Oleh: Kholda Najiyah
MuslimahTimes.com – Apa persamaan dan perbedaan antara Korea dan Uni Emirat Arab (UEA)? Kedua negara ini terletak di benua Asia yang sama, tetapi terpisah jarak yang jauh hingga memiliki kultur, sejarah dan budaya yang bertolak belakang. Tetapi satu kesamaan saat ini, keduanya adalah magnet dunia wisata.
***
Korea sedang jadi magnet dunia baik teknologi maupun budayanya. Kaum Muslim pun ikut tersihir ke sana. Membuat Korea bersolek agar lebih ramah terhadap mereka. Wisata halal pun digadang-gadang. Menyambut pendatang yang siap bertandang. Tentu saja ujung-ujungnya demi uang.
Seorang pemandu wisata bernama Nam, warga Korea asli dan cukup lancar bahasa Indonesia mengatakan, pemerintahnya sedang mengembangkan wisata halal karena kunjungan turis dari negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia dan Malaysia terus meningkat. “Begitu juga dari Timur Tengah,” kata Nam (detiktravel).
Meski begitu, ketersediaan restoran halal dan tempat salat masih minim. “Banyak makanan yang mengandung babi di Korea. Saran saya, perhatikan dulu apakah ada stiker sertifikat halal di restoran atau kafe,” ujarnya. Mi instan saja, lanjutnya, 99 persen mengandung babi.
Salah satu tujuan wisata yang sudah ramah budaya halal adalah Pulau Nami. Di sana tersedia musala untuk turis Muslim. Sedangkan di Seoul, restoran halal ada di kawasan Itaewon. Ya, memang sebatas itu definisi wisata halal di Korea. Mengingat mereka negara sekuler, tentu tidak paham halal dalam makna sesungguhnya.
Berkembangnya wisata halal bukan lantas membuat negara itu berpotensi menjadi bibit negari Islam. Meskipun gelombang mualaf mulai muncul, menyusul interaksi warga mereka dengan dunia Islam, namun industri wisata bagaimanapun hanya berorientasi keuntungan materi semata. Tentu Korea bukan harapan yang tepat untuk budaya ketimuran, karena watak aslinya memang sudah kebarat-baratan.
***
Lain Korea, lain Uni Emirat Arab (UEA). Negara ini adalah representasi wajah negeri Islam. Tetapi wajah itu mulai berubah sejak membuka pintu liberalisasi. Bukannya menonjolkan wisata religi, wisata haram justru difasilitasi. Ini setelah hubungan dengan Israel dinormalisasi. Menggelindinglah liberalisasi di berbagai lini. Wajah Dubai sebagai bagian keemiratan Uni Emirat Arab (UEA), kini tak lagi ketimuran, tapi kebarat-baratan.
Turis Israel yang baru pulang plesir dari sana menceritakan pengalamannya. Dubai disebutnya Las Vegas di Timur Tengah. Prostitusi dan perdagangan seks bisa ditemukan. Mereka bahkan menyelundupkan narkotika tanpa khawatir ditangkap. “Yang kami lakukan hanyalah menyelundupkan ganja dan mariyuana untuk merayakan (Malam Tahun Baru) dan mabuk,” ujar warga Isreal di Channel 12 seperti dilaporkan Middle East Monitor, Selasa (5/1). (CNN Indonesia, 06/01/21)
Sejak resmi menjalin hubungan diplomatik, Dubai mengizinkan warga Israel memasuki wilayahnya. Tahun baru kemarin tak kurang 8.000 warga Israel merayakannya di Dubai. Total 50.000 orang Israel telah datang sejak perjanjian normalisasi ditandatangani pada September tahun lalu.
Sebenarnya, sulit memercayai pengakuan turis Isreal yang tidak disebutkan namanya tersebut. Kita boleh skeptis, mengingat sepak terjang Israel yang memiliki sejarah kebencian terhadap Islam. Bisa saja, klaim tersebut sekadar upaya menjatuhkan imej negeri berpenduduk Muslim tersebut. Namun, melihat perkembangan Dubai yang menuju ke jurang liberal, hal tersebut bukan tidak mungkin memang benar adanya.
Sejak tahun lalu, Dubai telah melonggarkan syariat Islam yang telah diterapkan puluhan tahun. Bahkan orang yang mengkonsumsi alkohol telah di-dekriminalisasi sejak 7 November 2020. Sanksi hanya diberikan bagi yang mengonsumsi minuman keras, menyajikan, atau menjualnya kepada seseorang yang berusia di bawah 21 tahun. Juga, membeli atas nama seseorang yang berusia di bawah 21 tahun.
Tak hanya itu, kehidupan sosial juga semakin longgar. Pasangan yang belum menikah dan tinggal satu atap, atau kumpul kebo tak lagi dikriminalisasi. Namun kelonggaran itu khusus untuk ekspatriat atau warga negara asing yang bermukim di Dubai, dan tidak berlaku bagi warga setempat. Tetapi, siapa yang berani menjamin aturan itu tidak akan semakin longgar?
***
Sejatinya, tidak terlampau mengejutkan bila wajah Dubai kian jauh dari nilai-nilai agama. Apa yang digambarkan turis Israel tentang Dubai, toh juga kita temukan di negeri-negeri berpenduduk Muslim lainnya. Wajah negeri Islam yang sekuler. Turki, Pakistan, Indonesia dan Malaysia, sudah lama menyimpan sisi kelam wisata haram. Tempat hiburan malam, prostitusi dan minuman keras memang tidak dilegalkan, tetapi terus berdenyut di tengah-tengah umat Islam. Walaupun hanya di kota-kota besar misalnya.
Namun, Dubai menjadi harapan karena punya sejarah istimewa. Sebagai negeri Muslim yang dulu berada di bawah naungan peradaban Islam, selama ini negara itu masih setia menerapkan sisa-sisa syariat Islam meski parsial. Misal melarang alkohol atau menerapkan hukum pancung. Namun apa daya, kini negeri petro dolar itupun tunduk pada pesona ideologi liberal.
Dubai telah mengadopsi ideologi sekuler. Padahal sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim, seharusnya menjadi contoh menuju penerapan Islam kaffah, bukannya menuju liberal kaffah. Hal yang sangat disesalkan, karena dengan sumber kekayaan melimpah yang dianugerahkan Sang Pencipta, mestinya negara ini menjadi harapan umat Muslim dunia akan menjadi penopang ditegakkannya kembali peradaban Islam.(*)