Oleh: Ragil Rahayu, SE
Muslimahtimes– Childfree kini menjadi pilihan gaya hidup sebagian pasangan milenial. Hidup berdua dengan pasangan, tanpa adanya anak dianggap sebagai pilihan yang realistis di tengah kehidupan ekonomi yang makin sulit.
Tanpa anak, para pasangan muda ini merasa lebih bahagia, karena secara finansial tidak harus mengeluarkan biaya untuk mengurus dan membesarkan anak. Pemasukan bisa dialokasikan untuk mewujudkan kebahagiaan diri sendiri, karena inilah hal terpenting menurut mereka.
Kondisi ekonomi yang kian hari makin sulit membuat pasangan milenial harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan berdua. Jika ditambah dengan kebutuhan anak seperti popok, susu, baju, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain tentu makin besar lagi biaya yang dikeluarkan.
Hal ini memunculkan pandangan untuk tidak memiliki anak, sehingga pasangan suami istri bisa fokus pada memenuhi kebutuhan berdua saja. Childfree dianggap sebagai pilihan yang membahagiakan karena terbebas dari tekanan finansial untuk pengasuhan.
Selain faktor keuangan, fakta pengasuhan anak yang terjadi di masyarakat menjadi pendorong seseorang memilih tidak memiliki anak. Misalnya, ibu yang stress karena mengurus banyak anak yang masih kecil-kecil, anak yang tidak bahagia karena orang tuanya kerap bertengkar, orang tua yang menuntut balasan materi dari sang anak, dan lain-lain.
Pasangan childfree memang bukan mayoritas di masyarakat kita. Kebanyakan orang Indonesia masih memilih punya momongan.
Namun masyarakat memandang childfree adalah sebuah pilihan yang sah-sah saja dilakukan. Ibarat selera, ada orang suka warna hijau, ada yang suka warna merah, kuning, dan lain-lain. Sehingga mau punya anak atau tidak, dianggap sah-sah saja, toh itu pilihan. Benarkah demikian?
Makna Kebahagiaan
Bagi seorang muslim, anak bukanlah hitung-hitungan finansial dan jaminan “kebahagiaan” secara material. Kebahagiaan seorang muslim adalah teraihnya rida Allah Swt. Sumber kebahagiaan adalah ketaatan pada Sang Pencipta.
Maka keputusan punya anak atau tidak, disandarkan pada pertimbangan rida Allah Swt. Bukan pertimbangan akal manusia atau pun hawa nafsunya.
Kasih sayang pada anak merupakan hal yang fitrah pada manusia. Allah Swt. menciptakan manusia dibekali dengan gharizah nau’ atau naluri melestarikan jenis manusia.
Wujud dari gharizah nau’ adalah rasa kasih sayang pada pasangan halal dan anak-anak. Sehingga manusia pun berketurunan dan tercegah dari kepunahan. Pasangan suami istri akan makin lengkap kebahagiaannya dengan hadirnya sang buah hati. Melihat anak tumbuh besar dan menjadi anak saleh sungguh merupakan kebahagiaan bagi orang tua.
Allah Swt. berfirman,
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (An Nahl: 72)
Rasulullah Saw. bahkan memerintahkan umat Islam untuk memiliki banyak keturunan. Tentu saja tetap dengan memperhatikan kualitas generasi.
Nabi bersabda, “Nikahilah wanita-wanita yang kalian cintai dan (wanita-wanita tersebut) berpotensi untuk memiliki banyak anak. Karena sesungguhnya aku (akan merasa bahagia) karena banyaknya umatku dibandingkan umat-umat lainnya.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa’i, Imam Baihaqi, dan Imam at-Thabarani)
Maka memiliki anak bagi seorang muslim bukan atas pertimbangan untung rugi, melainkan karena Allah Swt. memerintahkannya. Kecuali jika tidak adanya anak karena ada uzur, misalnya gangguan kesehatan reproduksi, maka itu adalah qadha (ketetapan) dari Allah Swt. yang harus dijalani dengan sabar dan ikhlas.
Mengasuh anak tentu butuh biaya, apalagi di bawah sistem kapitalisme saat ini yang serba mahal. Namun, Allah Swt. telah menjamin rezeki setiap anak. Jangankan manusia, rezeki hewan yang melata saja dijamin oleh Allah Sang Maha Pemberi Rezeki. Tugas orang tua (ayah) adalah bekerja mencari nafkah dengan cara yang halal.
Allah Swt. berfirman,
وَمَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا وَ يَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاؕ كُلٌّ فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡنٍ
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Hud: 6.)
Rezeki bukanlah semata gaji, bonus, THR, laba usaha, dan yang sejenisnya. Allah Swt. akan mencukupi rezeki bagi hamba-Nya selama hidup di dunia melalui jalan yang tak disangka-sangka. Allah Swt. berfirman,
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath Thalaq:3)
Harta yang dikeluarkan orang tua demi mengasuh dan membesarkan anak tidak dipandang sebagai beban. Mengapa? Karena yakin bahwa memang ada hak anak dalam harta orang tua, yaitu hak nafkah. Orang tua wajib memenuhinya, semata demi mengharap rida Allah Swt.
Bahkan melalui pendidikan agama yang diberikan orang tua ke anaknya, bisa menjadi ilmu yang bermanfaat. Hal ini merupakan suatu investasi akhirat bagi orang tua, karena pahalanya akan terus mengalir pada orang tua, meski mereka sudah menghadap Sang Khaliq. Selain itu, doa anak yang saleh juga akan menjadi amal yang terus mengalir pahalanya ketika orang tua sudah wafat.
//Bonus Demografi//
Demikianlah keutamaan memiliki anak. Setiap muslim akan terdorong untuk memiliki keturunan yang saleh, sebagai wujud ketakwaan, sekaligus upaya meraih rida Allah Swt. Sedangkan bagi pasangan yang Allah Swt. takdirkan tidak memiliki keturunan, masih terbuka pintu amal saleh lainnya untuk meraih rida Allah Swt. seperti ibadah mahdhah, berakhlak karimah, sedekah, amar makruf nahi mungkar, dan lain-lain.
Banyaknya generasi muda muslim bahkan memunculkan bonus demografi, yaitu banyaknya penduduk usia produktif. Hal ini akan menjadi berkah jika generasi muda Islam mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berbasis akidah Islam.
Sebagaimana dulu di masa Khilafah, umat Islam menjadi mercusuar peradaban. Warga negara lain datang ke negeri-negeri muslim untuk belajar ilmu pengetahuan. Ini adalah hasil penerapan sistem Islam secara kafah, termasuk dalam aspek pendidikan.
Ya, pendidikan bagi generasi memang bukan semata tanggung jawab orang tua, sehingga harus merogoh kocek dalam-dalam. Pendidikan juga merupakan tanggung jawab negara. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan gratis berkualitas bagi rakyat.
Tak hanya pendidikan, aspek kesehatan pun menjadi tanggung jawab penguasa. Negara juga harus mengelola sumber daya alam yang termasuk milik umum seperti tambang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Rakyat tidak akan terbebani secara ekonomi sehingga muncul kekhawatiran memiliki anak.
Kaum muslim bahkan akan terdorong untuk memperbanyak generasi saleh berkualitas, sehingga memberikan sumbangsih bagi peradaban Islam. Tengoklah Banu Musa Bersaudara yang ketiganya menjadi ilmuwan hebat di masanya. Tak hanya mereka, sejarah peradaban Islam dihiasi dengan banyak sekali ulama dan ilmuwan yang kapasitas keilmuannya level dunia.
Inilah profil generasi Islam. Jika umat Islam enggan memiliki anak, berkah demografi ini tak akan kita nikmati. Yang ada justru ancaman kepunahan umat Islam sebagaimana yang sudah dialami bangsa Barat saat ini. InsyaAllah masa depan ada di tangan umat Islam. Aamiin. []