Oleh : drg. Nurus sa’adah
(revowriter Surabaya)
#MuslimahTimes — Di tengah kondisi keuangan yang defisit, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang di Istana Negara, Senin (25/1). Jokowi menyampaikan besarnya potensi wakaf di Indonesia. Jokowi menyebut potensi yang besar tersebut harus dibarengi dengan perluasan penyaluran wakaf. Wakaf tidak lagi hanya terbatas pada kegiatan ibadah, bisa dikembangkan untuk kegiatan sosial ekonomi. Nantinya wakaf akan memberikan dampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat (Kontan.id)
Jokowi sendiri mengungkap, potensi aset wakaf di Indonesia setiap tahunnya mencapai angka Rp2.000 triliun. Sementara, potensi wakaf uang bisa menembus angka Rp188 triliun.
Sejalan dengan presiden, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa pemanfaatan instrumen wakaf di Indonesia belum optimal. Padahal, menurutnya, dana wakaf dapat mendukung upaya mengatasi masalah pembangunan dan kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Bisnis.com)
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan nilai wakaf yang telah terkumpul di perbankan, serta wakaf dalam bentuk proyek sudah cukup besar. Untuk total nilai wakaf tunai yang saat ini sudah terkumpul di perbankan mencapai Rp328 miliar, sedangkan wakaf berbasis proyek nilainya mencapai Rp597 miliar.
Dengan besarnya angka tersebut, gerakan nasional wakaf uang diharapkan tidak hanya meningkatkan kepedulian, literasi, dan edukasi masyarakat terhadap ekonomi dan keuangan syariah, tetapi juga meningkatkan solidaritas sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.
Kemiskinan memang menjadi fakta yang masih kelihatan nyata. Apalagi di era pandemi seperti saat ini. Jumlah penduduk miskin Indonesia pada periode September 2020 tercatat mencapai 27,55 juta orang. Jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah 2,76 juta orang bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Peningkatan jumlah penduduk miskin ini terjadi lantaran pandemi menyebabkan banyak kegiatan perekonomian tidak bisa berjalan seperti biasa, sehingga pendapatan masyarakat pun tertekan.
Beberapa cara yang sudah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan terutama di masa pandemi ini mulai dari pemberian Bantuan Sosial (bansos), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), kartu prakerja, hingga subsidi bagi UMKM.
Ada gula, ada semut. Ada uang, ada korupsi yang berdatangan. Dana bansos untuk pengentasan kemiskinan pun diembat juga. Belum lagi banyaknya yang tidak tepat sasaran dan tidak optimalnya penyaluran. Berbagai upaya pengentasan kemiskinan dari dulu hingga sekarang, sejak tidak ada pandemi bahkan ditambah dengan pandemi, tidak pernah menyentuh akar masalah kemiskinan.
Ketidakbecusan pemerintah menjamin kebutuhan pokok rakyat dan mengelola negara, dilempar kepada rakyat untuk menanggulanginya. Setelah dana haji dan ZISWAF dilirik sebagai solusi ekonomi, kini giliran wakaf yang dimanfaatkan. Islam hanya diambil atas dasar manfaat. Ketika dirasa tidak bermanfaat, dibuang dan dicampakkan, bahkan di kriminalisasi dengan segudang tuduhan.
Jika dianalisis secara mendalam, kemiskinan yang terjadi di negeri ini bukanlah kemiskinan karena faktor individu. Namun kemiskinan sistemik. Kemiskinan yang terjadi secara massal. Mungkin ada saja satu dua orang yang malas bekerja. Namun yang banyak terjadi adalah, mereka tidak mendapatkan lapangan kerja. Mereka sudah bekerja keras, namun harga kebutuhan pokok dan kebutuhan komunal selalu naik tak terjangkau. Kesenjangan sosial semakin menganga lebar. Di satu sisi, kelompok elit bisa hidup mewah, di sisi lain rakyat kecil hidup berdesakan karena harga tanah yang mahal. Di satu sisi, segelintir kaya menyantap sedap makanan penuh cita rasa dengan garnish penuh estetika. Di sisi lain banyak rakyat jelata yang mengais sampah untuk mengganjal isi perutnya. Di Indonesia, 1 persen orang terkaya menguasai 50 persen aset nasional. Credit Suisse Research Institute melakukan survei yang menghasilkan kesimpulan, kesenjangan sosial makin meningkat. Dalam laporan berjudul ‘Global Wealth Report 2016’ dikatakan, orang termiskin dunia hanya mampu menguasai kurang dari satu persen kekayaan dunia. Sementara 10 persen orang terkaya dunia justru bisa mendapatkan 89 persen aset yang tersedia.
Mengapa bisa? Karena inilah alam kapitalisme. Bagaikan hukum rimba, yang kuat modal ia yang akan bertahan. Yang kuat kapital-nya, ia yang akan menguasai kekayaan. Ia boleh memiliki apapun, bahkan hutan, laut dan gunung. Asas liberalisme dan sekulerisme juga menjadikan mereka hidup untuk memenuhi nafsu dan keinginannya. Negara hanya memperhatikan angka produksi demi nilai pendapatan per kapita. Namun tidak memperhatikan aspek distribusi, yang memastikan kebutuhan hidup terakses merata. Akibatnya yang kaya makin kaya, yang miskin makin banyak dan merana. Inilah akar masalah kemiskinan yang tak kunjung usai, yaitu diterapkannya sistem kapitalisme yang memimpin dunia dan dianut negeri ini.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam menggariskan Khalifah sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung) umat. Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. Atas dorongan taqwa, ia rela blusukan ke setiap kampung selayaknya Khalifah Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur sebelum memastikan semua rakyatnya bisa makan. Jangankan manusia, hewan pun dipikirkan keselamatannya. Lewat penerapan sistem ekonomi Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok individu berupa sandang, pangan dan papan rakyat. Juga kebutuhan pokok komunal berupa pendidikan, kesehatan, keamanan dengan murah bahkan gratis. Kebutuhan pokok individu dipenuhi lewat mekanisme tak langsung. Diantaranya dengan dibukanya lapangan kerja yang luas, bantuan modal usaha bagi yang membutuhkan, dan jaminan ekonomi secara langsung bagi perempuan yang tidak memiliki penanggung nafkah atau orang-orang yang memiliki hambatan fisik sehingga tidak bisa bekerja. Sedangkan kebutuhan pokok komunal dijamin dengan mekanisme langsung. Mudahnya mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, keamanan yang berkualitas tanpa harus membayar mahal.
Tentu, semua jaminan dan layanan ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Syariat Islam pun memiliki aturan lengkap sistem ekonomi Islam yang bisa menopangnya. Pengelolaan kekayaan alam yang melimpah ruah sebagai kepemilikan umum menghasilkan dana yang lebih dari cukup dalam APBN Khilafah, sehingga seluruh rakyat akan merasakan keberkahan dan kesejahteraan. Insya Allah kemiskinan sistemik tidak akan terjadi. Sejarah mencatat, di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Azis selama 2 tahun, tidak ditemukan rakyat yang berhak menerima zakat. Subhanallah..
Lalu, dimana posisi wakaf? Wakaf diberikan secara sadar oleh orang-orang kaya yang berlomba-lomba membelanjakan hartanya demi mendapatkan amal jariyah. Muslim dibolehkan menjadi orang kaya. Namun hartanya berada dalam genggaman, sedangkan kecintaan pada Allah ada di dalam hatinya. Para sahabat mencontohkan berlomba-lomba nya mereka dalam membelanjakan harta di jalan Allah. Rasulullah membeli tanah milik anak yatim di Madinah yang kemudian dibayarkan oleh abu bakar. Kini, tanah wakaf itu didirikan masjid Nabawi yang terus mengalami perluasan sampai sekarang. Ada pula Utsman bin Affan yang membeli sumur milik Yahudi, untuk kepentingan kaum muslimin. Karena sebelumnya siapapun yang mau mengambil air di sumur tersebut, harus membayar. Kini sumur Raumah tersebut tetap mengeluarkan air sampai sekarang. Mengalirkan pahala jariyah bagi sahabat Usman bin Affan. Masya Allah..
Dalam khilafah, orang-orang kaya bukan senang kulineran atau koleksi rumah dan mobil mewah untuk dinikmati keluarga dan diri sendiri. Mereka sangat produktif, namun mereka tidak pernah konsumtif. Karena mereka mengingat sabda Rasulullah, “Sungguh orang yang kenyang di dunia mereka adalah orang yang lapar di akhirat nanti” (HR Ath-Thabrani).
Mereka mewakafkan harta nya untuk membangun laboratorium, sekolah, pesantren, dan lain-lain. Maka posisi wakaf bukanlah untuk mengentaskan kemiskinan. Karena kemiskinan akan dipentaskan oleh terterapkannya sistem politik dan sistem ekonomi Islam secara komprehensif dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Sungguh rakyat harus menyadari, bahwa kegagalan pemerintah dalam mengelola negeri ini adalah kesalahan fatal yang akan terus menyuburkan kemiskinan sistemik selama sistem kapitalisme menjadi kiblat dalam pengaturan negara. Bukan malah membebankan kepada rakyat untuk mengentaskan kemiskinan. Bagaikan orang tua yang durhaka kepada anaknya. Tidak pernah memberi makan, namun malah menyuruh tetangga untuk bersedekah memberi makan kepada anaknya.
Harus digarisbawahi pula, bahwa kesadaran untuk mengambil syariat Islam, haruslah kesadaran yang menyeluruh atas landasan iman. Bukan parsial, hanya mengambil syariat yang dianggap manfaat saja. Hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah saja, keberkahan dan kebaikan bagi seluruh manusia akan dirasa. Dan pengentasan kemiskinan tak akan menjadi ilusi lagi. []