Oleh: Mufida Ummu Abdi
MuslimahTimes.com – Pandemi Covid-19 masih enggan meninggalkan Indonesia. Tampak dari semakin bertambahnya jumlah korban terinfeksi maupun meninggal. Tak terkecuali bagi tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam menghadapi pandemi ini. Lebih mengejutkan bahwa jumlah tenaga kesehatan yang wafat sangatlah fantastis.
Dikutip dari Kompas.com, Sabtu (2/1/2021) Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengungkapkan, sejak Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat karena terinfeksi Covid-19. Data ini mengakibatkan Indonesia mendapat peringkat 5 besar kematian tenaga kesehatan di seluruh dunia dan tertinggi di Asia.
Kenyataan ini terjadi sebab dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi seperti berlibur, pilkada, dan aktivitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah.
Pada akhir Agustus lalu, PB IDI mengonfirmasi bahwa jumlah dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19 mencapai 100 orang. Serta Dicky Budiman seorang Epidemiolog dari Griffith University Australia menyatakan terus bertambahnya dokter yang wafat adalah kerugian besar bagi Indonesia.
Bagaimana tidak, ungkapnya berdasarkan data Bank Dunia, jumlah dokter di Indonesia terendah di Asia Tenggara yaitu sebesar 0,4 dokter/1000 penduduk. Artinya kehilangan 100 dokter sama dengan 250.000 penduduk tidak mempunyai dokter. Selain itu juga merugikan dalam hal investasi sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan (Kompas.co 31 Agustus 2020).
Kondisi memprihatinkan semacam ini wajarlah terjadi. Sebab akar masalah nya adalah sistem yang diterapkan oleh negara yaitu Sekularisme-Kapitalisme. Ideologi yang berpangkal dari akal manusia yang terbatas secara alami pasti menciptakan banyak problematika.
Sekularisme yang berarti menafikan dan memisahkan agama dari mengatur kehidupan bermasyarakat hingga bernegara, menjadikan manusia sebagai satu-satunya pembuat aturan. Maka, tak ayal bila lahirlah kepemimpinan yang sarat akan kepentingan. Pun kepemimpinan yang mengagungkan nilai materialisme dan kemanfaatan.
Terbukti pemerintah tak segan-segan tetap melaksanakan pilkada di tengah infeksi Covid-19 yang tinggi, demi menyelamatkan kekuasaan mereka. Tak ketinggalan, bahkan mereka rela mengorupsi dana bantuan sosial Covid-19 semata-mata demi kepuasan perut mereka.
Sebagaimana telah dikabarkan Liputan6 pada 6 Desember 2020 lalu bahwa Menteri Sosial (Mensos), Juliari P Batubara, telah ditetapkan oleh KPK saat operasi tangkap tangan di Bandung dan Jakarta, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial Covid-19.
Senada dengan itu, Kapitalisme pun berperan penting atas perkara ini. Sistem yang berorientasi pada materi tersebut menghasilkan penguasa untuk berlepas sebagai pengurus rakyat. Contohnya kebijakan yang dipaksakan, yakni memberlakukan new normal di tengah penularan yang masih tinggi guna menstabilkan perekonomian. Pada akhirnya justru menimbulkan banyak sekali klaster-klaster baru penularan. Di sini, para tenaga kesehatan lah yang paling rawan terdampak. Maka, tak heran bila setelah new normal berlaku, tingkat kematian tenaga kesehatan melonjak tajam.
Selain itu, pemerintah berkolaborasi dengan para pemilik modal menggarap layanan publik seperti BPJS Kesehatan sebagai ajang bisnis. Berkali-kali iuran BPJS mengalami kenaikan tanpa memperhitungkan kondisi perekonomian masyarakat selama pandemi. Kebijakan ini jelas semakin mencekik rakyat.
Seperti dikutip dari Kompas.com pada 1 Januari 2021, BPJS Kesehatan telah resmi menaikan tarif kelas 3 dari yang semula Rp. 25.500 menjadi Rp. 35.000. Iuran tersebut diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
Kemudian, kerelaan penguasa menyerahkan harta kekayaan milik umat berupa SDA yang melimpah ruah kepada para pemilik modal, semakin memperparah keadaan. Kekayaan yang sepatutnya dapat menjamin kesejahteraan rakyat tergadaikan. Hanya untuk segelintir keuntungan pribadi.
Kebijakan-kebijakan ini menunjukan bahwa sistem sekularisme-kapitalisme menempatkan ekonomi sebagai prioritas utama kebijakan negara, bukan nyawa masyarakat. Oleh sebab itu, tingginya angka kematian tenaga kesehatan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari.
Menganalisis fakta yang terjadi, seharusnya manusia sudah dapat menilai bahwa sistem yang diterapkan saat ini telah rusak dan tak berperikemanusiaan. Maka, saatnya untuk mengganti dengan sistem alternatif sebagai solusi praktis yang dapat mengatasi pandemi dan menyelamatkan nyawa manusia.
Sejarah telah membuktikan bahwa satu-satunya sistem yang dapat mengatasi pandemi secara tuntas adalah sistem Islam. Keberhasilan tersebut tidak lepas karena prinsip syariah Islam yang memandang fungsi penguasa dalam negara adalah sebagai peri’ayah atau pengurus kebutuhan umat. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam bersabda:
“Seorang imam (pemimpin) adalah ra’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Al-Bukhari)
Kemudian dalam hadits lain disebutkan:
“Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinannya.” (HR. Al-Bukhari)
Kandungan kedua hadist di atas melahirkan kekuatan ruhiyah yang mendorong para penguasa untuk menyediakan hak-hak rakyat secara hati-hati dan memberikan pelayanan secara maksimal sesuai kemampuan yang mereka miliki.Penguasa pula yang akan melindungi kehormatan, harta, dan jiwa rakyatnya. Oleh sebab itu, ada atau tidaknya pandemi, keselamatan rakyat akan menjadi prioritas utama negara dalam membuat kebijakan. Karena penguasa dalam Islam akan senantiasa mewujudkan hifdzun an-nafs (penjagaan nyawa manusia) sebagai implementasi dari hadits berikut:
“Sungguh hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan dengan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455)
Maka sejak awal terjadinya pandemi, negara dapat dengan mudah memutus rantai penularan dengan beberapa metode sebagai berikut:
1. Lockdown lokal
Negara dapat melakukan lockdown lokal sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam ketika terjadi wabah. Seperti sabda beliau Shalallahu’alaihi wa salam di bawah ini:
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)
Tak diragukan lagi cara yang disajikan oleh Rasulullah sangatlah ampuh dan memang terbukti dapat memusnahkan sumber penyakit hingga ke akarnya. Sehingga mustahil muncul klaster-klaster penularan baru yang tiada henti.
2. Memisahkan orang sakit dengan yang sehat
Covid-19 adalah jenis virus yang mudah menyebar dalam kerumunan. Maka, segera memisahkan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat adalah upaya agar penyakit tidak menular dengan cepat dan tidak meluas ke wilayah lain.
3. Melakukan tes, baik swab test atau rapid test
Upaya yang harus segera dilakukan agar cepat terindikasi siapa saja yang terinfeksi dan tidak. Serta agar cepat diseleksi dan dipisahkan mana orang yang sakit dan mana yang sehat, maka perlu adanya tes massal dan massif baik swab test atau pun rapid test secara gratis.
Jika terdapat masyarakat yang terinfeksi, maka negara akan mengisolasi dan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada mereka. Pun diberikan jaminan seluruh kebutuhan pelayanan medis kepada pasien-pasien tersebut, hingga mereka sembuh secara gratis.
Dana yang digunakan untuk menangani pandemi ini bersumber dari pengelolaan SDA yang dijalankan secara mandiri oleh negara. Sehingga negara memiliki sumber pendapatan sendiri yang sangat cukup untuk memenuhi hak-hak rakyatnya.
Kemudian, bagi masyarakat yang sehat, mereka dapat melanjutkan aktivitas mereka sehari-hari dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Upaya ini sangat efektif menekan angka penularan, sehingga negara dan tenaga medis dapat fokus mengangani orang-orang yang terinfeksi. Inilah bentuk perlindungan terhadap nyawa masyarakat.
4. Menyediakan segala keperluan tenaga medis
Untuk melindungi dan menjamin keselamatan para tenaga medis. Negara wajib menyediakan segala kebutuhan medis, seperti: APD (Alat Perlindungan Diri), obat-obatan, peralatan untuk pasien, dan sebagainya. Negara juga akan memberikan beban kerja yang manusiawi kepada para tenaga medis, sehingga berbagai risiko dapat diminimalisasi. Selain itu, jumlah tenaga medis tidak akan habis, karena didukung oleh sistem pendidikan dokter yang mumpuni.
5. Melakukan tindakan pencegahan penyakit
Selain melakukan tindakan pengobatan bagi pasien sakit, negara juga melakukan tindakan preventif. Dengan upaya memerintah instansi-instansi penelitian untuk mencari tahu mekanisme penyakit dan mendorong mereka untuk melakukan riset pengobatan/vaksin (https://youtu.be/eLEzroH2jOE).
Demikianlah berbagai upaya Negara Islam dalam mengatasi pandemi dan keseriusan dalam melindungi nyawa masyarakat. Oleh sebab itu, mengganti kapitalisme-sekularisme dengan sistem Islam adalah suatu keniscayaan yang wajib diperjuangkan agar keselamatan manusia tetap terjaga. Wallahu a’lam bishawab.