Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute dan Bengkel Istri
Muslimahtimes– Hampir 100 tahun dunia kehilangan junnah, perisai pelindung umat manusia yaitu sistem Khilafah. Selama itu pula umat manusia di dunia dipaksa hidup dalam habitat sekular. Kehidupan yang membawa atmosfir liberal yang bertolak belakang dengan habitat Islam yang membawa atmosfir keimanan.
Nestapa demi nestapa melanda umat, tak terkecuali kaum perempuan. Mereka kehilangan pedoman, bagaimana menjalankan peran yang adil, terjaga fitrahnya dan membahagiakan. Terlalu banyak kontradiksi yang harus dihadapi. Sekularisme mengajarkan kebebasan perempuan, tetapi di sisi lain menuntut perlindungan. Akhirnya terjadi kekacauan dalam kehidupan perempuan.
Perempuan Sekular
Paradigma sekular tidak memiliki pemikiran yang jernih dalam mendudukkan posisi perempuan. Akibatnya, perempuan diposisikan harus sama persis dengan laki-laki. Baik dalam hal politik, ekonomi, hukum, sosial, keluarga dan bahkan sebagai seorang individu. Sekulerisme tidak mengenal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, tetapi penyamaan peran. Faktanya, yang terjadi adalah persaingan peran.
Paradigma sekular memandang, jika kedudukan perempuan sama dengan laki-laki, maka seluruh hak-hak perempuan akan diraih. Bukan hanya itu, kesamaan peran laki-laki dan perempuan akan menghapuskan semua bentuk ketidak-adilan, kekerasan dan diskriminasi pada perempuan. Menurut mereka, jika laki-laki bekerja dan perempuan di rumah, itu tidak adil. Maka perempuan harus diberi kesempatan bekerja seluas-luasnya dengan dalih kemandirian ekonomi.
Menurut mereka, jika laki-laki bebas beraktivitas di ruang publik, maka perempuan pun sama. Harus dibebaskan bergaul dan berinteraksi dengan laki-laki di ruang publik kapan saja dan di mana saja. Jika laki-laki tidak menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, perempuan juga harus dibebaskan membuka aurat dan berpakaian sekehendak hatinya di ruang publik, baru itu adil. Jika karena itu perempuan lantas menjadi korban pelecehan atau pemerkosaan, jangan salahkah perempuan. Salahkan laki-laki yang kotor pikirannya. Buatlah undang-undang yang menghukum berat laki-laki.
Jika laki-laki menjadi pemimpin dalam rumah tangga, karena menurut mereka hal itu berkaitan dengan nafkah yang ada di tangan laki-laki; maka perempuan yang mendatangkan uang untuk keluarganya juga harus diposisikan sebagai pemimpin. Menurut mereka, adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suami kepada istri adalah karena laki-laki diberi kekuasaan sebagai pemimpin rumah tangga dan perempuan tergantung secara ekonomi padanya. Jika perempuan bisa menghasilkan uang, laki-laki akan segan dan tidak berani melakukan kekerasan.
Sekularisme memandang, laki-laki dan perempuan sama-sama bebas berinteraksi dengan teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik di ruang publik maupun privat. Mereka tidak punya aturan baku dalam sistem pergaulan. Interaksi sosial laki-laki dan perempuan di ruang privat sama saja dengan di ruang publik. Berduaan atau beramai-ramai antara laki-laki dan perempuan, bebas.
Lantas, apa yang diperoleh perempuan dengan gagasan penyamaan peran dan bukan pembagian peran ini? Apakah hak perempuan lantas terpenuhi? Apakah perempuan lantas bebas dari diskriminasi? Apakah lantas perempuan dihormati dan dihargai?
Tidak. Justru perempuan jauh dari pemenuhan haknya, karena sejatinya hak perempuan berdasarkan fitrahnya bukanlah berperan seperti laki-laki, tapi berperan sebagai seorang perempuan. Jika fitrahnya laki-laki adalah bekerja, fitrah perempuan adalah tidak bekerja. Jika fitrahnya tempat aktivitas laki-laki adalah di ruang publik, tempat ternyaman bagi perempuan adalah di ruang privat. Jika fitrahnya laki-laki adalah memandang, fitrahnya perempuan adalah malu dari pandangan.
Maka, ketika perempuan melakukan peran di luar fitrahnya, bahkan berperan persis bak laki-laki, terjerumuslah dalam nestapa. Peran itu bahkan menggeser fitrahnya sebagai perempuan. Perempuan yang fitrahnya menjaga diri akhirnya malah mengeksploitasi diri. Perempuan yang fitrahnya ingin dinikahi, malah menjadi objek seksual di luar nikah. Dipacari sampai dizinahi. Tidak dinikahi malah nyawa dihabisi.
Demikian pula derita perempuan bekerja. Ketika perempuan lelah dan haknya beristirahat di rumah berkurang karena tetap saja harus melakukan pekerjaan domestik, jiwanya menjadi keras. Memang, mungkin dia tak lagi menjadi korban KDRT oleh suaminya. Tetapi, dia sendirilah yang menjelma menjadi pelaku KDRT, baik terhadap anak-anak maupun suami.
Dia pulalah yang akhirnya berani merobohkan bangunan rumah tangga dengan menuntut cerai, karena sedikit demi sedikit telah lepas ketergantungannya pada sang pemimpin rumah tangga. Ia tidak lagi tunduk pada kepemimpinan dan bahkan mengambil alih kepemimpinan itu. Dengan kekuatan materi yang ia miliki, ia memutuskan hidup sendiri. Membuat anak-anaknya kehilangan sosok ayah.
Perempuan Mulia
Allah Swt. menciptakan manusia dalam dua jenis, laki-laki dan perempuan dengan potensi dasar yang sama sebagai manusia, namun dengan karakteristik yang berbeda sesuai jenis kelaminnya. Sang Pencipta inilah yang paling berhak dan paling tahu, bagaimana menempatkan peran keduanya secara proporsional. Sebagai manusia, keduanya sama-sama hamba Allah. Hanya ketakwaannya yang membedakan. Karena itu peran dalam aspek kemanusiaan sama, yakni ibadah kepada Allah, berinteraksi atau bermuamalah dengan sesama manusia dan mewujudkan akhlak yang mulia dalam dirinya.
Namun, ada peran-peran yang dibagi antara pria dan wanita dengan memperhatikan fitrah masing-masing. Pembagian peran ini bukan sebagai bentuk diskriminasi, tetapi distribusi. Tujuannya, agar seluruh elemen penting dalam kehidupan ini tertangani dengan baik melalui kerjasama kedua jenis kelamin ini.
Misal, jika dalam aspek publik laki-laki yang dominan perannya, ini semata-mata agar aspek domestik tidak terabaikan. Bukan berarti perempuan sama sekali dilarang beraktivitas di ruang publik, tetapi itu bukanlah hal utama bagi mereka. Perempuan dalam peradaban Islam yang mulia, boleh saja bekerja. Menjadi dokter, guru, peneliti, pustakawan hingga pengusaha perempuan. Namun, itu bukanlah tugas utamanya.
Peran utamanya di domestik dan itu bukan peran remeh temeh. Ada tugas sebagai pendidik, ulama, manajer rumah tangga, pengatur keuangan, koki, ’dokter’ hingga ‘psikolog’ bagi anak-anak calon pemimpin bangsa. Jika tugas ini ditinggalkan, siapa yang mengurusnya? Laki-laki ketika diserahi tugas inipun, tidak mampu menjalankannya karena memang bukan fitrahnya. Sungguh, kerjasama dalam peran yang berbeda inilah yang justru melahirkan kesetaraan.
Rasulullah saw. bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal.” Artinya, perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki.
Sementara itu, ditegakkannya sistem pergaulan sesuai syariat akan mengurangi ekses negatif akibat kehadiran perempuan di ruang publik. Terjaga dari pergaulan bebas dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Tercegah dari aneka jenis pelecehan yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Islam memang mewajibkan laki-laki untuk ghadul bashar (memalingkan pandangan) dan tidak berpikiran syahwat, tetapi jika pemandangan indah wanita-wanita berpakaian minim tanpa menutup aurat ada di mana-mana, bukankah hal itu memperbesar peluang terjadinya pergaulan bebas?
Oleh karena itu, perempuan tidak selayaknya berharap pada sistem sekular kapitalis untuk memperjuangkan kesamaan peran. Cukup jalankan peran sesuai syariah, maka keadilan dan kesetaraan itu akan hadir dengan sendirinya. Tentunya hal ini hanya akan dapat dinikmati jika perempuan hidup dalam habitat peradaban Islam, bukan peradaban sekular.(*)