabila kamu mengetahui kebaikan darinya maka arahkanlah ia kepadanya. Apabila kamu mengetahui keburukan darinya maka peringatkanlah dia darinya. Apabila kamu tidak mengetahui tentangnya maka katakanlah kepadanya; aku tidak tahu tentangnya. Apabila dia meminta kamu untuk menerangkan sesuatu perkara yang semestinya dia menjauh darinya maka terangkanlah hal itu kepadanya.” (adh-Dhiya’ al-Lami’ min al-Khuthab al-Jawami’ [1/233] asy-Syamilah).