Oleh. Salma N. Banin
#MuslimahTimes — Jika ada yang bertanya-tanya, mengapa di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia miras bisa diakses dengan mudahnya? Jawabnya adalah karena Indonesia tidak menstandarkan aturannya pada konsep halal dan haram, namun pada kesepakatan wakil rakyat, sebagaimana prinsip demokrasi. Jika ada lagi yang penasaran tentang bagaimana asal-usul Perpres 10 tahun 2021 tentang investasi (industri baru miras salah satunya) bisa disahkan? Tentu saja karena merujuk kepada UU Omnibus Law atau Cipta Kerja yang ngebut digarap agar bisa segera membuka lebar pintu-pintu investasi sebagai indikasi majunya ekonomi.
Industri miras adalah salah satu yang diharapkan mampu menambah pendapatan negara. Namun menurut seorang jurnalis senior dalam suatu kesempatan webinar, Asyari Usman memaparkan bahwa industri miras hanya menyumbang ‘recehan’ bagi pemasukan negara, jika dibandingkan dengan kerusakan yang akan dihasilkan dari maraknya peredaran komoditas haram ini.
Setali tiga uang dengan pandangan seorang pengamat ekonomi, Dr. Arim Nasim yang secara tegas menyatakan bahwa miras ini justru adalah beban APBN yang harus ditempatkan sebagai komoditas negatif investasi. Secara konteks ekonomi, industri ini terdata mampu menyedot 1,6% PDB negara Amerika. Dimana penelitian ini dilakukan pula di berbagai negara, yang analisisnya bagi Indonesia sendiri akan menimbulkan kerugian sekitar 256 triliun. Jumlah itu setara sepuluh kali lipat pendapatan negara dari produksi etil alkohol, komponen inti dari minuman keras.
Fakta lain menyebutkan bahwa miras tidak bisa dilepaskan dari dampaknya pada kesehatan manusia dan kriminalitas. WHO merilis bahwa setiap tahun jumlah kematian dikarenakan minuman beralkohol mencapai angka 3,3 juta jiwa, setara dengan kematian 1 orang setiap 20 detik. Di Indonesia, tren kerusakan dikarenakan miras meningkat setiap tahun sejak zaman Presiden Soekarno.
Di Sulawesi Utara, sebagai salah satu provinsi yang ditarget, memiliki track record sebanyak 70% kejahatan dipelopori oleh minuman keras. Provinsi Papua tak mau kalah, data menunjukkan miras menyumbang kematian 22% rakyat di Papua. “Tak hanya di Papua, 75% angka kriminalitas di Merauke disebabkan miras, 75% juga menyebabkan laka lantas,” ungkap Filep Wamafma senator asal Dapil Papua Barat ini. Secara nasional pun, 40% kasus kekerasan yang terjadi disebabkan pelaku berada dibawah pengaruh minuman beralkohol. Ini berdasar catatan Polri selama tahun 2018-2020.
Dari sisi manapun tidak nampak adanya indikasi manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Jika jargon “Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi” konsisten diambil sebagaimana sempat disampaikan pejabat negara di berbagai media, alasan di atas sudah lebih daripada cukup untuk mengategorikan miras sebagai musuh negara. Namun realita hukum yang diterapkan ternyata tidak seindah ucapan kata.
Dicabutnya lampiran III pun tidak berdampak apa-apa, karena UU nomor 74 tahun 2013 yang mengatur tentang produksi dan distribusi miras dalam investasi tertutup masih diberlakukan.
Pemerintah hampir selalu mengeluhkan defisitnya negara sebagai problem utama, maka dari itu investasi di segala bidang seolah menjadi solusi satu-satunya. Padahal permasalahannya justru dimulai dari paradigma itu. Dimana Omnibus Law sebagai induk dari hadirnya Perpres No. 10/2021 hanya mungkin dilahirkan oleh suatu negara yang berasaskan kepada ideologi kapitalisme.
Kapitalisme meniscayakan pola pikir materialis, individualis yang berakar pada paham sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Orientasi materi dan kebebasan pribadi lah yang jadi patokan. Termasuk ketika menempatkan minuman keras sebagai komoditas yang menjanjikan keuntungan, maka sah-sah saja diedarkan.
Padahal khamr telah dilaknat Allah dan Rasul-Nya bahkan mendapat gelar sebagai ummul khabaits (induk dari segala kejahatan). Namun di sistem sekuler ini, pemerintah tidak akan gentar untuk tetap mengupayakan pelebaran investasi, meski jelas-jelas diharamkan. Inilah ciri pokok negara sekuler, agama hanya ditempatkan di ranah privat dan dijauhkan dari kepengaturan publik.
Pada hakikatnya, manusia sampai kapanpun tidak akan mampu menelurkan suatu aturan yang akan memberi kemashlahatan tanpa bimbingan dari wahyu Sang Pencipta. Konsep halal dan haram yang diajarkan melalui perantaraan Rasul-Nya yang mulia seharusnya mampu mendorong para penguasa yang juga seorang muslim untuk lebih concern terhadap titah Tuhannya. Islam sesungguhnya hadir sebagai solusi pencegahan dan pengobatan bagi dunia yang sakit.
Jika yang dikeluhkan oleh negara adalah pemasukan yang defisit, solusi dari sistem ekonomi Islam adalah menempatkan kepemilikan menjadi tiga bagian (kepemilikan umum, negara dan pribadi). Dalam pos kepemilikan umum, yakni sumber daya alam yang melimpah akan dimanfaatkan menjadi pemasukan utama dengan cara dikelola secara mandiri oleh negara. Pemasukan lain pun bisa didapat dari pos harta jizyah, kharaj, fa’i, ghanimah, sedekah dan lain-lain. Pengelolaan berbasis baitul maal dalam sistem Islam selama ratusan tahun telah terbukti mampu memenuhi kebutuhan rakyat.
Tidakkah kita rindu dengan kehidupan dalam Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, seperti yang dicontohkan Rasul Saw. dan khulafaur rasyidin?