Oleh : Nay Beiskara
(Kontributor Muslimah Times)
Muslimahtimes– Avragad (5 tahun) suatu hari meminta izin kepada bundanya agar diperbolehkan meminjam selimut adik bayinya dan beberapa sarung milik ayahnya. Bundanya bertanya untuk apa. Lalu, ia pun menjawab, “Abang mau buat rumah, rumah Abang”. Bundanya memerhatikan apa yang anandanya lakukan dengan seksama.
Sesaat kemudian, jadilah ‘Rumah Abang’. Jangan dibayangkan rumah itu layaknya sebuah rumah yang memiliki atap, jendela, dan pintu sebagaimana rumah-rumah pada umumnya. Tapi, rumah yang ananda Avragad maksud ialah suatu ruang kecil yang dibatasi oleh kursi, stroller, bantal, dan kursi pendek yang diposisikan berdiri.
Kemudian semuanya ditutup dengan selimut dan sarung. Di atasnya ia letakkan beberapa jenis mainannya. Mulai dari mobil-mobilan, motor-motoran, pesawat, ikan-ikanan yang dimasukkan dalam wadah mungil berisi salju buatan, dan yang lainnya. Tak hanya itu, agar terlihat seperti aslinya, beberapa jenis mainan kendaraan alat berat, diletakkan di tengah-tengah tumpukan kecil pasir dan kerikil yang ia ambil dari halaman.
Bagaimana reaksi sang Bunda? Melihat tingkah polah anandanya, Bunda hanya mampu menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Seorang anak usia sekitar 4 atau 5 tahun kerap memiliki imajinasi luar biasa. Imajinasi ini ia ekspresikan dengan menggunakan mainan yang dimilikinya dan apapun yang bisa ia temukan di rumahnya. Bunda, yang biasa membersihkan rumah dan membereskan semua hal yang dalam pandangannya ‘berantakan’, melihat hal itu terkadang tak tahan. Ingin sekali rasanya membersihkan semuanya. Tak jarang emosi bunda pun tersulut bila ananda tak mau mendengar dan melarang bunda tuk menyentuh mainan dan membersihkannya. Adakah yang memiliki pengalaman yang sama?
Seringkali orangtua melarang anak-anak mereka tuk melakukan sesuatu. Padahal, di usia prabaligh ini, anak memang sedang aktif mengeksplor segala hal yang ada di sekitarnya. Senang membuat sesuatu sesuai imajinasinya. Tak lupa ia namakan dengan istilahnya sendiri., Walaupun hasilnya membuat rumah tak rapi. Sampah bekas jajanannya bukan dibuang, melainkan dikoleksi. Dibuang oleh bundanya tidak boleh. Jawabnya, “Ini mainan Abang! Jangan dibuang!”
Pada fase ini, orangtua memang dituntut lebih banyak bersabar. Sebaiknya tak melarang ananda tuk melakukan yang ia suka selama itu tak membahayakan jiwanya. Membebaskan anak mengeksplor sesuatu mampu meningkatkan daya pikir dan kreatifitasnya.
Sebaliknya, melarangnya melakukan sesuatu hanya karena orangtua tak suka atau kesal melihat rumah yang selalu berantakan, akan menyebabkan anak kehilangan kepercayaan dirinya. Lebih jauh lagi, sikap orangtua itu bisa mematikan kreatifitasnya.
Ada satu kisah mengenai seorang anak di dalam sebuah masjid. Sebelumnya ia gemar datang ke masjid. Tapi, namanya juga anak-anak, ia berlarian ke sana ke mari di dalamnya. Lalu, ada seorang bapak-bapak jamaah masjid itu yng merasa terganggu. Ia bentak anak itu dan diusirnya dari masjid.
Sang anak berlari ke luar masjid seraya menangis. Sejak saat itu, ia amat membenci masjid dan selama puluhan tahun hidupnya tak ingin lagi mendatangi masjid. Bahkan, tak hanya masjid yang ia benci, tapi orang-orang yang ada di dalamnya pun ia benci. Rupanya, kejadian di masa kecilnya itu amat membekas di hatinya. Menoreh luka yang mendalam hingga memengaruhi sikapnya selama masa hidupnya.
Ada kisah lain yang menceritakan hal yang sama. Yakni, seorang anak di masjid dan perlakuan yang ia dapatkan di dalamnya. Namun, pandangan dan sikapnya berbeda dari kisah pertama.
Suatu hari, seorang anak selesai melakukan sholat berjamaah. Ketika ia hendak pulang, ia tak bisa menemukan sandalnya. Padahal, sandal yang ia pakai ke masjid adalah sandal baru. Anak itu pun menangis di depan masjid. Seorang ustaz yang bijak menghampirinya. Lalu, bertanya pada anak itu mengapa ia menangis. Anak itu pun menjawab, “Sandalku hilang, bagaimana caranya aku pulang.” Sang ustaz pun meminjamkan sendal berukuran kecil dan mengajaknya ke suatu tempat.
Ternyata ustaz mengajaknya ke toko sandal dan sepatu. Sang ustaz berkata padanya, “Wahai anakku, pilihlah sandal dan sepatu yang kau sukai.” Anak itu pun memilih sepasang sandal dan sepatu. Senyumnya mengembang. Ia kehilangan sandal barunya. Tapi, ia mendapatkan ganti yang lebih baik. Tak hanya sendal, sepatu pun ia miliki sekarang.
Sejak kejadian itu, ia lebih senang mendatangi masjid dan orang-orang di dalamnya. Bahkan, ia menjadi imam di masjid itu hingga sekarang, imam besar di Masjidil Haram.
Sekelumit kisah di atas memberikan kita pelajaran bahwa perlakuan yang kita berikan pada ananda, akan memengaruhi sikapnya di kemudian hari. Bila kita keliru menyikapi ananda karena rasa keingintahunya yang tinggi, maka bisa jadi daya pikirnya tak berkembang, kepercayaan dirinya berkurang, bersikap pesimis dan selalu bersuuzhon, daya kreatifitasnya pun menurun. Itu berarti kita telah mematikan kreatifitasnya. Padahal, dengan imajinasi dan rasa ingin tahunya yang tinggi itu, ia mampu menemukan dan membuat sesuatu yang bermanfaat kelak.
Memang orangtua tak melihat kreatifitas itu saat kecil. Namun, tunggulah saat ia dewasa. Orangtua kan tercengang dengan apa yang bisa dilakukan oleh ananda. Ia kan menjadi ilmuan yang besar. Karena sedari dini, ia merasa dihargai karyanya, diangkat kepercayaan dirinya, dikatakan kalimat-kalimat positif padanya, serta dibuat dirinya menjadi orang yang optimis.
Karenanya, bersabarlah dengan apa yang dilakukan ananda kita. Jangan matikan kreatifitasnya dengan memandang remeh hasil karyanya, memarahinya, dan melarang melakukan sesuatu yang ia suka. Sebaliknya, arahkan ananda kita tuk mampu membuat sesuatu yang bermanfaat baginya. Berikan informasi sebanyak mungkin dalam hal-hal yang ingin diketahuinya dan gali potensinya. Kelak, ananda-ananda kita kan menjadi ananda yang luar biasa. Wallahua’lam.