Oleh.MARIANA, S.Sos
(Pemerhati Sosial dan Politik )
#MuslimahTimes — Erupsi Bansos belum berakhir, kini lavanya menyasar petinggi partai dengan julukan madam, seperti yang dilansir KORAN TEMPO, EDISI 19 JANUARI 2021, Jatah Madam Bebas Potongan.
Bencana sosial bansos terus saja menggelinding, menjadi tren dan terus diburu dalam pembicaraan publik, sepertinya rakyat sudah gerah dengan alur politik negeri ini yang terus saja melahirkan para koruptor, bahkan kekuasaan menjadi ikon dari kejahatan yang tak tahu kapan tuntasnya, korupsi seperti panorama busuk yang terus langgeng karena lahannya dibungkus dengan estetika kekuasaan.
Tantangan selalu diberikan kepada lembaga anti korupsi untuk mengungkap tirai jahat kaum elit berkuasa, padahal yang namanya lembaga adalah objek yang menjadi bentukan sistem, bagaimanapun baiknya orang-orang yang bergelut di dalamnya tetap saja mereka akan tunduk pada permainan sistem atau bahkan mereka adalah individu yang diangkat oleh kekuasaan itu sendiri.
Maka akan sangat sulit untuk menaklukkan hegemoni kekuasaan apalagi menjerat mereka dengan jeruji besi bahkan bisa jadi orang atau lembaga penegaknya akan dihantui dengan berbagai intimidasi jika mereka berani menyentuh kekuasaan.
Jadi tidak heran, jika elit berkuasa yang melanggar hukum, pembicaraannya hanya terbatas pada kalangan intelektual dan netizen yang kritis, tapi tidak pernah tersentuh di ranah pengadilan, kalaupun ada meja hijau yang dibuka maka pemeran utamanya akan digantikan oleh pemain cadangan, mereka inilah yang akan jadi kambing paling hitam untuk menutupi kelakuan buruk pemain utamanya.
Ini sejalan dengan pola demokrasi yang menciptakan politik balas budi. Kaum elit berkuasa tunduk pada korporat pemilik modal alias para kapital, ketika berkuasa, mereka akan mengangkat bawahan yang mengharuskan bawahan itu menjadi pion untuk melanggengkan kekuasaan, jika perlu bawahan itu siap menjadi tumbal jika hegemoni kekuasaan dari sang elit mulai goyah diterpa angin topan akibat arus opini publik.
Begitulah demokrasi sistem berbiaya mahal, untuk membina mahligai kekuasaan, perjalanannya harus panjang dan membutuhkan mahar yang sangat banyak, untuk menarik hati sang pemimpin parpol maka harus mengeluarkan harta yang tidak sedikit, maklum pemimpin parpol dalam sistem demokrasi nyatanya bermental materialis.
Setiap adegan rahasia yang dimainkan dalam pentas bansos selalu mengundang decak kagum dan debaran karena pelaku utamanya telah mulai terungkap dalam bahasa kiasan yang bernama madam, sosok anggun sebagai ratu dalam singgasana mewah kekuasaan.
Para pengamat dan penonton mungkin akan penasaran seperti apa ending dari sang madam sosok misterius yang sebenarnya publik sudah dapat menduga sosoknya, hanya saja sistem ini memang selalu penuh dengan drama yang tidak pernah ada solusi tuntasnya, jika sang madam adalah simbol kekuasaan maka hukuman tidak akan pernah menyentuhnya.
Demokrasi telah menjadikan indahnya kerlipan bintang kalah dengan pesona kembang api, seperti gemerlapnya kekuasaan temporal ternyata dapat mengalahkan kebenaran nyata yang terpampang jelas, data dan fakta pun dapat dikesampingkan jika pelaku kejahatannya adalah borjuis yang memiliki kekuasaan.
Tidak ada petarung sejati dalam kekuasaan demokrasi, ini hanyalah tontonan seperti dalam drama laga semuanya rekayasa penuh trik dan tipuan, hanya saja demokrasi telah menciptakan suasana romantis untuk menarik hati pemirsanya, padahal keadilan dapat dibeli, hukum dapat dibuat dan di sintetis. Drama merakyat, memberikan bantuan adalah pesona keindahan yang memalingkan dari maksud yang sesungguhnya.
Sepertinya pencitraan adalah hal yang sangat penting untuk membangun relasi publik agar rakyat terpesona dan melupakan keburukan yang terus menerus dipersembahkan. Rakyat terus terpesona dengan trik dan sulap kekuasaan yang dibungkus dengan warna warni rainbow yang menawan tapi melupakan warna terang kebenaran.
Demokrasi terus diagungkan dan dipeluk meski pesonanya memberi efek sehingga memunculkan penyakit sosial. Memang sensitivitas publik sering terjadi bahkan terkadang mengarah pada reformasi tapi tetap saja pesona demokrasi menggiurkan dan memadamkan semangat juang rakyat.
Publik pun dibius dengan ungkapan takut dan harapan, khawatir celotehan akan menggema dan meresahkan singgasana istana yang berefek pada hilangnya pendapatan dan karir sosial yang dimiliki ataukah ancaman jiwa yang terenggut. Harapan besar masih menjadi impian untuk dapat sejahtera dibawah naungan demokrasi sebab pijakan yang kokoh masih dalam keraguan yang membuncah.
Tapi rakyat juga paham bahwa ada kekacauan dan emergency politik dimana mereka harus keluar dari problem itu, hanya saja solusinya masih mengambang dan masih dalam kebimbangan, sementara banyak dari mereka adalah orang-orang terluka karena perlakuan sistem yang buruk.
Bagaimanapun keras dan sadisnya perlakuan sistem, ketika kejahatannya ditutupi dengan hadiah kecil maka itu akan meluluhkan tekanan psikologis publik, mereka akan kembali memeluk meski tubuh yang penuh dengan luka, dengan harapan mereka akan dapat hidup normal dan kembali dalam suasana aman dan damai penuh kebahagian, sayangnya ini adalah harapan yang tidak akan pernah terwujud dalam sistem demokrasi.
Tetap saja yang kuat modal dan kekuasaan dialah pemenangnya, mereka bebas mengambil dan merekayasa setiap kejadian, bahkan seringkali kekuasaan memanfaatkan ketidakberdayaan publik dengan narasi romantis penuh tipuan yang diungkapkan melalui bantuan media, hingga dapat meluluhkan dan membuat baper sebagian rakyat,sehingga publik tersugesti dan menerima harapan kosong yang tidak akan pernah terjadi.
Kekuasaan paham bahwa sebagian rakyat sudah terbiasa terluka dan dapat diobati dengan kata dan bingkisan kecil yang temporal, mungkin sejarah memberi bekas tersendiri bahwa sebagian publik sudah terbiasa dengan adegan penjajahan.
Padahal ketika akal yang digunakan maka sudah sepatutnya sistem ini dijauhkan dari kehidupan, karena demokrasi tidak memberi kebaikan pada rakyat, hanya yang memiliki julukan madam dan tuan dalam kursi kekuasaan yang akan mendapatkan mahkota kehormatan.
Harus ada revolusi sistem untuk menghentikan arogansi sang madam, tekanan publik hanya akan memberikan efek parsial yang tidak akan merenggut pesona sang madam, maklum moralitas dan rasa malu sudah tidak berarti.
Bahkan prestasi kejahatan sengaja dihembuskan untuk melihat reaksi publik apakah masih tetap setia dengan mantra kekuasaan dalam demokrasi ataukah ada stimulus untuk melakukan mobilitas, bukan hanya bersifat temporal terbatas pada karisma individu tapi mengarah pada mobilitas sistemik.
Bagaimanapun bermanfaatnya lilin untuk menerangi, tetap saja cahayanya tidak dapat mengalahkan sinar mentari, karena itu bertahan dengan demokrasi yang rapuh hanya akan memperpanjang usia sang madam untuk terus membuat taring dan tanduk yang akan melahap dan membajak setiap hak milik publik,
Meski madam telah lengser dari singgasana kekuasaannya akan lahir madam-madam yang lain yang berperilaku serupa, selama demokrasi masih dipertahankan dan menggerogoti masyarakat.
Maka harus ada cahaya yang dapat mengalahkan rapuhnya cahaya lilin, meski lilin itu indah tapi cahayanya tidak secerah mentari, dan untuk melakukan perubahan maka harus ada penggerak yang akan memanaskan masyarakat
Tentu itu berasal dari pemikiran yang politis yang mengarah pada perubahan hakiki, perubahan yang menjadikan rakyat dan penguasanya makin cerdas dan bermoral, perubahan yang menjadikan aturan Pencipta sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebab otoritas satu-satunya pembuat hukum untuk manusia adalah yang menciptakannya. Wallahu a’lam (***)