Oleh: Rani binti Sulaeman
MuslimahTimes.com – Jika ditanya, apakah ada yang ingin memilih hidup dalam kepedihan yang menyakitkan hati? Tentu tak ada satupun yang menjawab iya. Bahagia, itulah kehidupan ideal yang didambakan semua penghuni dunia.
Bahagia mungkin sederhana, hanya dengan melihat keindahan, hanya dengan mendengar kata dan nada sesuai yang dengan suasana hati, hanya dengan merasakan kelembutan sentuhan, hanya dengan menikmati sajian hidangan yang dirindukan, meski tak mewah. Sederhana.
Namun terkadang, bahagia itu tak lama. Penghancur kebahagiaan akan datang tiba-tiba tanpa pernah kita mengundangnya. Entah itu noda kotor yang merusak indahnya pemandangan, entah itu ejekan dan suara sumbang yang memekakkan telinga, entah itu kerikil dan duri yang merusak kelembutan, ataupun sekedar pengganggu ketika tengah menikmati hidangan lezat yang tersajikan. Semua sangat mungkin dan teramat sangat memungkinkan terjadi.
Sudah menjadi fitrah kehidupan bahwa perusak bahagia bernama kepedihan akan hadir menyapa.
Seperti yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 186: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan”
Allah hadirkan kepedihan, bukan untuk menyengsarakan, bukan untuk merendahkan. Allah hadirkan semua cobaan hanya untuk menguji siapa yang terbaik diantara manusia dalam amalannya.
Seperti itu yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an surat 67 ayat kedua. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Lalu seperti apakah amal terbaik itu? Amal yang terbaik mempunyai dua sisi yang saling menyempurnakan. Baik dari aspek persyaratan maupun dari aspek pemilihan.
Dari aspek persyaratan, sisi pertama amal terbaik adalah niat yang tulus murni. Amal yang dipersembahkan dan ditujukan hanya untuk Allah. Amal yang ikhlas. Hanya nama Allah yang teringat saat pertama sebelum amal itu diperbuat. Hanya ridho Allah yang dituju saat proses amal tersebut dijalankan. Riuhnya pujian tak memalingkan tujuan. Tak membuat bangga hati dan bangga diri, karena sadar bahwa hanya karena kasih sayang Allah saja amal itu bisa terlaksana. Begitu juga gaduhnya celaan yang memekakkan telinga merobek hati, tak akan menyurutkan langkah ke titik nol untuk membatalkan semua yang ingin dipersembahkan.
Ikhlas adalah energi yang menghapus semua riuh dan gaduh, yang membawa amal terwujud dalam kenyataan yang indah. Inilah satu sisi mata amal, dari apsek persayaratan diterimanya sebuah amal.
Ada banyak kiasan yang dirangkai untuk melukis makna kata ikhlas. Ada banyak cerita yang mengisahkan bagaimana sejatinya amal yang ikhlas. Namun semua bermuara pada makna bahwa ikhlas adalah fokus. Fokus mempersembahkan amal untuk Allah yang Maha Besar. Sekecil apapun sebuah amal, jika ikhlas menjadi energinya, efeknya akan sangat besar bagi kehidupan, baik untuk individu yang bersangkutan, maupun untuk lingkungan di sekitarnya.
Sisi kedua dari prasyarat amal terbaik adalah bahwa amal itu sesuai dengan yang Allah isyaratkan. Isyarat yang tergambar dari bagaimana kekasih Allah ; Nabi Muhammad saw mengabarkannya atau mencontohkannya.
Bercerminlah pada baginda Nabi Muhammad Saw. Perhatikan bahwa amal yang kita lakukan sesuai dengan petunjuknya. Mencontohlah padanya, juga pada orang-orang selalu meniti jalan surga yang telah dibukakannya.
Ketahuilah bahwa amal terbaik adalah amal yang dibenarkan dan dipuji oleh syariat. Hanya amalan-amalan yang sesuai dengan rambu syari’at sajalah yang sah dan diterima Allah.
Jika amalan sesuai syari’at ini berenergikan ikhlas, maka amalan inilah yang akan naik, terpilih mendapatkan rida-Nya. Sementara amal yang tak bersesuian dengan syariat, hanya neraka yang layak menjadi tempat kembalinya.
Setelah kedua sisi prasyarat yaitu niat yang ikhlas dan kesesuaian dengan syariat, perhatikan dua sisi berikutnya, yaitu sisi pemilihan, mana untuk diri, dan mana untuk sesama.
Sering Allah meminta kita untuk berbuat baik kepada sesama, salah satunya termaktub dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 195 “dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Juga dalam Al-Qur’an, surat al Qoshas ayat 77 : “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah Berbuat baik kepadamu.”
Ayat-ayat ini menjadi pegangan, menjadi energi bagi kita untuk terus berbuat baik seperti halnya Allah tidak pernah berhenti berbuat baik kepada seluruh hambaNya.
Di sisi lain, Allah meminta kita untuk membalas kebaikan yang diterimanya. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat Annisa ayat 86 “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”
Juga dalam surat Arrahman ayat 60 “Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan”
Atau bahkan untuk sebuah kejahatan pun, cara menolaknya adalah membalasnya dengan kebaikan, seperti Allah firmankan dalam Al-Qur’an surat Fussilat ayat 34 : “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
Tak sedikit pula hadits yang mengajarkan bagaimana cara membalas kebaikan yang kita terima, seperti dalam hadits yangdiriwayatkan oleh Tirmizi “Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan) yang tidak dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai pakaian kepalsuan.”
Ada dua sisi perintah. Perintah untuk berbuat baik, dan perintah untuk membalas kebaikan.
Maka perhatikanlah dua sisi ini. Ada yang harus kita pilih. Mana pilihan untuk kita, dan mana pilihan untuk sesama.
Pilihan untuk terus berbuat baik dan membalas semua kebaikan yang diterima, adalah untuk kita.
Namun, karena keikhlasan menjadi dasar amal baik kita, maka biarlah balasan itu datang dari Allah semata, jangan pernah mengharap balasan dari manusia. Tidak perlu menyampaikan ayat tentang membalas kebaikan agar manusia membalas semua kebaikan yang kita lakukan. Biarkan kita yang berbuat kebaikan. Ikhlaskan jika balasan kebaikan tak datang darinya. Cermatlah dalam memilih mana untuk kita, dan mana untuk sesama.
Pun ketika berbicara, pilihlah perkataan yang baik dan sampaikan dengan muka yang berseri, seperti jika yang dicontohkan baginda Nabi Muhammad saw. Adapun jika mendengar kata yang menyakitkan hati, maka bersabar dan memaafkan adalah pilihan. Itulah keutamaan dalam beramal.
Kita memang diperintahkan untuk saling menasehati dalam kebaikan. Namun tak semua orang memilih untuk menerima nasehat baik. Tak semua orang mendapatkan taufiq dan hidayah Allah. Ada orang yang Allah hadirkan dalam kehidupan untuk menjadi ujian sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an fsurat Al Furqon ayat 20 “Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat.”
Ujian itu, entah berupa sikap yang menyakitkan, kata yang menghancurkan harapan, ataupun apa saja yang menusuk hati dan memeras air mata. Namun, sungguh, bagi seorang muslim hidup ini indah dan penuh keindahan seperti yang disabdakan baginda nabi Saw “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)
Kepedihan yang menyakitkan akan selalu ada selama Allah ijinkan bumi ini berputar. Namun Allah ingin hambaNya tetap hidup dalam kebahagiaan dan keindahan. Itulah mengapa Allah berikan tuntunan untuk melakukan amalan terbaik dalam kehidupan agar hanya kebaikan dan kebahagiaan yang dirasakan. Sungguh Allah yang maha Pengasih dan Maha Penyayang, selalu mencintai hambaNya. Bukankah kita ingin menjadi kecintaan-Nya?