Oleh. Arviah Hasibuan
Muslimahtimes.com – Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) rencananya akan direvisi oleh pemerintah. Revisi terhadap UU ITE ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya, UU ITE sudah pernah direvisi pada Agustus 2016 era Menteri Kominfo Rudiantara. Wacana revisi UU ini muncul setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan. “Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-Undang ITE ini,” kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021). (kompas.com, 17/2/2021)
Jokowi bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal- pasal karet yang ada di UU ITE karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut.
//Catatan Penting di Balik Revisi UU ITE//
Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menilai ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dengan situasi era Orde Baru. Busyro pun menilai situasi saat ini sudah bergerak ke arah neo otoritarianisme.
“Ada kesamaan situasi Orde Baru itu dengan saat ini, ada kesamaaan. Sekarang orang menilai, termasuk saya, sudah mulai bergerak kepada neo otoritarianisme,” kata Busyro dalam acara Mimbar Bebas Represi yang disiarkan akun YouTube Amnesty International Indonesia, Sabtu (20/2/2021).
Busyro menuturkan, pernyataannya itu didasarkan pada tiga indikator.
Pertama, masifnya buzzer atau pendengung di media sosial. “Orang yang kritis lalu diserang dengan buzzer, dengan berbagai macam cara,” ujar Busyro.
Indikator kedua, lanjut dia, adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Ia mencontohkan kasus teror kepada civitas Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang hendak menggelar diskusi terkait pemakzulan presiden.
Indikator ketiga, kata Busyro, terdapat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilainya seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer. “Undang-Undang ITE ini sesungguhnya memiliki karakter, karakternya apa? Yaitu sebagai wujud pelembagaan buzzer, jadi buzzer yang dilegalkan melalui Undang-Undang ITE, sudah banyak korbannya,” kata Busyro.(kompas.com,20/2/2021)
Walaupun telah mengalami revisi, nyata masih terdapat beberapa pasal karet dalam UU ITE. Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto ungkap ada 9 pasal UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang perlu dihapus dan direvisi. Hal itu disampaikan melalui akun Twitter-nya, @DamarJuniarto. (tribunnews.com,17/2/2021)
Berikut 9 pasal UU ITE yang bermasalah, karena rumusannya dinilai karet dan multitafsir:
1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoax.
8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.
Bahkan akibat dari pasal-pasal karet ini, setidaknya Hampir 700 orang dipenjara sepanjang 2016-2020. Menurut kajian lembaga reformasi hukum. Atas dasar itu, Presiden Jokowi dan DPR didesak mencabut semua pasal karet dalam UU ITE yang kerap kali menjadi ‘alat mengkriminalisasi’ ekspresi dan pendapat masyarakat.
Pernyataan itu menanggapi klaim pemerintah Indonesia yang “akan mendiskusikan inisiatif revisi Undang-Undang ITE” menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dirinya bakal mendorong revisi undang-undang tersebut lantaran maraknya warga saling lapor dan kasus kriminalisasi. (bbc.com, 17/2/2021)
Banyak pihak menaruh harapan besar terhadap revisi UU ini. Karena adanya UU ITE sendiri menjadi polemik di tengah masyarakat. Masyarakat menjadi khawatir ketika ingin menyampaikan pendapatnya terhadap kinerja maupun kebijakan penguasa. Namun, akankah revisi UU ini membawa angin segar atau justru hanya basa-basi seperti yang dikatakan oleh direktur eksekutif ICJR, jika pemerintah tidak melakukan perombakan besar-besaran di dalamnya.
Dalam kesempatan yang berbeda pernyataan Jokowi direspon berbeda oleh Sejumlah anak buahnya yang justru mengarahkan pada pembuatan pedoman interpretasi. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate menunjukkan bahwa pemerintah tak akan masuk ke urusan revisi UU ITE. Pemerintah menggeser isu revisi ke masalah interpretasi ketentuan dalam undang-undang tersebut. “Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE,” kata dia.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md membentuk dua tim terkait polemik pasal-pasal karet dalam UU ITE. Dua tim tersebut masing-masing bertugas membuat pedoman interpretasi dan mengkaji kemungkinan revisi UU Nomor 11 Tahun 2008. (tempo.co, 21/2/2021)
Jika kenyataannya seperti ini maka rakyat hanya menaruh harapan kosong karena fokusnya ke masalah interpretasi oleh pemerintah. Beginilah kehidupan bernegara yang tidak menerapkan aturan dari Pencipta. Aturan dibuat hanya untuk melindungi kepentingan penguasa dan pendukungnya. Tidak akan pernah memberikan keadilan bagi semua. Apalagi melindungi dan mengayomi hak rakyatnya. Rakyat hanya diperlukan suaranya secara berkala. Setidaknya 5 tahun sekali. Setelah itu, bahkan ketika hanya ingin bersuara meminta haknya dan tanggung jawab negara. Maka, siap-siaplah berhadapan dengan payung hukum yang ada. Apakah kehidupan seperti ini yang terus diharapkan?
Lalu bagaimana Islam memandang permasalahan ini?
Muhasabah Lil Hukkam
dalam buku Shahih Fadhail A’mal, Syekh Musthafa Al-‘Adawi, menukilkan riwayat dari Imam Muslim,
عن أبي رُقية تميم بن أوس الدَّاري : أن النبيَّ ﷺ قال: الدِّين النَّصيحة، قلنا: لمَن؟ قال: لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمَّة المسلمين وعامَّتهم
Dari Tamim ad-Dari, Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya “Untuk siapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum.”
Bahkan dalam hadits lain Rasulullah Saw memberikan pujian terhadap aktivitas mengoreksi para pemimpin. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)
Islam menempatkan aktivitas mengoreksi dan mengontrol penguasa sebagai kewajiban. Bahkan aktivitas ini pun telah di contohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.
Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata: “Rasulullah Saw, mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi Muhammad saw dan Nabi Muhammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah diamanahi kepadanya. Ibnu Luthbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”
Rasulullah Saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Nabi saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai menyampaikan apa yang telah dilakukan oleh sang amil adalah sebuah kekeliruan.
Amru bin Ash ra. adalah gubernur Mesir di masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Suatu ketika dia diadukan oleh rakyatnya seorang Yahudi karena merasa mendapatkan ketidakadilan. Khalifah Umar bin Khattab ra. mendengarkan keluh kesahnya, kemudian beliau mengambil tulang dan menggambar garis lurus di atasnya dengan pedang. Ketika tulang tersebut diberikan kepada Amru bin Ash ra. Seketika itu, pucat wajahnya dan sang Yahudi bingung melihat kejadian tersebut. Amru bin Ash ra berkata, “Ketahuilah, Umar memintaku berbuat adil dan lurus seperti lurusnya garis di dalam tulang ini.”
Dalam menyampaikan pendapat maupun koreksi terhadap penguasa, Islam memiliki mekanisme tertentu sebagaimana mengutip di dalam buku Akuntabilitas Negara Khilafah (Abdul Kareem Newell), bahwa ada pengimbang kekuatan Khalifah di dalam negara Khilafah, yaitu majelis umat dan mahkamah mazhalim.
Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah ini. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariat.
Majelis umat merupakan sebuah majelis yang dipilih dari rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non mslim, baik laki-laki maupun perempuan. Fungsi utamanya adalah menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan muhasabah menyampaikan aspirasi umat.
Masya Allah! gambaran kehidupan bernegara di dalam Islam sebagaimana yang telah di contohkan oleh Rasulullah Saw dan para khalifah setelahnya. Bahwa penguasa adalah pelayan bagi umat dan pengurus berbagai macam keperluan umat. Hubungan penguasa dan rakyat tidak dibangun di atas asas kepentingan bahkan permusuhan. Namun, dibangun berlandaskan saling mencintai karena Allah agar semua dapat melaksanakan kewajiban dan ketaatan secara sempurna terhadap amanah yang telah Allah titipkan.
Wallahu’alam bii Showab