Oleh. Ari Sofiyanti
(alumni Universitas Airlangga)
Â
#MuslimahTimes — Siang itu Sabtu 10 April pukul 14.00 matahari masih cerah dan hari berjalan damai. Siapa yang menyangka tiba-tiba gempa berkekuatan magnitudo 6,1 mengguncang Kabupaten Malang. Kemudian di keesokan harinya tanah kembali berguncang dengan magnitudo 5,3. Hingga Minggu (11/4) pukul 8.00 WIB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, ada 36 orang yang mengalami luka ringan, 3 orang mengalami luka sedang hingga berat dan sebanyak 8 orang meninggal dunia. Innaalillahi wa innaa ilaihi rojiun.
Ribuan rumah pun dikabarkan mengalami kerusakan. Tercatat sebanyak 1.189 rumah, dengan rincian rusak berat sebanyak 85 unit, rusak sedang ada 250 unit dan rusak ringan sebanyak 854 unit. Kerusakan juga dialami fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, tempat ibadah dan jembatan dengan total 150 unit.
Memang, tidak bisa kita ubah kenyataan bahwa wilayah Indonesia rawan terjadi bencana gempa. Hal ini dikarenakan kondisi geologis Indonesia yang berada di Ring of Fire. Cincin Api Pasifik menjadikan Indonesia rawan letusan gunung berapi yang dapat menimbulkan gempa vulkanik. Di bawah tanah yang kita diami ini juga terletak  tiga dari delapan lempeng aktif yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Indo-Australia. Lempeng-lempeng ini aktif bergerak sepanjang waktu dan berpotensi menimbulkan gempa tektonik.
Memahami kondisi geologis ini, seharusnya membuat kita, kaum muslim khususnya. tersadar akan pentingnya penanggulangan berncana. Baik level individu, masyarakat dan terlebih lagi pemerintah. Karena kaum muslim diperintahkan untuk selalu optimal dalam berupaya apalagi dalam menjaga jiwa. Sayangnya, Selama ini mitigasi bencana sangat kurang.
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisifk maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya.
Bancana alam berupa gempa tentu data diantisipasi jika kita benar-benar menyadari konsep qodho dan qodar. Mitigasi bencana berada pada area yang bisa diupayakan manusia. Tetapi realitanya saat ini, negara belum optimal menyiapkan mitigasi tersebut.
Pertama, infrastruktur di Indonesia tidak tahan gempa. Rumah-rumah penduduk pun tidak memiliki teknologi bangunan tahan gempa. Jangankan tahan gempa, masih banyak penduduk yang tempat tinggalnya tidak layak huni bahkan tidak punya rumah.
Kedua, riset-riset geologi seharusnya digalakkan. Namun ironisnya, riset disertasi peneliti gempa dari LIPI tahun 2017 yang menemukan bahwa Palu dilalui Sesar Palu Koro dapat memicu gempa besar di masa mendatang malah diabaikan.
Ketiga, Negara perlu memasang teknologi pendeteksi gempa dan juga edukasi masyarakat mengenai seluk beluk menghadapi gempa. Sebenarnya Indonesia pernah memiliki Tsunami Early Warning System (TEWS), tetapi sejak tahun 2012 sudah tidak berfungsi lagi karena banyak buoy sensor tsunami yang dicuri akibat dari biaya kehidupan yang tinggi dan beban kemiskinan yang diderita rakyat.
Sesungguhnya, pengaturan yang sempurna mengenai mitigasi bencana sudah ada dalam Islam. Peradaban Islam telah membuktikan kematangan mitigasi bencana berdasarkan konsep-konsep syariat. Allah telah menerangkan kepada manusia bahwa bencana adalah kehendak dari Allah. Jika telah digariskan oleh Allah, maka siapapun tidak dapat menolaknya. Sebagai kaum muslim yang beriman, kita diwajibkan untuk sabar dan ridho terhadap keputusan Allah. Namun, kita juga punya kewajiban untuk berusaha meminimalisasi dampak bencana dengan menyiapkan mitigasi bencana maupun penanganan saat dan pasca bencana dengan sebaik-baiknya. Konsep inilah yang harus ditanamkan dan diedukasikan kepada seluruh kaum muslim dan pastinya harus dijalankan oleh pemerintah.
Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik Khilafah benar-benar mencapai puncak kebaikan. Pun demikian dalam hal pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan. Pada wilayah rawan gempa penggunaan konstruksi bangunan tahan gempa begitu menjadi perhatian pemerintah.
Sinan (1489-1588) adalah arsitek utama kekhilafahan Ottoman. Dia merancang dan membangun 477 bangunan selama karirnya yang panjang dalam melayani tiga Khalifah di Turki. Karyanya termasuk Masjid Selimiye di Edirne, yang memiliki menara paling tinggi dan paling tahan gempa di seluruh Turki. (press.nationalgeographic.com/2012/01/19).
Pada sejumlah kota tua seperti di Persia dan Khasmir masih bisa disaksikan keagungan arsitektur era peradaban Islam. Meski wilayah tersebut sudah berkali-kali dilanda gempa namun bangunan tersebut tetap berdiri kokoh hingga saat ini. Sementara bangunan yang didirikan era sesudahnya hancur berantakan. (researchgate.net), (http://www.cicop.it, Architectural Issues in Earthquake Rehabilitation of the Iranian Cultural Heritage)
Tidak berhenti pada pengelolaan infrastruktur saja, tetapi Islam dengan menakjubkan telah memberikan pengaturan pada pos pembiayaannya. Seluruh biaya mitigasi ini diambil dari Baitul Mal. Pembangunan Infrastruktur tahan gempa, teknologi deteksi gempa dan riset-riset geologi dibiayai oleh pos milkiyah ammah, yaitu sumber daya alam yang dimiliki oleh umat. Sumber daya alam di Indonesia yang melimpah ruah akan cukup untuk membiayai fasilitas publik, menyejahterakan seluruh umat dan membawa kepada kemaslahatan jika dikelola oleh negara sesuai prinsip syariah. Bukan seperti prinsip kapitalisme kini yang memprivatisasi kekayaan alam suatu negara untuk kepentingan individu dan golongan saja. Sementara itu APBN negara malah dibebankan pada pajak yang harus dibayar mahal oleh rakyat.
Maasyaa Allah. Allah menciptakan wilayah Indonesia ini memang unik. Sebuah qodho yang harus dihadapi oleh manusia dengan sabar dan syukur. Sabar dengan segala bencana yang mungkin terjadi dan syukur atas nikmat kekayaan alamnya. Kemudian dengan iman ini lah kita berusaha menegakkan syariat-Nya secara keseluruhan.
Wallahu a’lam.