Oleh. Baiq Jatna Atmawati
#MuslimahTimes — BPJS Surplus Rp 18,7 triliun di tahun 2020. Berbagai pihak berpendapat mengapa BPSJ bisa surplus, padahal di tahun sebelumnya dinyatakan defisit. Sehingga berimbas pada naiknya iuran peserta. Menurut Muhammad Faozi Kurniawan, peneliti di Pusat Kebijakan dan Managemen Kesehatan (PKMK) UGM, Mengatakan bahwa kenaikan iuran ini memberikan dampak yang signifikan terhadap pendapatan iuran. Selain kenaikan iuran, surplus BPJS kesehatan disebabkan oleh penurunan biaya manfaat atau utilisasi. Hal ini disebbabkan karena selama pandemi covid-19 membuat banyak peserta BPJS yang menunda kunjungan ke RS. Hal ini sangat berbeda dengan situasi sepanjang 2014 sampai 2020, dimana tingkat kunjungan ke fasilitas kesehatan selalu mengalami kenaikan. (kumparan.com, 18/02/21)
Kepala Bidang Program Analisis Kebijakan Pusat Sektor Keuangan BKF Kemenkeu, Ronald Yusuf Ketika BPJS kesehatan menaikan iuran baik pada tahun 2019 maupun 2020 sudah diprediki bahwa akhir tahun 2020 BPJS kesehatan akan mengalami surplus kas. Namun surplusnya menjadi lebih tinggi disebabkan karena masyarakat menjadi sangat berhati-hati untuk datang ke fasilitas kesehatan, ungkapnya (kumparan.com, 18/02/21).
Oleh karena itu, DPR kemudian meminta peninjauan ulang kenaikan tarif BPJS kesehatan. Anggota komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyatakan kondisi surplus pada tahun anggaran 2020 Rp 18,7 Triliun yang dialami BPJS Kesehatan, seharusnya hal tersebut bisa membuat ada peninjauan kembali tarif. Politikus PKS ini menyatakan dengan adanya surplus ini, sudah selayaknya iuran BPJS khususnya kelas 3 dikembalikan seperti semula yaitu Rp. 25.500. Ia menyatakan semestinya akhir masa jabatan direksi BPJS bisa memberikan kado yang indah untuk peserta BPJS.
Persoalan Kesehatan, Membutuhkan Perombakan Sistem Pelayanan Kesehatan
Adanya keinginan untuk menurunkan iuran BPJS kesehatan, sesungguhnya bukanlah solusi. Sebab persoalan kesehatan yang terjadi di negeri ini, berasal dari persoalan sistemik. Sehingga haruslah diselesaikan dengan merobak sistem kesehatan yang ada. BPJS kesehatan adalah sistem pembiayaan kesehatan yang lahir dari sistem Kapitalisme-sekuler. Prinsip sistem kesehatannya mengacu pada sistem kesehatan liberal. Dimana Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, maupun dalam hal pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain. Rakyatlah yang harus menanggung sendiri pembiayaan kesehatannya.
Dengan demikian negara abai dari tanggung jawab nya. Padahal Allah SWT mewajibkan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat termasuk dalam hal kesehatan. Memberikan jaminan kesehatan gratis dan berkualitas adalah tanggung jawab penuh negara. Negara mempunyai peran sentral dalam segala urusan rakyatnya, termasuk urusan kesehatan. Pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada seluruh warga negara tanpa memandang status sosial masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW riwayat Muslim, beliau SAW ketika Ubay bin Ka’ab sedang sakit. Maka Beliau mengirimkan dokter kepadanya, tanpa dipungut biaya. Begitu pula ketika ada serombongan orang dari kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit. Rasulullah SAW selaku kepala negara meminta mereka tinggal di pengembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Maal, mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai mereka sembuh. Ini menunjukan bahwa negara wajib menyediakan layanan kesehatan secara gratis kepada seluruh warga negara.Â
Hal ini terus dilakukan oleh para Khalifah setelahnya, baik Khulafaur Rasyidin sampai pada Bani Ustmaniyah. Al-Walid Ibnu Al-Malik, Khalifah pada masa Umayyah, membangun rumah sakit pertama di Damaskus pada tahun 707 M. Dilengkapi dengan staf dokter dan apotek yang cukup lengkap, rumah sakit ini merawat orang buta, cacat dan kusta. Ada apotik dan klinik berjalan untuk perawatan medis bagi orang-orang cacat dan mereka yang tinggal di desa-desa. Khalifah, Al-Muqtadir Billah, memerintahkan bahwa setiap unit apotik dan klinik berjalan harus mengunjungi setiap desa dan tetap di sana selama beberapa hari sebelum pindah ke desa berikutnya.
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa dalam Islam pelayanan kesehatan tidak dikomersialkan bahkan tidak terikat dengan swasta baik dari segi pelayanan maupun pembiayaan. Khilafah harus mandiri dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Bahkan seluruh lapiran masyarakat baik pejabat maupun rakyat, kaya atupun miskin, muslim atau non-muslim selama ia warga negara daulah wajib diberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas layanan yang sama dan tentunya gratis. Tidak sebagaimana saat ini, pelayanan kesehatan diberikan sesuai kemampuan masyarakat, bisa kelas 1, 2, 3 atau VIP, bahkan obat pun ada yang generik dan paten. Ini menunjukan adanya pembagian layanan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
Selain merupakan bentuk abainya negara terhadap rakyatnya, BPJS kesehatan adalah asuransi yang memiliki sistem yang batil yang bertentangan dengan syari’at seperti aqad asuransi yang bathil, denda maupun sanksi. Sehingga harus diganti total dengan sistem kesehatan yang shahih yang bersumber dari hukum syara’.
Pengelolaan Sistem Kesehatan dan Pembiayaannya dalam Daulah Khilafah
Pembiayaan kesehatan dalam Islam adalah berkelanjutan dimana pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai salah satu post pengeluaran di Baitul Maal dan pengeluaran ini bersifat mutlak dan terus menerus. Adapun sumber keuangan Baitul Maal adalah dari 3 post yaitu (1) sektor kepemilikan individu seperti sedekah, hibah, zakat dsb, (2). sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batu bara, kehutanan yang semuanya dikelola negara dan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. (3). Sektor kepemilikan negara seperti kharaj dan fa’i. Pembiayaan kesehatan bagi seluruh rakyat diambil dari Baitul-Maal. Yang bisa diambil di luar pos sedekah (zakat). Sebab zakat telah jelas peruntukannya hanya bagi 8 asnaf.
Jika dana yang tersedia di Baitul-Maal tidak mencukupi maka pajak kekayaan akan dikenakan pada umat Islam untuk memenuhi defisit anggaran. Oleh karena itu, negara diperbolehkan mengambil pajak atau mengambil pinjaman tanpa riba. Pajak akan diambil dari laki-laki, muslim yang sudah baligh dan telah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Negara tidak berwenang merampas (mengkomersilkan) hak publik tersebut, sekalipun ia orang yang mampu membayar pelayanan kesehatan. Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara. Begitulah pandangan Islam berkaitan dengan pelayanan dan pembiyaan kesehatan. Sehingga para penguasa negeri-negeri kaum muslimin, wajib untuk terikat dengan syari’at Islam.