Oleh. Hany Handayani, S.P. (Muslimah Peduli Umat)
Muslimahtimes.com – Dilansir dari inews. id.com, Menteri pertahanan dan keamanan, Prabowo Subianto didampingi Gubernur Kalimantan Tengah, H. Sugianto Sabran melakukan kunjungan kerja. Kunjungan ini bertujuan untuk meninjau lokasi pengembangan Food Estate komoditi singkong yang berada di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas.
Menurut penuturannya, Food Estate merupakan keputusan yang dilakukan oleh presiden Jokowi untuk mengatasi semua kemungkinan yang akan dihadapi bangsa Indonesia terkait krisis pangan dunia sebagai akibat dari pandemi yang terjadi saat ini. Demi terciptanya kemandirian pangan dan tak bergantung pada negara lain.
Komoditi yang dipilih sebagai prioritas proyek Food Estate adalah singkong sebagai makanan pokok pengganti nasi atau komoditi beras. Alasannya karena singkong bisa menghasilkan sekian banyak turunan salah satunya mie, tapioka dan mocaf. Hal ini juga berfungsi untuk melakukan peralihan sumber makanan pokok masyarakat Indonesia agar tidak ketergantungan dengan satu komoditi saja.
Namun kebijakan pemerintah mengenai Food Estate ini tak sedikit menuai kritik. Beragam masukan dan saran datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, penunjukan Prabowo tangani Food Estate singkong bersifat politis. Motivasi sebenarnya mungkin hanya Pak Jokowi yang mengetahui, paparnya.
Hal yang sama pun diutarakan oleh Muliadi, Direktur Yayasan Petak Danum mengatakan penunjukan Kementerian Pertahanan menjadi leading sector proyek Food Estate di luar dugaan. Proyek ketahanan pangan seharusnya oleh kementerian atau badan yang relevan seperti Kementerian Pertanian, Bulog, dan Badan Ketahanan Pangan serta lembaga atau badan terkait lain.
Senada dengan penuturan Muliadi, Nikodemus Ale, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat khawatir, kalau Kemenhan tangani Food Estate ada tekanan-tekanan baru di tingkat masyarakat ketika mereka tak menginginkan lahan mereka untuk pengembangan lumbung pangan.
Safrudin Mahendra, Direktur Perkumpulan Save Our Borneo justru cemas kalau akan ada pembukaan kawasan-kawasan baru yang rawan kerusakan lingkungan dan konflik. Seperti tak belajar dari masa lalu, yakni gagalnya proyek satu juta hektar yang dicanangkan pada masa orde baru karena salah sasaran.
Begitu pula dengan Walhi Kalteng pun menilai, belum ada keterdesakan pembangunan Food Estate di Kalteng. Narasi yang dibangun pemerintah hanya mengenai ketahanan pangan berbasis proyek tanpa memerhatikan kondisi para peladang yang ada. Dilansir dari situs berita online mongabay.co.id
.
Dari pertimbangan di atas sepertinya pemerintah harus mengkaji ulang kembali terkait keputusan mengenai food estate ini. Bukan hanya ditinjau dari sisi politis, nyatanya para aktivis Walhi dan tokoh yang lain pun menilai Food Estate ini penuh dengan kontroversi.
Banyak yang perlu dianalisis lebih dalam lagi. Baik dari jenis komoditi yang dipilih maupun lahan dan juga arah kebijakan Food Estate tersebut mau dibawa kemana. Jika memang tujuannya adalah guna menghasilkan kemandirian pangan, sepertinya kurang tepat jika memilih komoditi singkong. Lantaran sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan komoditas beras guna memenuhi kebutuhan pokok mereka. Bahkan anekdot “belum dikatakan makan jika belum makan nasi” ini bukan sekadar candaan melainkan fakta di tengah masyarakat.
Jika memang alasannya mau mengalihkan makanan pokok agar tidak ketergantungan, bukankah sebaiknya ada semacam pemaparan komprehensif dari pemerintah mengenai kebijakan pengalihan pangan ini agar masyarakat bisa terbuka dan mau membiasakan diri mengubah pola makanan pokok mereka terlebih dahulu.
Jangan sampai ke depan justru timbul kasus berulang, yakni panen singkong meningkat sedangkan yang dicari oleh masyarakat tetap beras yang jumlahnya kian menipis akibat lebih memprioritaskan singkong. Bukankah ini tidak tepat sasaran akhirnya? Pihak yang dirugikan kelak bukan hanya petani namun juga masyarakat luas yang tak bisa memenuhi kebutuhan mereka. Maka tak heran jika impor beras akan terus terjadi.
Kemandirian pangan adalah isu strategis bagi kemandirian bangsa. Jika bangsanya belum mandiri dalam memenuhi pangan maka akan dengan mudah disetir oleh bangsa lain. Sebab masalah perut merupakan hal pokok yang termasuk hajatul udowiyah yang harus dipenuhi tanpa bisa dialihkan.
Maka negara wajib membuat kebijakan demi terwujudnya kedaulatan dan ketahanan pangan, yakni mulai dari menganalisis kebutuhan masyarakat secara tepat. Hingga memenuhi kebutuhan tersebut dengan beragam solusi.
Jangan sampai proyek Food Estate berdana besar ini rentan didomplengi kepentingan segelintir investor tanpa bisa mencapai target kedaulatan pangan yang memang menjadi tujuan utama digelontorkannya kebijakan tersebut. Sebagaimana tudingan salah satu tokoh yang sudah dijabarkan di awal tadi.
.
Wallahu’alam bishowab.