Oleh Lulu Nugroho
(Pengemban dakwah dari Cirebon)
#MuslimahTimes — Uni Eropa menjalankan pasar emisi karbon, yang memungkinkan perusahaan membeli dan menjual hak untuk mencemari. Hak melepaskan 1 metrik karbon ke atmosfer udara dihargai sebesar €13 atau $18.
(Michael J Sandel dalam buku What Money can’t Buy)
______________________________________________
Visi umat untuk bergerak, menyampaikan dan menerapkan Islam, sangat jelas tergambar pada Ar-rum ayat 41. Di sana terdapat petunjuk yang demikian sebab akan terjadi kerusakan oleh tangan-tangan manusia, yang bermaksiat dan berbuat kemungkaran pada Allah.
Sebagaimana yang baru saja terjadi tatkala Presiden Joko Widodo memutuskan menghapus limbah batu bara dari kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Republika.co.id, 15/3/2021)
Masyarakat yang peduli terhadap lingkungan hidup, sontak menolak dikeluarkannya PP tersebut, karena limbah debu batubara (fly ash and botton ash atau FABA) yang semula dikategorikan B3 berubah menjadi non-B3. Hal ini mengakibatkan risiko yang diterima masyarakat, semakin besar, sebab tidak ada lagi proses uji kandungan.
Keputusan ini tentu menyakiti masyarakat. Pada gilirannya kesehatan paru-paru dan saluran napas masyarakat sekitar PLTU seperti di Ombilin, Teluk Sepang-Bengkulu, Suralaya-Banten, di Palu dan Kutai kartanegara bahkan di berbagai wilayah lain, menjadi taruhannya. Tidak hanya itu, sifatnya yang karsinogenikakan menyerang kelompok rentan, yakni perempuan dan anak-anak.
Maka dari sini tampak tidak ada sedikitpun keuntungan yang akan diterima masyarakat. Apalagi aturan ini adalah salah satu turunan dari UU Omnibus Law yang dahulu ramai massa menolak keberadaannya. UU tidak hanya menghasilkan kerusakan pada manusia, namun ekosistem perairan pun terkena dampak dari 82% Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berada di pesisir pantai.
Jika di masa lalu saja banyak industri PLTU batubara ugal-ugalan mengurusi limbah, apalagi sekarang setelah disahkannya aturan yang baru. Bisa jadi lenyap tanggung jawab tanggap darurat akibat hilangnya jerat ancaman pidana. Inilah yang akan terjadi, manakala lobi pengusaha berhasil merusak logika penguasa, lempang jalan perusahaan swasta menguasai sumber daya alam (SDA).
Sejak 2018 sejumlah koalisi elit politik dan oligarki, telah terjadi dalam pusaran batu bara. Elit daerah juga bekerja sama dalam lingkaran korupsi. Ditambah lagi, lemahnya penegakan hukum menyebabkan bisnis batu bara menjadi bancakan para korporat. Persekongkolan pengusaha dan penguasa menjadi-jadi, demi keuntungan pencari rente atau oligarki.
Muara dari semua ini adalah kesalahan format bernegara yaitu demokrasi. Ada celah ketika hak membuat legislasi ada pada manusia, maka semua orang yang merapat pada kekuasaan, akan mendominasi dan mendapat keuntungan. Sebaik apapun manusia ketika dia membuat aturan, dipastikan masuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Wajah rakus manusia ada di seluruh negeri. Gambaran ini dipaparkan secara rinci oleh Michael J Sandel dalam bukunya ‘What Money can’t Buy’ yaitu ketika Uni Eropa menjalankan pasar emisi karbon. Di sini perusahaan membeli dan menjual hak untuk mencemari dengan melepaskan 1 metrik karbon ke atmosfer udara, yang dihargai sebesar €13 atau $18.
Pengaturan dalam Islam.
Pada sistem ekonomi Islam, seluruh sumber daya alam terutama dalam deposit melimpah menjadi milkiyah amah, harta milik umum. Negara tidak memiliki hak untuk memberikannya pada swasta. Sebagaimana Rasulullah saw dahulu pernah menarik kembali tambang garam, dari Abyadh bin Hamal.
Hasil pengelolaan harta milik umum didistribusikan pada masyarakat dalam bentuk layanan pendidikan atau kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Atau bisa juga memberikan zat hasil tambang itu sendiri, yaitu berupa energi yang mudah dan murah.
Dalam Islam, supremasi hukum ada di tangan syariat. Kedaulatan pada Asy syari’,sehingga yang berhak menetapkan hukum adalah Allah. Maka manusia tidak bisa lagi menyusupkan kepentingannya dan memanipulasi aturan Allah, sebab narasi Allah berasal dari dalil nash. Keimanan dan keterikatan pada semua aturan Allah menjadi asasnya.
Maka wajar saja, jika kini banyak ditemui manusia yang melakukan kerusakan akibat semakin jauh ia meninggalkan syariat, termasuk pada pengelolaan SDA. Ketika eksploitasi batu bara dan seluruh potensinya dilakukan secara besar-besaran tanpa menghiraukan kaidah syara, maka petaka mengenai masyarakat luas. Tidak hanya limbahnya, ketiadaan reklamasi tambang pun mengancam nyawa anak-anak.
Dalam Islam laa dharara wa laa dhirara, tidak boleh membahayakan dan mengundang bahaya. Islam menghilangkan segala bentuk bahaya dan yang akan mengantarkan pada bahaya, termasuk perkara tambang. Seluruh yang berbahaya dari hulu yaitu kebijakan, hingga hilir pada aspek penerapan, harus dihilangkan.
Oleh sebab itu, kebijakan yang dikeluarkan pun harus diperbaiki, seperti yang dilakukan Rasulullah saw, bukan malah menguatkan aturan yang keliru. Dalam Islam, masyarakat adalah obyek kebijakan. Aturan Allah menjamin perlindungan nyawa manusia. Sumber daya alam dikelola dengan baik tanpa merusak lingkungan, kemudian didistribusikan secara adil.
Jika seluruh tambang yang ada di bumi pertiwi dikelola negara dengan menggunakan sistem ekonomi Islam, maka akan besar pemasukan bagi negara. Pada ujungnya, masyarakat sejahtera sebab mendapat manfaat dari seluruh pengaturan yang berlandaskan pada iman.
Para ulama melakukan istinbath, barang tambang yang keberadaanya kal-mâ‘u al-‘iddu, seperti air yang mengalir, tidak boleh dimiliki oleh inidvidu atau swasta. Maka statusnya adalah milik rakyat, sebagaimana berserikatnya manusia pada 3 hal yaitu air, hutan dan api. Negara tidak boleh menguasainya, apalagi memberikannya ke swasta, kemudian berbuat semena-mena hingga merugikan masyarakat.
Namun berbeda pada saat ini, negara tidak lagi memiliki prinsip melayani rakyat. Potret pengelolaan sumber daya alam pada sistem ekonomi kapitalis mengakibatkan kekayaan hanya berputar pada segelintir orang. Keuntungan luar biasa bagi elit politik, sama sekali tidak menyentuh rakyat, tidak mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat dan kebaikan bagi lingkungan.
Karenanya masyarakat harus terus mengawasi kinerja pemerintah, serta memasifkan edukasi publik melalui dakwah berjamaah untuk menegakkan syariat. Demi menjaga keberlangsungan hidup manusia dan menjaga alam sesuai prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin. Allahuma ahyanaa bil islam.