Oleh: Liana Octaviani, S.S
MuslimahTimes — Lagi-lagi sekulerisme menjadi akar permasalahan atas peristiwa demi peristiwa yang terjadi di dunia ini, khususnya bagi negeri kaum muslimin. Ideologi yang membuat kaum muslimin menanggalkan perisai mereka hingga kini tersekat garis teritori dan terpecah menjadi Negara-negara bagian berkembang yang terus dilucuti.
Jika saja negeri-negeri kaum muslimin tetap bersatu tentu mereka tidak akan terseok-seok memecahkan masalah yang dialami, terlebih saat pandemi ini.
Pembiayaan yang semakin tinggi karena harus merumahkan beberapa pekerja dan menutup beberapa sektor pendapatan Negara di beberapa lini membuat hampir seluruh Negara berhutang kepada Negara lain atau biasa disebut dengan Utang Luar Negeri (ULN).
Dilansir Viva.co.id, Bank Dunia merilis International Debt Statistics (IDS) 2021 pada Oktober 2020. Berdasarkan data tersebut Indonesia masuk kedalam 10 besar Negara dengan utang terbesar di seluruh dunia. Bank Indonesia pun mengumumkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kembali naik pada Oktober 2020 menjadi US$413,4 miliar atau sekitar Rp5.828,94 triliun kurs Rp14.100 per dolar AS. Nilai ini lebih tinggi dari posisi akhir September 2020 sebesar US$408,5 miliar. Lonjakan defisit APBN terjadi sebab Negara butuh pembiayaan lebih pada APBN 2020 akibat penanganan COVID-19.(viva.co.id, 24/12/2020)
Tentu hal ini bukanlah prestasi yang harus dibanggakan namun perlu dikaji dan dievaluasi lebih teliti apa yang salah dalam pengelolaan keuangan di negeri ini. Bukankah Indonesia melimpah akan sumber daya alam dari sabang hingga merauke? Pun Indonesia tidak kekurangan sumber daya manusia yang berkompeten dan mumpuni.
Lalu apa yang membuat negeri ini seolah tak kuasa atas negerinya sendiri hingga harus berhutang sana sini?
Ekonomi kapitalis mengeruk kekayaan Ibu Pertiwi
Bukan lagi rahasia bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah hingga negeri ini pernah dijajah karena sumber daya alamnya yang memikat para penjajah. Tak hanya itu bahkan tak sedikit para ilmuwan asal Indonesia yang berkontribusi di kancah dunia, mendiang B.J. Habibie misalnya.
Namun kekayaan itu tak jua melepaskan Indonesia dari jeratan hutang sejak zaman penjajahan Belanda. Walau rezim pemerintahan silih berganti tapi belum juga menemukan secercah solusi. Hal ini sejatinya menjadi bukti bahwa semua ini bukan hanya tentang siapa yang menduduki kursi kekuasaan tapi tentang sistem apa yang dijalankan.
Ekonomi kapitalis merupakan sistem keuangan yang diadopsi oleh seluruh Negara yang berlandaskan sekulerisme. Paham ini menjadikan para pemilik modal bebas memiliki apapun yang mereka inginkan meski hal itu menyangkut urusan orang banyak. Padahal dalam Islam telah ditetapkan bahwa manusia berserikat dalam beberapa hal sebagaimana sabda Rasul
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hadits ini disebutkan tiga hal yang manusia berserikat atasnya yaitu padang rumput, air dan api. Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama, dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang. Namun, agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari ketiganya, negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum itu. (tabloid Mediaumat Edisi 223)
Berbeda dengan sistem kapitalis yang saat ini turut dianut oleh Indonesia dimana individu atau sekelompok orang bebas menguasai salah satu dari tiga perkara tersebut hingga mereka mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya untuk memperkaya diri tanpa memikirkan nasib rakyat dan Negara dibuatnya seperti tak berdaya sebab mereka adalah pemasok modal untuk menjamin keberlangsungan ekonomi suatu Negara.
Baitul Mal mewujudkan Negara mapan tanpa hutang
Dalam ekonomi Islam ada sebuah lembaga yang bernama Baitul Mal. Baitul Mal adalah institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi warga negara yang berhak menerimanya baik muslim maupun non-muslim.
Selama beberapa abad, sistem ini terbukti memberikan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi kaum muslim dan non-muslim. Hal ini dikarenakan pos-pos pendapatan dan pengeluaran yang tersistem jelas sehingga pengelolaan kekayaan Negara pun dapat dikontrol dengan baik.
Pos-pos pendapatan dalam Baitul Mal terdiri dari tiga pos utama yang masing-masing memiliki beberapa ragam jenis pemasukan. Pos pertama adalah fa’i dan kharaj. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan negara. Meliputi harta yang tergolong fa’i bagi seluruh kaum muslim dan pemasukan dari sektor pajak (dharibah) yang diwajibkan bagi kaum muslim tatkala sumber-sumber pemasukan Baitulmal tidak mencukupi.Adapun pajak hanya diberlakukan kepada muslim yang kaya saja dan bersifat temporal manakala Baitul Mal telah stabil maka pajak diberhentikan.
Kedua, bagian pemilikan umum. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan dan pencatatan harta milik umum.Harta milik umum ini meliputi minyak dan gas, pertambangan, laut, sungai dan sumber mata air, listrik, hutan dan padang rumput. Harta ini adalah milik ummat sehingga Negara tidak boleh memberikannya pada swasta apalagi asing. Negara hanya berhak mengelola dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan ummat seperti biaya pendidikan, kesehatan dll.
Ketiga, bagian sedekah. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing. Pos ini hanya didistribusikan pada delapan asnaf tidak boleh untuk selainnya, sesuai firman Allah SWT surat at-Taubah ayat 60.
Dari penjabaran diatas mengenai sumber pemasukan pada Baitul Mal sungguh jelas sistem ekonomi Islam tidak bertumpu pada hutang ke pihak asing yang hanya akan meruntuhkan kewibawaan Negara dalam mengelola negaranya sebab pasti ada harga yang harus dibayar tatkala Negara meminjam atau berhutang yaitu adanya jebakan hutang (debt trap) dan dengannya Negara harus mendahulukan kepentingan para pemasok modal tanpa memikirkan kemaslahatan ummat.
Begitu pula dengan pajak yang tidak dijadikan sumber utama pendapatan Negara karena hal ini hanya akan membebani rakyat yang akan menurunkan kualitas hidup mereka.
Jika hanya dengan Islam kemaslahatan ummat yang tercipta, mengapa kita masih mempertahankan demokrasi-kapitalisme yang kesejahteraannya hanyalah ilusi?
Wallahu ‘alam bis showab.