Oleh. Kholda Najiyah(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com – Seorang bocah berumur 12 tahun, AC, nyaris menjadi korban nafsu laki-laki hidung belang. Rabu (7/4) itu, ia menunggu pelanggan pertamanya di sebuah kamar apartemen di Jakarta sejak sore. Ini setelah gambar-gambar dirinya ditawarkan secara online melalui aplikasi Michat oleh seorang mucikari berinisial DF (27). Ada tiga pelanggan yang tertarik ingin “mencicipi” AC yang dipalsukan berusa 16 tahun itu. Namun, polisi menggagalkan transaksi maksiat tersebut (Tribunjakarta).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera berseru, agar Gubernur DKI Jakarta mengawasi apartemen yang rawan menjadi tempat pelacuran. Fenomena apartemen yang bisa disewa harian layaknya kamar hotel, rawan disalahgunakan jadi tempat prostitusi. “Kami ingin mengetuk Pemda melakukan pengawasan itu,” kata Anggota KPAI bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak, Ai Maryati (Tempo).
Kasus di atas melengkapi fakta yang lebih mencengangkan sebelumnya, di mana polisi menemukan 30 kamar terisi anak-anak di bawah umur bersama pria hidung belang di Hotel Alona. Hotel ini berubah menjadi tempat prostitusi lantaran untuk menutupi biaya operasional selama pandemi. Anak-anak itu “dijual” antara Rp400 ribu hingga satu juta, juga melalui layanan Michat (Tempo).
//Prostitusi Tak Pernah Mati//
Bangunan sosial masyarakat sekuler saat ini, sulit dibersihkan dari prostitusi. Apalagi di era digital, prostitusi online kian terfasilitasi. Tak sulit menjajakan “dagangan” dan sekaligus mendapatkan pelanggan. Bahkan di era pandemi, prostitusi tak pernah mati. Padahal di tengah hidup prihatin dan ancaman penyakit mematikan, seharusnya menyadarkan manusia untuk bertobat. Ini tidak.
Ironis memang. Di saat sebagian masyarakat kesulitan ekonomi, ada laki-laki yang begitu ringannya membelanjakan harta untuk membeli kenikmatan seksual. Seolah-olah urusan selangkangan itu antara hidup dan mati. Tidakkah mereka memiliki hati nurani untuk menyalurkan hartanya lebih manusiawi?
Terlebih lagi, yang menjadi pasangan zinanya adalah anak-anak perempuan yang belum cukup umur. Apakah para pria bejat ini tidak punya anak, adik atau keponakan perempuan? Apakah tega jika hal tersebut menimpa keluarganya? Tidakkah mereka di rumah telah memiliki pasangan sah yang lebih kayak menjadi tempat memadu kasih, dibandingkan anak-anak polos yang seharusnya mereka lindungi?
Sungguh, kita tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang yang kerasukan syahwat ini. Mereka tak ubahnya telah diperbudak seks, hingga menjadikan jalan hidupnya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan syahwat. Lalu tanpa berperikemanusiaan, memangsa anak-anak sebagai pelampiasan. Uang telah membutakan mata hatinya.
Anak-anak korban prostitusi ini, mungkin tak sepenuhnya juga korban. Mereka pastinya sudah baligh dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Setidaknya, terbukanya informasi di duna digital, tak mungkin mereka demikian lugu dan polos. Tetapi mengapa masih mau dijebak dalam bisnis ini? Benarkah semata-mata korban perdagangan manusia? Atau jangan-jangan atas sukarela dan kemauan sendiri?
Kita tidak tahu apa latar belakang mereka yang sebenarnya. Tetapi sudah bisa ditebak dengan jelas, tentu karena faktor uang. Tergiur bayaran hanya dengan pekerjaan instan yang terlihat mudah. Padahal, melayani hubungan biologis laki-laki asing tanpa ada cinta, di manakah letak mudahnya? Sangat tidak mudah. Bahkan menyiksa.
Mereka tidak sadar, bayaran ratusan ribu rupiah yang mereka terima, sangat tidak sebanding dengan harga diri yang mereka serahkan. Menanggung risiko seumur hidup. Kehilangan kesucian yang tidak bisa dinilai dengan uang, bahkan dengan dunia dan seisinya. Harga diri hancur. Nama baik luntur. Nama keluarga tercoreng. Melukai hati orang tua dan orang-orang yang mencintainya. Selamanya hal itu tidak akan bisa kembali.
Belum lagi ancaman penyakit menular seksual yang bisa menyergap sewaktu-waktu. Penyakit berat yang terkadang belum ada obatnya, hingga kematian ancamannya. Itu baru risiko di dunka, belum di akhirat. Para pezina akan mendapat siksa yang tidak hanya pedih, tapi juga abadi. Na’udzubillah.
//Sistem Gagal//
Prostitusi di kalangan anak-anak adalah kejahatan yang luar biasa. Pertanda betapa buruknya peradaban yang disetir oleh ideologi sekuler kapitalisme ini. Peradaban yang tidak mampu melindungi anak-anak, sebaliknya menjerumuskan mereka. Fitrah anak-anak yang suci dan jauh dari syahwat, kini menjadi objek pelampiasan kejahatan seksual. Sungguh, mereka bukan hanya butuh dilindungi, tapi juga diselamatkan.
Prostitusi anak ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi juga sistemik. Memang, keterlibatan anak-anak dalam prostitusi bisa jadi sebagai bentuk kegagalan keluarga dalam mendidik mereka. Orang tua seharusnya tahu benar gerak-gerik anaknya. Apa saja yang harus mereka tanamkan kepada anak-anaknya agar senantiasa merasakan pengawasan Allah Swt. Tetapi, sayangnya banyak yang lalai.
Tidak sedikit anak-anak yang diasuh oleh media sosial. Artis-artis dan bad influencer menjadi panutannya. Konten di media sosial menjadi panduannya. Film dan drama secara halus telah menginstalkan ajaran tertentu. Seperti gaya hidup bebas, metarialistik, permisif hingga hedonis. Akibatnya, anak-anak terjerumus dalam khayalan tentang hidup mewah. Uang menjadi tujuan.
Fenomena ini juga menjadi indikasi kegagalan sistem pendidikan yang tidak mampu menanamkan nilai-nilai ketakwaan sesuai tujuan pendidikan nasional. Anak-anak yang bertakwa, seharusnya menjaga akhlak, merasa takut kepada Allah, menjaga pergaulan dan menjaga nama baik keluarga. Namun karena di dunia pendidikan nilai-nilai agama hanya disisipkan di antara pelajaran dan bukan basis kurikulum itu sendiri, maka tujuan takwa sekadar isapan jempol.
Padahal, pendidikan adalah pondasi paling strategis dalam membentuk pemahaman dan karakter anak-anak. Taraf berpikir yang tinggi, mencegah perilaku amoral. Pendidikan yang baik mencegah tindak asusila, karena paham dampaknya dunia dan akhirat. Tetapi pendidikan ini hanya diperoleh jika berbasis agama Islam. Sebab hanya Islamlah yang mampu mewujudkan peradaban yang terbebas dari kungkungan syahwat.
//Perlindungan Negara//
Anak-anak tidak akan mendapatkan perlindungan hakiki selama wadah peradaban yang ada masih sekuler kapitalisme. Penggerebekan prostitusi secara insidental, tidak akan mampu menghapuskan eksistensi mereka selamanya. Aksi sejenis itu hanya akan terus berulang sebagai bentuk perlindungan samar-samar saja terhadap anak-anak. Seolah-olah menyelamatkan, padahal hanya kecil sekali perannya.
Jika mau, negara harus menutup rapat-rapat semua pintu yang menyebabkan suburnya prostitusi. Pertama, tutup semua tempat hiburan malam atau lokalisasi yang rawan untuk transaksi seksual. Tidak ada ampun, tutup semua. Kedua, tutup semua sarana dan prasarana pembangkit syahwat. Blokir situs porno, hapus konten seksual, dan sebagainya. Ketiga, beri sanksi berat kepada semua yang terlibat dalam jaringan prostitusi. Hukum berat.
Demikian jika ingin memberi perlindungan total. Namun, hal itu sulit ditegakkan jika sistemnya masih sekuler. Pasalnya, sistem ini tidak memiliki sistem pencegahan maupun hukuman yang tegas atas kejahatan prostitusi. Jangankan anak-anak, prostitusi di kalangan dewasa pun sulit diberantas. Ditutup satu tumbuh seribu. Ditangkap satu, muncul lainnya.
Mengapa? Karena prostitusi adalah bagian dari sistem sekuler itu sendiri. Jeratan seksual telah menjadi urat nadi kehidupan sosial masyarakat sekuler. Hal ini berangkat dari cara pandang yang salah tentang hubungan pria dan wanita serta interaksi di antara keduanya. Ideologi sekuler berpandangan bahwa pria dan wanita diciptakan untuk meraih kebahagiaan fisik semata. Salah satunya, terpuaskannya kebutuhan seksual.
Ideologi ini tidak punya pandangan yang tegas dan jernih tentang bagaimana menjaga kehormatan laki-laki dań perempuan. Mereka tidak merinci, apa saja jenis hubungan antara laki-laki dań perempuan. Mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang, karena tidak membahas standar halal dan haram.
Masyarakat sekuler juga tidak memiliki pemahaman, bağaimana cara menjaga interaksi laki-laki dan perempuan. Mereka tidak pernah membahas, apa itu kehidupan khusus (privat) dan apa bedanya dengan kehidupan umum (publik). Mereka tidak pernah mengenal sistem pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan di dua tempat bertemu itu. Oleh karena itu mereka tidak punya sistem yang mengatur interaksi keduanya. Yang terjadi, hubungan keduanya bebas tanpa aturan, selama suka sama suka dan tidak melanggar hak orang lain.
Ideologi sekuler juga tidak membatasi bahwa pemenuhan syahwat hanya melalui pernikahan. Di luar itu adalah tindak kriminal. Prostitusi pun tumbuh subur, sebagai bagian dari cara pemenuhan kebutuhan syahwat. Bahkan menjadi bisnis yang luar biasa menggiurkan. Dampaknya sangat merusak. Struktur sosial masyarakat hancur.
Sementara Islam, memberi sanksi tegas untuk perlaku zina, baik melalui jalan suka sama suka maupun pelacuran. Negara menegakkan hukum rajam bagi pelaku yang sudah menikah hingga menjadi pencegah pelaku lainnya. Pelacuran dilarang. Lokalisasi dihancurkan. Segala jenis sarana dan prasarana pembangkit syahwat di ruang publik harus diberantas. Semua itu bisa diwujudkan jika peradaban Islam yang tegak. Peradaban ini menjamin masyarakat yang bebas prostitusi, termasuk prostitusi anak. Peradaban inilah yang melindungi anak secara nyata.(*)